Kompasiana - Di ufuk perjalanan jiwa, cinta adalah rahasia yang melahirkan keberadaan. Para sufi memandang cinta sebagai napas yang menghidupkan segala makhluk. Dalam semesta tasawuf, cinta membentuk segitiga agung yang melibatkan Allah sebagai Mahacinta, Rasulullah Muhammad sebagai kekasih yang menjadi cermin-Nya, dan manusia sebagai pecinta yang tenggelam dalam samudera rindu.
Segitiga cinta ini bukan sekadar hubungan struktural, melainkan sebuah harmoni ilahiah yang menjadi jalan menuju fana' dan baqa'.
ALLAH adalah Mahacinta yang Tak Bertepi. "Cinta adalah anak panah yang melesat dari busur rahasia Ilahi," demikian kata Ibn Arabi. Allah adalah asal-mula cinta dan tujuannya. Ia adalah al-Haqq, kebenaran mutlak yang menciptakan cinta agar manusia mengenal-Nya.
Dalam tasawuf, Allah tidak dicintai karena sifat memberi-Nya semata, tetapi karena Zat-Nya yang mencakup segala. Sebagaimana Rabi'ah al-Adawiyah menuturkan: "Aku mencintai-Mu bukan karena surga-Mu, dan aku menyembah-Mu bukan karena takut pada neraka-Mu. Aku mencintai-Mu karena Engkau layak dicinta."
Para sufi memahami cinta kepada Allah sebagai puncak ekstase. Hamba yang mencintai Allah akan larut dalam dzikir, hingga batas-batas dirinya menghilang, dan hanya Sang Kekasih yang tersisa. Dalam maqam ini, cinta bukan lagi pilihan; ia menjadi kebutuhan jiwa yang tidak dapat dibendung.
Kanjeng Nabi Muhammad adalah Jalan Menuju Kekasih. Cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad juga merupakan pancaran cinta kepada Allah. Beliau adalah cermin yang menampakkan keindahan-Nya di dunia.
Jalaluddin Rumi menyebut Kanjeng Nabi Muhammad sebagai "Matahari Cinta," sebab melalui beliau, cahaya Allah memancar ke semesta. Para sufi merasakan hubungan yang begitu mesra dengan Kanjeng Nabi Muhammad, seolah beliau hadir di tengah-tengah mereka.
"Jika engkau mencintaiku," kata Kanjeng Nabi Muhammad dalam wahyu Ilahi, "ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu." Para sufi mendekap ayat ini dengan jiwa mereka, meneladani akhlak Kanjeng Nabi Muhammad hingga mereka merasa satu dengan beliau. Cinta ini tidak hanya diungkapkan melalui shalawat, tetapi juga dengan menanamkan sifat kasih sayang kepada seluruh makhluk, sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semesta alam.
Manusia, hamba dan pecinta yang merindu. Di dasar segitiga cinta ini, manusia adalah pecinta yang terus merindu. Namun, cinta seorang hamba bukanlah cinta yang setara. Ia adalah cinta penghambaan, cinta yang merunduk di hadapan keagungan Ilahi.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menggambarkan cinta ini sebagai pengembaraan yang tidak akan selesai: "Hamba itu seperti perahu di lautan; ia terus berlayar, mengejar pantai yang tak terlihat. Namun, pada akhirnya, ia sadar bahwa lautan itu sendiri adalah Kekasih yang ia cari."