Teman, rekan, kolega atau siapapun itu adalah bagian dari seleksi alam. Fluktuasi keeratan juga menjadi pengaruh perubahan yang muncul dalam sikap atau komunikasi. Hal ini kerap kali terjadi di sekitar kita.
Satu misal, ada dua sahabat yang sangat erat, bahkan kelihatannya tidak mungkin jika mereka saling tengkar dan beda pendapat. Tetapi lambat laun karena ada satu hal merengganglah hubungan mereka. Alasan renggang itulah bukti bahwa ada fluktuasi tingkat kenyamanan. Agaknya hal ini terjadi di setiap kontrak sosial.
Pesan kongkrit Nabi kerap terjadi, seperti ramalan yang memang akan terjadi. Jangan terlalu membenci orang yang kau benci, bisa jadi akan menjadi yang kau cinta di kemudian hari, pun sebaliknya dalam menyinta.
Kondisi kesadaran memang perlu ada tarik ulur, perlu juga ada sikap kalau kata orang jawa, "kadang diunggahne, kadang didukne" karena bisa jadi fluktuasi itu hanya sikap-sikap relativitas saja.
Zona nyaman, lingkaran setan, adalah bagian dari keterlanjuran manusia yang enggan keluar dari ruang tersebut. Ruang keterlanjuran kadang menjadi beban. Kadang juga menjadi penunjang.
Berhubung terlanjur menjadi putera kyai konskwensinya maka dihormati. Dihormati bisa jadi beban, pun bisa jadi penopang. Beban ketika ia harus menjadi diri sendiri dan keluar dari prasangka orang. Penunjang ketika ia butuh dukungan, politik, rada nyaman, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, rangkaian ruang-ruang komunikasi perlu ada filter yang kuat. Sekedar saja adalah jawaban menjaga keseimbangan. Karena totalitas perlu juga diruang tempatkan pada hal yang sesuai.
Untuk mengetahui ketersesuaian perlu adanya permenungan dan belajar tiada lelah. Sebagai salik, manusia perlu menciptakan ruangnya sendiri. Perlu menciptakan batasannya sendiri. Dengan begitu ia mampu meraba siapa dan harus bagaiamana sebenarnya manusia itu, dalam kehidupan ini.
Jean Bouldera pernah menyinggung bahwa manusia sangat sulit untuk belajar sekedarnya saja. Egoisme yang muncul adalah lebih dan lebih. Karena potensi manusia yang beragam tentu menjadi batas atas persamaan.
Ujaran jawa mengatakan, belajar nggrayai gitok e dewe. Hal ini adalah ruang kesadaran yang dalam. Lekat dengan sikap moral. Syarat akan mendahulukan kesadaran lalu pengetahuan.