Lihat ke Halaman Asli

A. Dahri

Santri

Cerpen | Selembar Surat, Tanpa Ucap

Diperbarui: 30 Desember 2019   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Tribun Pekanbaru.com

Di pematang sawah itu Ia terdiam, seperti merenung, namun entah apa yang menjadi perjalanan di dalam angannya? Ranting di genggaman tangannya, melukis di atas tanah yang kering dan -- mulai pecah sepertinya memang tiada air yang membasahinya. Lamat-lamat terlihat air matanya mitik di antar oleh hembusan angin yang agaknya tetap membuatnya gerah, tiada kesejukan yang ia rasakan, tiada ketenangan yang ia temukan.

Randu, sudah sepekan ini ia akrab dengan sawah. Semenjak kepulangan dari perantauan, jangan tanya berapa lama! Yang jelas semenjak ibunya pergi meninggalkan ia dan bapaknya tanpa kabar. Saat itu ia masih berumur 16 tahun. Alasan bapaknya yang sering sakit dan perekonomian yang kurang, menjadi motivasi kepergian ibunya. Tidak ada yang bisa mengutuk seseorang untuk belajar bersyukur, kalau bukan dirinya sendiri. Dan bukan berarti rasa mangkel Randu yang membatu, penuh kutukan pada ibunya tiada mencair kemudian hilang. 

Bapaknya seperti cakrawala yang luas di hadapannya. Ia mampu melanglang buana menyusuri ke dewasaan dari cerita dan pesan bapaknya ketika sedang di sawah atau ketika santai di teras rumah.

Bertani adalah ruang rasa yang sangat erat bagi Randu. Sejak kecil atau sejak kepergian ibunya, sawah adalah teman bermainnya.  Di samping karena untuk mencukupi kebutuhan Randu dan Bapaknya dari sawah. Sepetak sawah itulah yang menjadi kehidupan sehari-hari Randu dan Bapaknya.

Sampai suatu hari, "Aku ingin pergi pak, mencari kerja ke kota untuk memenuhi kebutuhan bapak." Bapaknya terdiam, ia singkap sarung yang melilit tubuhnya, ia tarik ke atas menutupi wajahnya, layaknya orang yang sedang tidur. Tidak ada jawaban sama sekali, hanya suara angin malam dan beberapa serangga malam. Tetapi tidak mengurangi tekadnya untuk pergi dan membahagiakan orang tuanya. Ia bukan saja kecewa dengan ibunya, tetapi ia juga gelisah melihat bapaknya yang sudah semakin tua dan pesakitan. 

Kegelisahan itulah yang menjadi dorongan terkuatnya, dan kekecewaan itulah yang menjadikannya kuat menggenggam tekadnya.

Keesokannya pun tetap, bapaknya tak bergeming. Seperti menyimpan rapat jawaban yang ada di lubuk hatinya. Atau ia sendiri tidak mengetahuinya. 

Bagaimanapun juga hanya Randu yang ia miliki sekarang, itupun akan pergi juga. Tetangga? Mereka pasti memiliki masalah mereka sendiri. Terkadang masalah memang datang bukan dari tempat yang jauh, tetapi yang terdekat: keluarga.

Sampai hari ketiga, tetap saja, tidak ada jawaban yang diterima oleh Randu. Sampai akhirnya ia menulis selembar surat untuk bapaknya, ia selipkan di gagang pintu yang terbuat dari bambu, sekaligus menyangga pintu agar seperti terlihat terkunci rapat.

Ia tinggalkan rumah bambu itu, ia tinggalkan sepetak sawah itu, ia tinggalkan bapak dengan cangkul dan sabit di tangannya, yang kemudian duduk lemas melihat selembar surat yang berisi pesan pamit dari anak semata wayangnya. Ia tersenyum sebentar kemudian menangis, memaki di dalam hati, merasa tiada becus menjadi orang tua dan suami, yang harus rela ditinggal pergi tanpa permisi.

Tidak ada yang memilih takdirnya, tapi setiap manusia menentukan nasibnya. Mungkin semangat itu yang dibawa Randu, atau dalam perjuangan memang harus ada yang menjadi korban? Dengan harapan penuh kebanggaan nantinya atau sebaliknya, tiada yang tahu pada hasilnya. Randu telah memilih dan bapaknya tiada kuasa untuk menolak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline