Lihat ke Halaman Asli

Senja di Gubuk Tua

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan benar-benar mewarnai hari-hari di bulan Desember. Tak terkecuali sore hari ini, derai hujan disertai hawa dingin menyeruak serasa menusuk tulang. Kilat menjilat sambung menyambung bagai ingin membelah bumi. Cuaca demikian membuat kebanyakan orang malas beraktifitas. Tapi, anak ingusan itu tetap gigih mengayuh sepeda berjualan jamu. Hujan disertai halilintar bukanlah kerikil tajam yang dapat menghentikan langkahnya.

Bejo, begitu penduduk kampung Sukoharjo memanggil anak ingusan itu. Usianya masih belia, namun dipaksa peras keringat untuk sesuatu yang sebenarnya belum begitu dimengerti. Bermain sebagaimana anak-anak seusianya hanyalah mimpi. Keliling kampung, menyusuri lorong-lorong kota, masuk dari gang satu ke gang yang lain adalah rutinitas wajib sehari-hari.

Bejo adalah anak tertua dari 3 saudara buah perkawinan Pak Yetno dan Mbok Kairah. Bersama ibu dan kedua adiknya, Bejo tinggal di rumah tua yang terbuat dari papan dan bambu. Atapnya terbuat dari ilalang dan lantainya hanya disemen kasar. Sekalipun dipenuhi genangan air bila hujan tiba, namun hanya di rumah yang lebih tepat disebut gubuk itulah mereka dapat berteduh dari terik mentari dan derai hujan. Andai saja Pak Yetno masih hidup, mungkin gubuk itu segera dibenahi. Sayang, Ia keburu menghadap Sang Pencipta karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Kemangkatan Pak Yetno menghadap Ilahi tak meninggalkan harta benda yang berharga, hanya sepetak tanah yang di atasnya berdiri gubuk tua itulah satu-satunya yang bernilai. Itu pun hasil pemberian Mbah Jumadi, orang tua Pak Yetno.

Sepeninggal Pak Yetno, Mbok Kairah berusaha membesarkan ketiga anaknya dengan berjualan jamu. Bejo yang kini menginjak kelas 1 SLTP juga turut serta membantu. Mbok Kairah meracik jamu sejak dinihari dan menjual sebagiannya esok pagi. Sementara sisanya Bejo yang menjual keliling kampung sepulang sekolah.

***

Hari sudah hampir senja, tapi derai hujan yang mengguyur kampung Sukoharjo sejak beberapa jam yang lalu tak kunjung reda. Bejo tampak gelisah di beranda rumah. Antara cemas, sedih, bingung, semua berkecamuk dalam pikirannya. Pandangannya tertuju pada sepeda butut dengan rombong sederhana yang ada di depannya. Botol-botol berisikan jamu beras kencur, kunir asam, dan pahitan tampak berjejer rapi menghiasi rombong itu.

"Nak, Mbok buatin teh. Diminum dulu, biar tubuhnya hangat," ujar Mbok Kairah menyuguhkan teh sambil duduk di samping Bejo yang sejak tadi termenung di beranda rumah.

"Nggeh, Mbok. Matur sembah nuwon," kata Bejo berterima kasih. Sorot matanya memandang dalam-dalam wajah sang ibu yang tampak layu dimakan usia.

"Tidak usah jualan, Nak. Besok saja kalau cuacanya terang," kata Mbok Kairah sambil memijit punggung Bejo. Ia tak mau anaknya jatuh sakit karena diguyur hujan. Dialah satu-satunya alasan mengapa Ia bertahan hidup.

"Hemm...," Bejo hanya tersenyum tipis.

"Sayang, Mbok. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat jamu kan tidak kecil, masa tidak diedarkan. Apalagi, besok adalah hari terakhir pembayaran sekolah adik-adik," timpal Bejo. Meski negara menambah anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN, namun seolah tak ada artinya karena di sekolah tetap dipungut biaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline