Lihat ke Halaman Asli

Ahok dan (Cuti) Kampanye Politik

Diperbarui: 9 Agustus 2016   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HAJATAN kampanye politik jelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 semakin menarik sejak Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama‎ (Ahok)menolak cuti kampanye dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Bahkan ia sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 70 UU Pilkada yang mengatur soal cuti kampanye calon petahana (Liputan6.com).

Pilihan politik tersebut, justru menyulut banyak pihak untuk menyerang sosok Ahok dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Padahal jika ditelisik, Ahok memilih menolak cuti kampanye tentulah memiliki argumentasi yang bisa dicerna oleh akal sehat. Apalagi kontur masyarakat DKI Jakarta tentulah berbeda dengan daerah lain diseluruh Indonesia. Kontur masyarakat DKI Jakarta lebih memilih figur yang suka mengedepankan kinerja ketimbang popularitas semata.

Oleh sebab itu ada beberapa alasan utama yang menyebabkan Ahok memilih untuk tidak mengambil cuti kampanye diantaranya; 

Pertama; Ahok memiliki gaya kepemimpinan transformatif yang lebih mengedepankan kerja ketimbang aksi-aksi hiperrealitas. Ahok tidak ingin cuti kampanye kemudian menghambat ia untuk tetap bekerja dan melayani rakyat DKI Jakarta. Selain itu, agar jangan sampai ada pihak-pihak yang memanfaatkan kekosongan jabatan untuk mengais keuntungan politik. Artinya, Ahok tidak ingin kontestasi Pilkada DKI Jakarta membuat ia harus berpaling dari yang kerja-kerja nyata kepada upaya pengemasan popularitas melalui kampanye politik.  

Kedua, Ahok ingin membangun model kampanye kreatif yang digerakan oleh para pendukung dan relawannya. Pasalnya kampanye kreatif saat ini mutlak diperlukan dalam setiap kontestasi politik karena sedikit banyak dipengaruh oleh gaya kampanye yang ditampilkan. Artinya, dengan kekuatan relawannya Ahok ingin model kampanye yang digulirkan dapat mendorong pemilih untuk lebih mengedepankan pertimbangan obyektif-kualitatif dan rasionalitas, bukan aspek subyektif-primordial.

Tapi, pertimbangan ini dapat dibangun hanya dengan kinerja dan rekam jejak kandidat politik selama ini. Hal itu disebabkan, dalam setiap kontestasi politik kerap bermunculan kandidat yang lebih mengedepankan ilusi popularitas ketimbang kinerja. Itu mengapa, Ahok kemudian berusaha mengedepankan kinerja ketimbang sibuk dengan upaya pengemasan popularitas personal.

Artinya, dengan kinerja Ahok yang telah menghasilkan sederet prestasi dipercaya akan menjadi salah satu penentu dalam area Pilkada DKI Jakarta 2017. Dengan langkah taktis ini, figur Ahok mampu menyatukan antara popularitas dan elektabilitas yang menjadi kunci utama dalam setiap kontestasi demokrasi lokal yang berbasis personal saat ini. Pasalnya, popularitas jelas dibutuhkan, namun popularitas saja tidak cukup. Sebab, memiliki tingkat kedikkenalan atau elektabilitas yang tinggi juga mutlak sangat diperlukan. Dalam konteks ini elektabilitas ini dapat dicontohkan seperti prestasi dan sederat hasil kinerja lainnya.

Ada beberapa alasan utama mengapa kita perlu memadukan antara popularitas dan elektabilitas, diantaranya; Pertama, aspek eksternal yang terjadi lebih disebabkan menguatnya rayuan politik, seperti iklan politik yang kadang dapat membius pemilih apatis. Bahkan pemilih seringkali membiarkan dirinya menjadi obyek yang ditentukan dan bukan yang menentukan. Kedua, kecenderungan pemilih yang over-obyektif, selalu mengedepankan pertimbangan primordial dan irasional yang berlebihan, sehingga seringkali pemilih tidak memilih berdasarkan kinerja akan tetapi lebih mengedepankan popularitas.

Untuk aspek ini relawan Ahok baik di media sosial (online) maupun offline sejatinya harus dapat menampilkan prestasi dan kinerja Ahok dihadapan publik. Artinya, relawan Ahok harus fokus menekankan pemilih agar tidak mudah tergoda dengan kuatnya banalitas iklan politik diruang publik. Relawan Ahok harus dapat menggiring pemilih untuk dapat menjadi pemilih rasional yang mampu mengedepankan aspek moralitas, kapasitas, kapabilitas, integritas dan kinerja dalam memilih kandidat politik. Apalagi dekade terakhir iklan politik kerap dipoles dengan spirit dekoratif yang selalu menonjolkan citra estetik yang terkadang tidak masuk akal.

Pada akhirnya langkah taktis ini dapat menjadi upaya menggiring pemilih untuk lebih bersikap cerdas dalam memilih kandidat politik. Apaalgi saat ini, publik menilai bahwa kinerja kandidat poltiik sangat diperlukan sebagai panduan dalam memilih. Walhasil, dengan semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap kandidat politik dan bergulirnya demokrasi partisipatoris, telah banyak mengubah nalar politik pemilih dari memilih kandidat yang mengedepankan kinerja, ketimbang yang hanya mampu menjual janji-janji kosong. Artinya, Ahok dan pilihan untuk tidak (cuti) kampanye politik dapat menjadi salah satu bukti bahwa sosok Ahok benar-benar pemimpin politik yang lebih mengedepankan kinerja, ketimbang ikut berkampanye demi sekedar mendongkrak popularitas.

Bulaksumur, 8 Agustus 2016

Pustaka




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline