Lihat ke Halaman Asli

Calon Penguasa Mengesampingkan aturan dengan Sampah Visual Kampanye yang Mengotori Wajah Kota

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikmati perjalanan di atas bis tidak lantas membuat mata untuk menutupnya karena kecapekan atau tidak ada yang dikerjakan. Tetapi pemandangan jalanan membuat saya harus menikmatinya. Melihat Jalanan begitu sesak oleh baliho dan spanduk dukungan pasangan calon presiden dan calon presiden. Padahal untuk masa kampanye  pilpres 2014 KPU memberikan waktu satu bulan penuh terhitung mulai pada tanggal 4 Juni hingga 5 Juli 2014.

Banyaknya yang  "nyolong start" sebelum gong kampanye pilpres bisa ditengarai sebagai black campaign, belum ditambah lagi dengan adanya blusukan dan deklarasi untuk mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Indonesia.  Pemasangan alat peraga tersebut memang menjadi media informasi dukungan. Tetapi, jika melihat kembali dalam  Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 2 Angka 14 di jelaskan yang di maksud  alat peraga kampanye adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, dan program pasangan calon, simbol-simbol atau tanda gambar pasangan calon yang dipasang untuk keperluan kampanye pemilu yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu.

Tentunya alat peraga kampanye yang di sajikan oleh pendukung di jalanan memang bukan untuk penyampaian visi-misi pasangan calon, tetapi semata-mata untuk memperlihatkan besarnya basis pendukung massa dan sebagai alat untuk mempropaganda pemilih dan kecenderungan membuat binggung pemilih. Berarti ada tendensi fanatisme berlebihan yang ditunjukan oleh tim sukses  atau pendukung dari ke dua belah pihak pasang calon penguasa negeri ini. Dukungan yang besar seakan membuat kedua calon tidak obyektif dalam bertindak 5 tahun kedepan dan kecenderungan membesar-besarkan kehebatan calon lewat permainan kata-kata. Ditambah dengan belum dimulainya masa kampanye.  padahal di dalam Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2014 Pasal  21  terkait  larangan pemasangan alat peraga di beberapa tempat, antara lain; tempat ibadah termasuk halaman, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan-jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Tetapi peraturan tersebut tetap di langgar oleh tim sukses. Spanduk kerap sekali menghiasi jalan-jalan protokol. Seperti di kota Solo yang saya jumpai, spanduk Jokowi-JK menghiasi jalan protokol yang memang menjadi kandang dari Jokowi, mengingat capres yang di dukung oleh 5 partai politik ini pernah menjadi orang nomor 1 di kota batik. Kata-kata dalam baliho yang dibuat oleh pendukungnya terlalu berlebihan. Ada yang yang bertutur Jokowi For President RI,  Wong Solo Kabeh Dukung Jokowi-JK yang di pasang di pepohonan.  Spanduk Prabowo-Hatta juga mewarnai di jalan raya  Salatiga-Semarang yang bertuliskan Prabowo-Hatta Dapat Mensejahterahkan Rakyat Indonesia, spanduk tersebut diletakkan membentang diantara  2 pohon besar.

Walupun terlihat lumrah dan sudah dilakukan di setiap pemilu di negeri ini, tetapi cara tersebut tidak mendidik dan kecenderungan mengajari untuk tidak mematuhi aturan terkait dengan pelarangan pemasangan alat peraga dan waktu yang tepat untuk melakukan kampanye yang sudah disebutkan di dalam aturan KPU. Hal, ini seakan menjadi pembiaran yang dilakukan oleh tim sukses maupun calon pasangan yang akan maju di pilpres dan juga  kurang tegasnya KPU, Bawaslu, Panwaslu baik di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi. Pemilihan tim kampanye di pilih oleh calon pasangan yang disebut tim kampanye nasional, setelah itu tim kampanye nasional ataupun calon pasangan juga memberikan pengarahan kepada tim kampanye di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Jika tim kampanye memberikan pengarahan dengan mengedepankan ketaatan peraturan kampanye maka yang terjadi tim kampanye di daerah juga akan mematuhi peraturan, tetapi jika pasangan calon dan tim kampanyenya  tidak mengedepankan  aturan yang telah dibuat maka terlihat pelanggaran aturan dalam berkampanye.

Adanya sikap seperti itu membuat kesan pelanggaran sudah diperlihatkan oleh 2 pasangan calon sebelum masa kampanye dan sebelum pemilihan tanggal 9 juli mendatang. Pertanda ketika siapun nantinya terpilih menjadi presiden maupun wakil presiden tentunya akan melanggar hal-hal yang sikapnya mendasar. Karena dengan suatu kebiasaan yang salah di lakukan terus menurus akan menjadi kejahatan yang besar pula. Apalagi terkait dengan etika, norma dan pelanggaran aturan. Indonesia 5 tahun mendatang bisa di lihat dari kebiasaan yang dilakukan oleh para elit politik yang sering menggembar-gemborkan janji lewat alat peraga dan blusukanya seakan bergaya ala negarawan yang menempatkan martrabat warga negara kepada sistem dan praktik ketatanegaraan dan praktik law enforcement (penegakkan hukum) hanya menjadi bumbu penyedap pada saat kampanye. Dengan mengumandangkan takbir sebagai pekik dan sumpah  sebagai jurus  untuk menjunjung pancasila tetapi pada kenyataannya malah menjadikan kemaksiatan politik sebagai alat untuk menggerus martabat bangsa.

Kampanye politik yang merupakan bentuk tebar pesonanya para calon penguasa untuk mencapai kekuasaan dengan menggeruk simpati terhadap rakyat dengan cara menuntun rakyat untuk memilih calon penguasa. Dalam kampanye saat ini sejujurnya masyarakat telah jengah untuk dituntut memilih, jika tuntutan rakyat yang menuntut pemimpin tidak digubris. Rakyat sejatinya mendambakan pemimpin negara yang dapat mengemban amanah untuk mempertajam watak demokrasi, bukan mempertajam kata-kata dan foto nyentrik di baliho dan spanduk.

Wajah kota memang tampak menjadi sampah visual janji-janji kampanye 2 calon pasangan. Masyarakat dipaksa untuk berada di dalam sampah janji yang mengelilingi kehidupan bernegara. Keadaan ini menimbulkan pudarnya idealisme rakyat untuk tetap merdeka tanpa paksaan dalam memilih pada 9 Juli mendatang. Kekuasaan tak henti-hentinya mengkhianati wajah negeri ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline