Kompasiana.com - Sistem pendidikan di Indonesia itu gemar beralih dan berganti bentuk. Ini wajar karena mengejar ketepatan dan kesesuaian dengan pengertian pendidikan itu sendiri. Dari KTSP sampai kurikulum merdeka muatannya adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Al-Ghazali mendeskripsikan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak ia lahir serta memberi ruang untuk mengekspresikan pengetahuan yang telah dipelajarinya.
Begitu juga Aristoteles dengan prinsip zoon politiconnya. Bahwa manusia adalah serangkaian proses pembelajaran untuk saling mengidentifikasi dan menganalisis kehidupan.
Artinya, pendidikan di Indonesia ini tidak lepas dari prinsip filsafat yang menjadi dasar falsafahnya. Bahwa tujuan pendidikan itu tidak lepas dari maqasid asyariah; maslahah.
Kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebut saja hak untuk mendapat pendidikan. Dari perilaku budaya tulis dan budaya tutur, leluhur kita mengajarkan bagaimana pentingnya pengetahuan. Peradaban yang terbentuk bukan hanya gerak alami, tetapi ada gerak kesadaran bahwa pengetahuan itu turut mempengaruhi gerak kehidupan.
Bangsa Indonesia itu adalah bangsa dengan bibit unggul. Konsep "penting ngumpul" menjadi dasar kebersamaan. Sejak dulu, tanah kita saja tanah serpihan surga. Apapun benih yang hanya dilemparkan dan digeletakkan begitu saja bisa tumbuh subur. Kekayaan alamnya sangat luar biasa melimpah. Jika negara lain sibuk melakukan upaya ekspor beragam hasil bumi, kita sama sekali santai-santai saja. Karena sewaktu-waktu bisa menanam dan memanennya.
Alasan sosiologis - antropologis ini yang menjadikan manusia Indonesia memiliki keluasan hati. Tampak dari bagaimana pendidikannya. Tampak dari bagaimana proses sosialnya. Hal ini tentu ada sumbangsih dari bagaimana sistem pendidikan itu digulirkan.
Kalau saja, Ki Hadjar Dewantara tidak memiliki kepekaan kebudayaan, tidak mungkin Finlandia dapat menjadi pusat sistem pendidikan berkemajuan. Kita menikmati proses sebagai bangsa Indonesia dengan bibit unggul yang luar biasa.
Bahkan di Indonesia tidak seperti dikatakan Muchtar Lubis, bahwa di Indonesia masih banyak orang bermuka dua. Tidak demikian, di Indonesia tidak ada manusia yang bunglon atau berwatak penjilat. Semua berwatak tidak mudah menyerah. Bahkan mimpi membangun bangsa yang ideal, pendidikan yang idela juga masih tergambar jelas di dalam forum-forum baik serius maupun santai.