Lihat ke Halaman Asli

Mana Yang Anda Pilih?

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_110647" align="aligncenter" width="385" caption="gambar By anak tebidah"][/caption]

Berjuta pengalaman pastilah sudah dilalui oleh seorang manusia, dalam menjalani kehidupan yang hanya sebentar ini. Beribu kepenatan, kegelisahan dan kecemasan terasa menyesakkan ruang-ruang dihati. Belum lagi bermilyar-milyar pilihan yang membuat manusia semakin tak mengerti tentang hidup ini. Pilihan-pilihan itu bagaikan ekstasi yang membuat melayang, hingga tak sadarkan diri. Harus melangkah kemana kehidupan seorang manusia? Menjadi badut yang selalu memakai topeng- topeng kepalsuan? Masuk jurangkah? Ataukah memasuki kemayaan yang selamanya tak berujung? Menjadi munafik dan penipu handal.

Eksistensi diri sebagai seorang manusia adalah pertanyaan yang selalu muncul dalam hidup seseorang. Namun, kebanyakan orang tak mau untuk mengetahui apa itu eksistensi. Siapakah mereka sebenarnya? Hanya sekedar makhluk ciptaan Tuhankah, yang segala sesuatu sudah diatur oehNya. Dan membicarakan takdir ini dan itu sebagai sebuah alasan yang apik, kamuflase. Seandainya hidupnya gagal, dia hanya berucap inikah takdir saya? Dan ketika beruntung, mengatakan dengan keras bahwa ini adalah perjuangan dan keringat saya. Apakah itu yang disebut manusia? Mungkin ada beberapa hal yang benar, namun banyak juga yang keliru. Mungkin anda-andalah yang tahu siapa sebenarnya anda, topeng-topeng itu juga anda yang mengetahuinya. Kemunafikan dan kejahatan anda, anda juga yang lebih tahu dari siapapun, mungkin juga berbagi dengan Tuhan.

Dimanakah mencari jiwa yang kita punya? Saya mempunyai sedikit cerita yang ingin diceritakan. Jangan disimak dengan baik. Cukup dipahami saja.

Ketika itu suasana hati sedang tak karuan. Namun tugas-tugas harus tetap dikerjakan dengan sebaik mungkin. Tiba-tiba sekibat pintas muncul kemauan untuk meminum kopi, sedetik kemudian mata tak tertahan untuk terkatup. Dan pilihan inilah yang membuat saya cinta akan kehidupan ini. Saya mencoba menenangkan diri, menata pikiran dan menelaah semuanya dengan baik, tentang pilihan-pilihan yang bermunculan dipikiran. Meminum secangkir kopi bukanlah sebuah permasalahan yang besar. Namun, ketika kopi sudah saya minum, saya tetap harus memilih untuk bersantai sejenak atau mengerjakan keduanya dengan ketidakadaan kenikmatan. Kemudian saya mencoba menggali tentang mata. Mata sudah amat berat, namun sekali lagi tugas harus dikerjakan. Sedangkan saya bukanlah seorang yang tenang apabila meninggalkan utang. Tetap saja sewaktu tidur, kenikmatan itu terusik oleh tugas yang mengaum kencang dimimpi. Dan saya akhirnya harus memilih. Coba tebak apa yang saya pilih? Anda belum menjawab karena anda mengira mungkin saya bodoh. Saya memilih untuk mengerjakan kesemuanya, meminum kopi, mengerjakan tugas dan tertidur diatas tumpukan-tumpukan kertas tugas yang berhamburan. Dengan tenang dan berat menyekap semuanya. Karena dengan saya melakukan semuanya, saya lupa bahwa dihari itu seorang wanita sudah menantikan kehadirn saya.

Kemudian dipagi harinya tumpukan berkas harus saya periksa kembali karena rapat menjadi kewajiban yang memberatkan sekaligus dibutuhkan. Memimpin rapat itulah yang saya lakukan, dan yang terpenting, pilihan itu sudah saya pilih dengan pertimbangan. Walaupun berat, terjal dan menyiksa hingga tak sedetik pun aku bisa menghela nafas dan menghirup oksigen dengan santai dan nikmat, tak ada waktu untuk lari.

Anda boleh tertawa sekeras mungkin tentang pilihan yang saya buat. Namun kalau anda menempati situasi yang sama, manakah pilihan anda? Dan jiwa yang saya miliki, tertidur tenang diantara anggur-anggur dunia yang nikmat. Menggenangi kehidupan yang saya jalani. Dan bersembunyi didasar kenikmatan dan kekeruhan itu. Mencari jiwa, berarti mencari keseluruhan makna kehidupan yang ada dalam diri kita dan lingkungan tentunya. Merenungi dalam kedinginan malam, sejak bersembunyi dari kepalsuan hidup, dan merangkainya kembali menjadi sebuah cerita yang pahit. Semakin anda larut dalam hinggar bingar keramaian zaman. Semakin anda sulit menemukan jiwa yang anda miliki. Mungkin saja anda bisa menolak kebenaran umum masyarakat. Namun, apakah anda mampu menolak pandangan yang anda yakini benar dan kebenaran objektif (kebenaran mutlak) sang pencipta? Dan sampai detik ini pun jiwa itu belum saya dapatkan sepenuhnya, bau, jejak dan arahnya, berkabut hingga sulit mencarinya. Jiwa itu bebas terbang melayang. Karena jiwa tak berbentuk, tek berwujud namun dapat dirasakan. Sedangkan kalau anda? Mana yang anda piih?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline