TKI secara eksplisit adalah mereka yang bekerja di luar negeri sebagai tenaga terdidik, terampil, terlatih, dan biasanya bekerja di sector swasta dan bukan sebagai pegawai negeri sipil. Istilah TKI sebenarnya absurd, karena secara terminology TKI adalah seluruh warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri. Oleh kerena itu ada sebuah perubahan sebuatan TKI menjadi buruh migran.
Di modernisasi dan globalisasi membawa manusia untuk mengejar kenikmatan dan kesejahteraan hidup. Kepuasan dan pemenuhan kebutuhan menjadi faktor utama manusia untuk bekerja. Namun hanya sedikit manusia yang bisa sukses dan survive. Keterampilan menjadi salah satu faktor penentu untuk dapat sukses. Yang gagal dalam proses struggle of life hanya bisa menjadi penonton.
Mereka yang gagal, tergiur mencari cara agar dapat memperoleh kesejahteraan secara instan. Bukan hal yang mengejutkan karena manusia telah dijejali berbagai hal yang instan dalam hidup sehari-hari. Instan dalam artian singkat jangka waktu kerja dan besar upah yang diterima. Jawaban dari 2 hal tadi menjadi Tenaga Kerja Indonesia atau TKI. Karena dengan menjadi TKI mereka berharap akan mendapat upah tinggi dalam waktu singkat.
Saat seseorang pekerja harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkannya, terpaksa melakukannya dan tidak ada pilihan lainnya. Maka orang itu telah mengalami apa yang disebut oleh Karl Marx dengan alienasi. Siapa sih yang mau menjadi buruh migran? Secara dengan risikonya, mulai dengan kekerasan oleh majikan, tidak digaji, ancaman, perkosaan, trafficking, dan deportasi. Alienasi mungkin salah satu dari sekian hal yang menjadi beban yang harus dialami oleh para buruh migran.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, seperti apa yang Weller and Bouvier (1981) sarankan untuk mengatasi permasalahan urbanisasi. Seperti penyeimbang pembangunan desa dan kota. Dengan memberdayakan masyarakat desa beserta infrastrukturnya. Akan menekan laju urbanisasi serta menciptakan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan.
Selain itu permasalahan mindset atau pola pikir para buruh migran haruslah segera dirubah. Pola pikir instan, matrealistis dan konsumtif haruslah segera diakhiri. Melalui pendidikan kultural yang berbasis pada etika dan logika harus segera ditanamkan pada setiap penduduk yang kebetulan lahir di negeri kita ini. Nilai pendidik sangat penting karena melalui pendidikan kita akan belajar berlogika, menakar sesuatu dengan akal sehat, serta menjadikan individu unggul yang cerdas.
Mengapa peristiwa kekerasan yang kerap kali terjadi pada pahlawan devisa kita tak kunjung berhenti? Padahal sejauh ini pemerintah mulai dari DPR, Presiden, sampai menteri sudah membuat lebih dari 20 peraturan tentang perlindungan buruh migran. Mulai dari tata cara perekrutan sampai dengan keberangkatan dan tiba di daerah tujuan pekerja. Namun implementasinya jauh dari kata ideal. Peningkatan kualitas para buruh migran, perlindungan dari calo, dan penyelesaian berbagai kasus yang sampai hari ini belum juga terselesaikan. Alasannya persoalan buruh migran sangat kompleks.
Oleh: Rahmat Sudrajat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H