Lihat ke Halaman Asli

Tidakkah Kita Merasa Berdosa?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13269117551891288808

[caption id="attachment_157068" align="alignleft" width="620" caption="BangBorneo/pengemis jalanan/ Google Search "][/caption]

Tangan kanannya memegang lembaran-lembaran uang ribuan, sementara tangan kirinya mengepal pecahan-pecahan uang receh. Malam menjelang isya, sekian kepala menolehkan pandangan ke arah bocah itu. Bocah yang tak pernah bosan mengumbar senyum lugu kepada siapapun yang ia jumpai di perhentian lampu merah itu, yang kepada mereka ia menggantungkan harapan akan kemurahan hati. Bentuknya bisa saja kertas dan bisa pula logam, yang penting uang. Dengan itulah ia akan menyambung hidupnya dari hari ke hari bersama kakak laki-laki dan ibunya.

Umurnya sekitar empat tahunan. Ia duduk dipinggir trotoar, kaki kirinya dilipat sementara yang kanan dibiarkan di aspal jalanan. “ Satu, dua, tiga …”, berulang-ulang ia menghitung tapi selalu berhenti pada angka tiga. Ia tak bisa melanjutkan karena rasanya mustahil kalau ia sudah sekolah. Bila ia sudah sekolahpun tentu saja bukan uang logaman itu yang ada ditangannya sekarang, melainkan mungkin sepotong pensil berwarna dan sebuah buku gambar dihadapannya. Tempatnya sudah pasti bukan di jalanan, melainkan di rumah yang diterangi lampu listrik sekian watt.

Warna kulitnya gelap, sama seperti ibunya yang mengawasi dari bawah pohon beringin di pinggir jalan.  Rambutnya pendek sebahu dan tubuhnya kurus, tapi matanya yang besar senantiasa berbinar memandangi setiap pengendara motor dan mobil yang di datanginya, walaupun mereka tak memberinya uang, ia tak cemberut apalagi mengeluarkan sumpah serapah. Ia terlalu manis untuk melakukan hal seperti itu.

Seorang pengendara motor yang menaruh simpati berusaha menyapanya dengan ramah. Dibalasnya dengan menghadiahkan sekelumit senyum dan tatapan mata yang riang. Barangkali ia belum tahu apa arti simpati, namu itu bukan berarti ia harus menampik keramahan betapapun sederhananya. Namun lebih banyak yang melototi Traffic light agar lekas berwarna hijau, ketimbang memperhatikan anak bawang itu. Mereka menganut falsafah “Cuex is The Best” barangkali. Sebuah falsafah yang lahir dari kecenderungan individualistis manusia pancasila, yang menganggap hal terpenting adalah bagaimana memenuhi keinginannya sendiri dan menganggap sepi kesulitan orang lain.”Setiap saat kita bisa bertemu pengemis di manapun dengan gampang, jadi biarkan saja,” kata sebagian orang.

Benar, itu sungguh-sungguh benar. Jumlahnya amat banyak dan belum ada pertanda akan berkurang, justru sebaliknya bertambah banyak dari waktu ke waktu. Seorang teman member komentar tentang peminta-minta yang kerap ia jumpai, “sekarang aku nggak mau lagi ngasih duit. Dulu aku selalu ngasih. Tapi kemudian setelah ku pikir-pikir hanya akan menumbuhkan sikap mental pemalas, tidak mau berusaha alias jadi parasit terus menerus. Lalu aku memutuskan tidak akan memberi uang lagi agar mereka mau berusaha,” katanya. Pada satu sisi memang sikap ini bias jadi benar dalam hal untuk tidak mengembangkan sikap pemalas tadi. Namun yang menjadi pertanyaannya sungguh-sungguhkah kita? Jangan-jangan itu Cuma semacam alas an yang dicari-cari untuk membenarkan keenggenan kita untuk member? Kita juga perlu bertanya-tanya apakah mereka itu merupakan ornag yang betul-betul pemalas? Bukankah seringkali pekerjaan menadahkan tangan ini terpaksa dilakukan karean sedikitnya atau bahkan tiada pilihan yang dapat diambil? Walhasil jadilah mereka pengemis dengan mengorbankan harga diri manusiawi yang sangat mahal harganya itu. Pada saat yang sama kita pun tanpa rasa malu memvonis mereka sebagai benalu yang Cuma menggerogoti.

Barangkali kita memang bukan Chairil Anwar yang merasa berdosa setiap kali berhadapan dengan pengemis. Hal ini terungkap dalam sajaknya “Kepada peminta-minta”. Baik, baik aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari luka Sambil berjalan kau usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah Mengeerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline