Lihat ke Halaman Asli

A. Dahri

Santri

Sarung dan Relasi Kebudayaan

Diperbarui: 3 Mei 2023   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Sarung dan Relasi Kebudayaan (sumber: Kompas.id)

Seperti kata pepatah jawa bahwa ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana. Bahwa seseorang dilihat moralitasnya dari apa yang ia ucapkan, dan kewibawaan dirinya ditampakkan dari apa yang ia gunakan. Kalimat ini tentu menitik beratkan pada fleksibilitas dan proporsionalitas. Bahwa realitasnya dipenuhi dengan dikotomi-dikotomi, itu harus kita terima.

Tidak sedikit yang berbicaranya sopan, anggun, berwibawa tetapi moralitasnya kita tahu kerap merugikan sesama. Sebaliknya, yang berpakaian rapi, mewah, terkesan mahal dan elit, justru kerap membuat dirinya tidak sama sekali berwibawa karena apa yang ia lakukan.

Begitu juga dengan yang berpakaian biasa-biasa saja, tidak brandit, lusuh jauh dari kesan mewah, justru memiliki moralitas yang luhur. Walaupun terakadang ucapannya terkesan urakan, blokosuto, apa adanya, tak tertata dan plintat plintut. Tapi memiliki kecenderungan moralitas tinggi. Memang tidak semua begitu, tetapi dikotomi sosial ini terjadi.

Pakaian dan ucapan  menjadi satu rangkaian instrumen komunikasi. Pak Abdul Gaffar Karim dalam artikel yang diterbitkan Alif.id tentang Narasi Besar dan Kontra - Narasi Sarung Pria menegaskan bahwa pakaian menjadi fashion statment, dalam kasus tersebut tentang BHS yang menjadi fashion statment di kalangan santri. Tentu kalangan yang oleh Greetz dikatakan sebagai kaum tradisionalis.

Menepis tuduhan itu akhirnya sarung sudah mulai membagi kastanya. Artinya, apa yang sebenarnya disinggung Pak Gaffar adalah ketika busana atau sarung itu sendiri sudah menjadi alat komunikasi yang intrinsik atau simbolik, maka wajar kalau sarung juga menjadi bagian dari instrumen komunikasi yang harus dimiliki. 

Baik BHS atau sarung batik yang hampir 5 tahunan ini digandrungi banyak kalangan, menunjukkan bahwa di samping mengikuti trand pasar, juga mempertegas golongan dan kasta sosialnya.

Kaum sarungan selalu identik dengan santri, dan santri identik dengan pesantren. Tempat belajar yang menjadi bagian dari subkultur keberagamaan di Nusantara. 

Pada dasarnya sarung sangat multifungsi, seperti dikatakan oleh Pak Dzofir dalam Peradaban Sarungnya, bahwa sarung memiliki berbagai fungsi, sebagai bawahan baju, selimut tidur, topeng maling dan lain sebagainya, dengan kata lain sarung memiliki fungsi sosial dan fungsi spiritual. Artinya sarung menjadi penanda tentang bagaimana sistem simbolik dalam komunikasi itu dibangung. Sarung adalah budaya dengan pola simbolik komunikasi sosial, pun juga menjadi simbol kasta sosial tertentu.

Kalau kita kembalikan kepada prinsip dasar ajining raga saka busana, sarung tidak hanya sebagai fashion statment, tetapi juga menjadi relasi kebudayaan yang utuh dalam dinamika islam secara kultur.

Cucologi Paradigma Sarung

Sarung adalah jenis pakaian yang fleksibel dan mudah untuk digunakan. Cukup dengan dilipat dan digulung agar kencang mengikat. Sarung sangat simple, bahkan tidak berkelamin. Siapapun bisa memakainya.

Begitulah seharusnya kehidupan sosial kita, fleksibel, dinamis, tidak kaku, inklusif, dan saling memberi rasa aman. Kehidupan yang serba beragam ini, dengan baju dan warna yang juga beragam, memberikan kesan bahwa kehidupan sosial itu sangat indah penuh warna. Tidak mengikat satu sama lain, kecuali diikat dengan persaudaraan dan kemanusiaan.

Kalau keberagaman adalah sebuah anugerah, begitu juga dengan sarung, baik yang pakai BHS, Lamiri, Ketjubung, Batik Lar Gurda, Sabda Batik dan lain sebagainya, adalah bagian dari anugerah tersebut. Sarung adalah bagian dari kebudayaan yang siapapun bisa memakainya, tanpa batasan apapun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline