Lihat ke Halaman Asli

A. Dahri

Neras Suara Institute

Bertengkar dengan Diri Sendiri

Diperbarui: 23 April 2021   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku akan terbit; Novel Senyum Itu Disimpan saja (Dokpri)


_____ "Jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya, maka sengsarakanlah aku." _____
(penggalan puisi "Doa Memohon Kutukan"(1994) Emha Ainun Najib)

Beragama adalah anugerah yang luar biasa, dan sepantasnya bukan hanya bentuk kewajaran, karena penciptaan memiliki kondisi dan orientasi yang -- bagi manusia nyatanya masih multi-tafsir. Sehingga tidak menjadi biasa saja ketika kebesaran dalam satu penciptaan dilihat dan direnungkan secara mendalam. Dan begitulah hidup, serat akan segala dimensi dan bentuk. Apalagi kalau menyangkut pola sikap dan pola pikir.

Kita awali dengan membuka mata di pagi hari, maka akan terdengar beragam suara, dari alarm yang mengundang bogem, kicauan burung kedasi yang -- hampir tiada henti, serangga, musik dari sound system milik tetangga, atau suara teko yang menunjukkan air sudah mendidih, dst. Kalau saja kita merasa terganggu dengan itu semua, maka dari situ kita tahu wilayah egosentris yang kita miliki. Nyatanya hal ini bergerak alami, apalagi di pagi hari. Namun begitu kadang sejumlah alasan terlontar dari otak dan mulut kita, ngedumel sendiri, nyocros ngalor ngidul.

Memang tidak sealami itu, tetapi keberagaman memang masuk diberbagai sisi, bahkan dalam diri sering kali otak dan hati mulai berdebat kusir. Karena memang begitu keragaman yang ada di dalam mikro -- atau makro kosmos. Tetapi menyelami diri lebih sulit ketimbang menyelami lautan bahkan samudera hati orang lain. Lebih paham dengan sikap orang lain, ketimbang dengan pas -- tidaknya sikap diri. Oh... dalam hal ini tidak bisa kita mengatakan kalau ini sebuah kewajaran.  Rasanya terlalu naif bagi manusia yang menyandang gelar al hayawan an natiq atau hewan yang berpikir, atau kalau merasa kurang pas dengan sebutan itu, khalifath fi al Ard, pemimpin di bumi, pemimpin atas diri, pemimpin atas seluruh isi alam, atau sebagainya.

Ah... lagi-lagi perihal kesadaran. Niscaya memang, tetapi ruangnya disempitkan. Tidak jauh-jauh, di lingkungan kita banyak sekali dijumpai hal yang berada di luar kewajaran. Mau mengikuti pola fiqih rasanya juga selalu bergumul dengan perdebatan dan pertengkarang panjang di dalam diri. "Kalau anda melihat ketidak wajaran (kemungkaran) maka pukullah, maka hantamlah, entah dengan fisik atau dengan isu-isu yang meredam hal itu, tetapi kalau dirasa tidak mampu maka ingkar qalbi, atau menitik beratkan pada menimbang di dalam hati, kemudia dengan ucapan, atau peringatan, tetapi kalau masih dirasa tidak mampu maka diam dan doakanlah." Petanyaannya adalah bagaimana jika ketidakwajaran itu kemudian mengganggu keberagaman bangsa, keberagaman pola pikir, keberagaman pola sikap?

Pertanyaan di atas tidaklah menjadi satu tuntutan bagi setiap personal, untuk apa? Untuk merenungkan secara mendalam perihal keberagaman, terutama di dalam diri personal manusia itu sendiri. Permenungan untuk membedakan bahwa ada identitas dan personalitas dalam diri, ruangnya sangatlah luas, tetapi untuk mengenal identitas yang sejak lahir melekat di dalam diri, dan memahami personalitas yang secara sadar maupun tidak, maka rasanya perlu untuk mengambil satu senjata yang bernama intelektual, atau nalar budhi. Bagaimana dengan akal budhi? Bukankah ia menaungi religiusitas yang berada di dalam hati.

Sederhananya adalah, ketika kita merasa suntuk tetapi tidak tahu apa yang menjadi sebab rasa suntuk itu, maka ranah religiusitas dan intelektualitas menjadi tumpuan untuk menemukan sebab kesuntukannya, mulai dari pergi ke makam-makam, menyendiri di pojokan masjid, atau pergi menemui orang yang dianggap memiliki kesaktian, dan sayangnya menemukan sebab dari rasa suntuk tidak sesederhana pernyataan di atas. Terkadang juga harus melakukan diskusi-diskusi privat dengan pribadinya. Seperti memandang cermin di depannya kemudian seakan ada percakapan yang sangat serius dari orang yang berada di cermin tersebut.

Namun demikian, akhirnya saya menyadari bahwa pada dasarnya bukan mencari kekurangan di dalam diri orang lain, tetapi berlomba-lomba mencari kekurangan dan aib dalam diri. sampai benar-benar sadar bahwa memang tidak mungkin manusia, saya, diri, personal, individu dan istilah tentang aku adalah gudang dari segala aib dan kekurangan. Namun tidak lupa mensyukuri nikmat dan rahmat Tuhan yang berupa kehidupan dan potensi yang diamanahkan kepada manusia.

Dan pada akhirnya keberagaman yang ada di dalam diri adalah wujud dari proses pengolahan diri, tujuannya mematangkan, mendewasakan, dan menempatkan akal budhi sebagai wujud dari pengolahan diri. hasilnya adalah kematangan pola sikap dan pola pikir. Semoga kita selalu diberi kemauan dan istiqamah dalam mendewasakan diri, setiap saat, seperti proses belajar yang terus berlangsung.

Rokoknya mari disulut....!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline