Lihat ke Halaman Asli

Komplementary dan Pola Pendidikan Androgini Untuk Keluarga

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13263304211254935792

Masih ingat pelajaran bahasa sewaktu SD ini, bagaimana sekolah tanpa sadar mengajarkan dikotomis yang konfrontatif, laki perempuan dibuat sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan lawan teman:

1.Ayah pergi ke kantor

2.Ibu pergi ke pasar,

3.Ayah sedang membaca koran

4.Ibu sedang menanak nasi

[caption id="attachment_155411" align="alignnone" width="450" caption="Anaktebidah/google"][/caption]

Sedari kecil kita sudah dikonstruksikan berpikir dengan pola kawan-musuh, hitam atau putih berhadapan frontal, bahwa ada beda yang harus seperti langit dan bumi antara laki perempuan, ayah di langit, ibu di bumi. Laki-laki harus di kantor, perempuan harus di dapur.

Padahal yang kita butuhkan adalah yang saling melengkapi (komplementary) antara laki perempuan.

Kelak, buku pelajaran seharusnya memuat isu komplementary begini:

Hari sabtu pagi, Ayah, kak Amir, Budi memasak di dapur,

Ibu mengikuti pelatihan pendidikan androgini,

Sore hari, ayah membantuku mengerjakan PR

Sementara ibu mengetik hasil pendidikan siang tadi.

Hari sabtu dan minggu sungguh mengasyikan

Dulu, kalau ada genteng bocor yang disuruh naik ke atap anak laki-laki, listrik mati, laki-laki. Sementara semua pekerjaan domestik: menanak nasi, cuci piring, menyapu, memasak, adalah pekerjaan anak perempuan.

Celaka dua belasnya, pekerjaan domestik ini tak pernah ada selesainya. Lantai yang dibersihkan pagi hari, siang hari sudah kotor lagi. Saat anak pulang sekolah –bagi keluarga yang disiplin kerjasamanya rendah—sepatu, tas, baju sekolah langsung dibuang berr…harus ada yang menata-kan untuk itu, biasanya, ujung-ujungnya anak perempuan juga yang kena.

Perhatikan di kampung-kampung, kalau ada perhelatan, entah pernikahan, selamatan seratus hari, syukuran keluarga, para ibu mandi keringat di dapur, masak dari pagi sampai sore, seringkali malah pakai acara mbolos kerja pabrik juga, demi acara dapur perhelatan, sementara para laki-laki main kartu di depan, menyantap hasil masakan para istri mereka di dapur yang punya hajat, ngobrol santai, merokok.

Rasanya tidak adil sekali.

Komplementary membutuhkan pola pendidikan yang berbeda.

Komplementary membutuhkan pola pendidikan androgini dimana laki dan perempuan bisa saling mengenal dan saling bantu tugas tanpa membedakan gender, karena sesungguhnya diluar hamil dan menyusui, tidak ada yang menghalangi bagi para pria dan wanita saling memasuki wilayah pasangannya apabila kebetulan membutuhkan bantuannya, pada intinya, di luar tugas hamil dan menyusui, sebenarnyalah masih terbuka peluang bagi dirombaknya sistem beban yang tidak memberi kesempatan kepada para wanita mencapai optimalisasi dirinya, padahal optimalisasi ketrampilan kewanitaan ini, pada saatnya nanti akan sangat diperlukan oleh suaminya manakala mereka (sebagai pasangan) ingin menghasilkan produk keluarga yang bermutu.

Kalau sejak kecil wanita tidak dijauhkan dari genting, mungkin akan muncul ide-ide pembuatan genting yang mudah ditangani para ibu dengan cara mudah, tanpa harus naik tangga. Kalau sejak kecil wanita tidak dijauhkan dari listrik, mungkin akan muncul peralatan-peralatan dapur modern yang bisa dikelola oleh para istri sambil tetap mengajar kursus di ruang depan rumahnya. Kalau saja sejak kecil wanita tidak dijauhkan dari bengkel, onderdil, obeng, dongkrak, mungkin akan muncul teknologi cara mengganti ban mobil yang kempes di jalan tanpa harus memaksa perempuan berjongkok, mendongkrak dan terengah-engah. Sekarang, meski pun mobil sudah serba otomatis, untuk mengganti ban yang kempes teknologinya masih belum familiar bagi perempuan.

Pendidikan androgi, adalah pendidikan yang tidak melanggengkan pola-pola yang saling melumpuhkan antara laki dan perempuan. Kecuali di sektor tugas hamil dan menyusui, semuanya harus dibuat bisa menghasilkan komplementary yang saling memberdayakan.

Beginilah kira-kira isi pendidikan androgini.

Saat genteng bocor, persilakan anak perempuan mencoba memperbaikinya. Sementara si boy, dorong ke dapur agar menanak nasi, si Jamal suruh mencuci piring, setelah itu keduanya ajari bekerja sama mencuci pakaian serumah.

Go Domestik ini, sangat penting, bukan semata agar para pria trampil membantu istrinya, tetapi yang lebih penting agar para suami mengerti beratnya pekerjaan rumah tangga.

Para suami yang tidak mengerti karakter pekerjaan domestik biasanya suka memekik, “Apa yang kamu kerjakan seharian nganggur di rumah, kok masak saja nggak becus!”

“Mana rumah masih berantakan…”

Dengan mengerti berat dan tak berujungnya pekerjaan fisik domestik, belum lagi mendidik anak, dari: mendongengi, meluruskan karakternya, mendengarkan keluhannya, menemani mengerjakan PR adalah pekerjaan-pekerjaan jiwa yang sangat menguras energi betul. Jika para ibu terkuras oleh pekerjaan yang sedemikian intens tanpa ada teknologi pembantu maka yang akan menjadi korban pertama adalah para suami juga.

Dengan mengerti betapa berat dan kompleksnya pekerjaan domestik, dan inilah yang paling penting, akan memperbesar rasa sayang suami pada istri, memperbesar empatinya pada istri, empati dan kepedulian inilah yangakan membuat para pria memasuki rimba publiknya (poros Rumah-kantorannya), dengan kondisi kesadaran yang penuh catatan kaki, jiwanya tidak menjadi mudah lupa diri.

Jadi sebagai permulaan perjuangan menegakkan budaya androgini, acara ini mungkin perlu ditradisikan.

Perlu dibuat jadwal, kapan para anak laki-laki ber-emansipasi ke dapur melalui tema “Hari Bapak Masuk ke Dapur”, mengerjakan seluruh pekerjaan domestik: menanak nasi, mencuci piring, mengepel, sementara para perempuan melakukan kursus di rumah untuk isu-isu pilihan sektor publik yang akan paling banyak menyentuh keamanan sektor domestik, baik langsung maupun tidak langsung.

Pada saat “Hari Bapak Masuk ke Dapur” berlangsung, misalnya ibu-ibu se kecamatan dapat melakukan kegiatan di tingkat kecamatan mengikuti ceramah tentang Mewaspadai berbagai Syndrome Antasari Complex sebagai icon skandal seks para suami di sektor publik, misalnya.

Format seperti ini mengandaikan bahwa organisasi wanita pun, entah itu PKK, Dharma Wanita, Pengajian Ibu-ibu sudah berubah pula formatnya, dengan menciptakan berbagai kegiatan pencerahan bagi para ibu, dengan tema-tema parenting pemberdayaan yang berfokus pada isu pendidikan androgini.

Secara umum, pendidikan androgini yang membawa pasangan suami istri memasuki pekerjaan yang “bukan pria bukan wanita” di rumah, ini akan menjadi pengikat para suami agar punya rasa hormat kepada pekerjaan rumah yang notabene tak kalah berat dan mulia dari pekerjaan cari uang.

Bergelut di rumah dengan persoalan-persoalan androgini yangkompleks, akan sangat bermanfaat buat para pria, bapak dan para anak lakinya. Ini akan menjadi semacam stimulan outboundke bidang-bidang rumah tangga secara riil praktikal, bukan sekedar wacana.

Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana kita membuat program outbound “Suami Masuk Dapur” ini sedemikian terstrukturnya, sehingga kompleksitasnya bisa mudah dipahami dan terhayati, oleh para semua pria dalam sebuah rumah tangga.

Kita melihat bahwa kegiatan outbound androgini, ini pada ujungnya akan menguatkan poros Rumah-Kantor ini secara permanen, jadi ini akan menjadi semacam instrumen pengamanan poros rumah-kantor melalui pematangan proses androgini.

Empati suami pada pekerjaan pasangan, dan demikianjuga sebaliknya akan menciptakan kemesraan diantara para pasangan itu sendiri, mengapa? Karena merasa “dibantu, diperhatikan, di-bersamai,” proses itu akan mematangkan rasa “kekitaan” suami istri, baik dalam melihat diri sendiri, maupun (menjadi) ke-kami-an, dalam melihat diri sendiri saat di depan eksternalitas.

Pola Komplementary ini jarang dilirik masyarakat yang sudah terlanjur terjebak dalam dikotomis laki perempuan yang konfrontatif, dan sebaliknya masyarakat lebih tergoda untuk membesar-besarkan hal-hal yang konfrontatif-negatip, layaknya seperti orang yang suka membesar-besarkan hal-hal yang khilafiah dalam agama di tengah lautan kesamaan yang penuh karunia.

Ada buku yang sekarang masih booming, yaitu kisah nyata tentang kekuatan pikiran manusia (Neuro Linguistik Program/NLP) dalam mewujudkan keinginan. Pikirkanlah apa saja yang anda inginkan dengan sungguh-sungguh, maka alam akan membantu mewujudkannya. Buku ini dibranding dengan nama Law of Atractions.

Sayangnya, demikian disebutkan dalam buku ini manusia cenderung suka mendahulukan mengapresiasi (memikirkan) hal-hal yang negatipnya saja, bersikap pesimis bahwa keinginannya adalah hal yang sulit tercapai.

“Manusia menginginkan aku ingin mobil itu, tetapi pada saat yang bersamaan suasana hatinya sangat mem-pesimis-kannya.”

Tubuh manusia –sebagai sistem psiko fisik—terdiri dari miliaran atom. Demikian juga alam semesta. Alam, yang terdiri trilunan atom, terhadap manusia, seperti magnit dengan pasir, ia saling menarik. Tapi alam hanya bisa membantu melipatgandakan satu atom pikiran dan keinginan manusia yang paling dominan saja, negatip atau positip salah satunya.

Maka saat energi pesimismelah yang dominan dalam pikiran Anda, entah Anda sekedar memikirkannya selintas sekali pun, maka alam akan merespon pesimisme itu dengan menyodorkan kelipatan pesimisnya, sehingga akibatnya kegagalan demi kegagalan yang anda alami, sesuai getaran negatip yang Anda kirim kepadanya.

Sebenarnya begitulah maksud Allah ketika IA memerintahkan kepada kita untuk selalu berpikir dan berprasangka baik (khusnudhon) kepada Allah, jangan suudzon, karena kata Allah, sesungguhnya Aku ini mengikuti prasangka hambaKU.

Mengedepankan pernyataan atau negasi serba negatip, serba pesimis, adalah pekerjaan iblis. Memang itulah sumpah setan saat hendak dibuang ke bumi bahwa dia akan membisikan hal-hal yang membimbangkan kepada manusia.

Sebaliknya, terhadap energi positip androgini yang mengajak pada kesalingmengisian, masyarakat tak memiliki kepekaan untuk segera mengiyakan, lama sekali, dan faktanya sampai sekarang, wacana yang meliputi berita laki-perempuan tetap saja berbau dunia laki-laki, yang menempatkan perempuan sebagai obyek di satu sisi dan korban disisi lain.

Ada persoalan besar di sini, mengapa situasi latent ini berkelanjutan, yaitu karena (1) para laki-laki umumnya malas berkomtemplasi memasuki hal-hal yang dianggapnya sudah lazim yaitu dunia “maskulin biasnya”, (2) para perempuan sendiri, baik secara organisasi maupun perorangan kurang mahir “menghumasi” diri agar kehidupan yang bias maskulin tadi mau mendengarkan perspektifnya.

Padahal, meski pun terlihatnya sepele,ber-androgini dalam perkawinan memberikan banyak keuntungan strategis dalam menciptakan perjalanan perkawinan yang vereatip, yaitu:

1.Menciptakan suasana saling membantu dalam mengurangi tekanan internal harian, berupa potensi konflik hanya karena masalah yang kelihatannya “sepele” misalnya, istri sibuk jumpalitan sejak subuh, tetapi suami cuek mendengkur saja, ini kelihatannya sepele tetapi sebenarnya sangat melukai rasa keadilan di pihak istri dan sebaliknya misalnya saat suami baru bekerja lembur semalaman, tapi baru satu jam tidur saja istrinya sudah mencak-mencak. Latenitas kekecewaan ini akan menciptakan bom waktu akumulatif rasa kecewa pada pasangan. Bila bom itu meledaknya di dalam, masih mending, tapi bila meledaknya “diledakkan” oleh the other pil/wil di luar rumah runyamlah jadinya

2.Membantu proses penenangan internal, Anda akan tahu bahwa saling bekerjasama dapat menciptakan efek peningkatan kemesraan. Penulis mengungkap strategi meningkatkan kemesaraan ini panjanglebar dalam buku Primitive Love, terbitan Leutika Yogyakarta, 2009.

3.Kerjasama androgini menciptakan rasa saling memayungi, saling mengembangkan (primitive love), berupa terkembangnya rasa sayang di kedalaman hati kepada pasangan kita.

4.Androgoni menyibukan diri dalam kegiatan pengembangan diri yang penuh ketakterdugaan bersama pasangan Anda, akan ada banyak kejutan menyenangkan yang sebelumnya tidak Anda pikirkan sama sekali, buktikanlah.

5.Proses androgini itu sendiri selain menciptakan kemesraan juga meningkatan daya imunitas masing-masing thd godaan eksternalitas,

6.Kebersamaan yang androginit meningkatkan “Penolehan ke dalam Vs penolehan keluar” , penolehan ke dalam artinya terciptanya, dorongan, momentum, motivasi, asbabul nuzul, penyebab para pasangan terdorong saling menyelami situasi emosi pasangannya, secara lebih dalam dan khusus

7.Aneka kegiatan “Suami Masuk ke dapur” membantu memenuhi space jiwa menjadi sangat padat dengan agenda bersama, keadaan ini otomatis akan menutup keisengan, meski pun keisengan ini kadang penting, terutama pada para pria, tetapi apabila keisengan itu dilakukan di tengah kelimbungannya, efeknya bisa sangat runyam.

Sumber bacaan : Srikandi Incognita

Semoga Bermanfaat.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline