Lihat ke Halaman Asli

A. Dahri

Santri

Manusia dan Ruang Kedap Suaranya

Diperbarui: 3 November 2020   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Beberapa purnama telah berlalu, riang riuh angin lalulang bersama gelepar daun-daun yang kian menumpuk berserak di pekarangan pun jalanan. Permenungan itu kian melaju menerobos menuju pertanyaan-pertanyaan yang abstrak namun ada.

Benarkah wabal itu datang? Siapa yang mendatangkan atau mengirimkannya? Untuk apa? Lantas apa fungsi sembahyang selama ini? Atau agama hanya tradisi ritus yang digembar-gemborkan menuju kealiman dan ketaqwaan semata.

Tentu tidak, wabal datang karena diundang. Pertanyaannya, siapakah yang mengundang? Untuk apa?

Manungsa, manembah ing hyang kareksa, manegges rasa ingkang sumrambah, dawuh lampahing guru aciptaning gemi, geti getiti. Reksaning kalbu, laku tan nyrumambah ing tiyu.

Serat karangkadempel mungkin hanya sebagian kecil interpretasi kitab suci. Utamanya untuk kehidupan. Kitab suci menyebutkan bahwa laku kehidupan bertopang pada yang gaib, tapi ada, yang nyata tapi kasunyatan. Yang kuasa tapi tak kuasa jika hanya dipandang mata.

Innalillahi, wa inna ilaihi raji'un. Kembalinya manusia dan tendesinya hanya kepada Tuhan semata. Manusia beragam asumsi dan persepsi hanya untuk memuluskan prasangkanya sendiri. Jaga image, merasa lebih ketimbang yang lain, tergoda oleh angannya sendiri, atau tergorda oleh pengetahuannya sendiri.

Agama seharusnya berada pada ruang sepi, yaitu diri. Mulatsarira fungsinya hanya untuk dirinya sendiri. Bukan orang lain. Pun sebaliknya, orang lain tidak bisa menghendaki perubahan. Selagi dalam dirinya tiada rasa dan permenungan untuk berubah.

Jika yang ada adalah ketiadaan, atau ketiadaan itulah yang ada maka manusia lahir dari ketiadaan dan perlu disadari. Jika tanpa Tuhan maka tiada terjadi manusia. Jika tanpa kehendak yang gaib maka tiada yang tampak. Justru karena kegaiban itulah ada ketampakan.

Jika kelak para rahib dan agamawan yang paling lama dihisab, maka menjauhkan diri dari rasa dan perasaan agaknya menjadi lebih utama ketimbang memaknai yang sebenarnya sudah jelas maknanya.

Manusia diciptakan tidak lain tidak bukan untuk mengabdi. Mengabdi bukan hanya yang berupa sembahyang secara formal. Membawa nilai sembahyang kepada kehidupan adalah sembahyang itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline