Lihat ke Halaman Asli

Koruptor Penghilang Susuk Konde Ibu Pertiwi

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah tatanan bernegara telah hancur di makan pejabat yang korup, hukum tak ubahnya sebagai permainan kucing-kucingan. Seharusnya aktor/aktris lembaga negara ini memerlukan reformasi moral, nilai kejujuran, kebenaran, dan kesungguhan. Kasus korupsi yang menjadi langganan berita utama media informasi tidak seimbang agresifnya dibanding penumpasan korupsi oleh lembaga anti korupsi.

Semua itu adalah cermin moralitas para pejabat dan penegak hukum yang sudah keropos. Meski sudah punya jabatan tinggi dan gaji besar, mereka tetap saja bernafsu untuk merebut harta benda yang lebih banyak lagi. Krisis moral ini menandakan sebuah kerusakan pembanguan moral manusia yang seutuhnya. Hampir seluruh sendi kehidupan bangsa yang terkait dengan kekuasaan sudah kumuh oleh korupsi. Kepentingan bangsa tidak ditegakkan hanya memilih keuntungan semata untuk masalah pribadinya. Mereka menggunakan kekuasaan untuk memperoleh benda dan kesenangan ,seperti hidup di tengah fatamorgana.

Orang-orang yang lebih waraslah yang seharusnya bergeriliya untuk mendorong bangsa ini kearah nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jangan menyerah untuk berjuang mewujudkan cita-cita begara, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu kecerdasan kehidupan bangsa, kesejahteraan, dan perlindungan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Korupsi menurut kriminologi adalah sebuah pembusukan. Ibarat borok kaki yang sudah busuk seharusnya di amputasi atau di potong. Korupsi termasuk dalam kategori kejahatan kelas elite atau white collars crime. Menurut penemu teori itu, Sutherland, kejahatan-kejahatan yang dilakukan para elite tersebut berkaitan dengan profesinya. Karena itu, sifatnya eksklusif, sistematis, berjangka lama, dan sulit dibuktikan. Seperti kejahatan jual beli perkara atau mafia peradilan, hanya kalangan profesi yang relevan dengan hukum yang bisa melakukannya. Kecenderungan ini disebabkan tidak adanya sesuatu yang membentengi kinerja pelaku korupsi, yang ada adalah nafsu dan sifat hedonisme membentuk perilaku korupsi yang mengahalalkan batasan wewenang dan aturan demi mendapatkan keinginannya.

Kejahatan korupsi memang saat ini telah menjadi trend dikalangan pejabat negeri, dan yang sangat mengerikan sekali jika sesuatu yang biasa dilakoni tersebut ada ditengah bangsa yang agamis ini. Religius yang lebih bersifat ritual, bukan kesalehan sosial. Orang-orang aktif menjalankan ritual keagamaan, tetapi korupsi jalan terus.

Dalam firman Allah surat An-nisa’ 29 disebutkan bahwa “janganlah kamu memakan harta diantara kamu secara melawan hukum (bathil).” Jika di korelasikan dengan para aparatur pemerintah saat ini sebagai penerima amanah rakyat yang seharusnya tidak boleh berkhianat terhadap amanah rakyat terutama dalam konteks korupsi. Berikan hak-hak rakyat karena susungguhnya Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban setiap penguasa mengenai hak-hak rakyat (H.R.Bukhari)

Instropeksi diri oleh para pemangku jabatan seharusnya lebih ditekankan lagi kepada olah pikir dan rasa yang lebih rasional dalam mengabdikan diri kepada negara Indonesia dan ketika menjalankan ritual ibadah. Ibadah yang dilakukan tiap hari atau setiap saat, tak ada artinya apabila kemaksiatan berkorupsi tetap dipertahankan. Tidak ada satu aspek kehidupan manusia yang tidak diatur dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena fungsi agama sebagai pengatur kehidupan manusia supaya mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan dalam menjalani kehidupan ini.

Pangkas habis koruptor! Sepertinya kita sering mendengar kalimat itu kerap di dengungkan, tetapi kenyataanya, hanya sebuah lips service guna menciptakan sebuah citra yag baik ditengah masyarakat madani. Substansi pemberantasan korupsi bukanlah pada penindakan. Tapi, pencegahan. Karena, penindakan dilakukan setelah adanya korupsi. Persis pemadam kebakaran. Sedangkan, pencegahan justru dilakukan di muka. Tujuannya untuk menutup peluang semaksimal mungkin bagi terjadinya korupsi. Apa bentuknya? Pengembangan budaya antikorupsi dan dilakukannya reformasi birokrasi. Terbongkarnya sejumlah kasus korupsi akhir-akhir ini ternyata berawal dari pembahasan anggaran di parlemen.

Sejak masa reformasi, parlemen diberi hak untuk ikut terlibat dalam penyusunan anggaran hingga ke level sangat teknis. Berbeda dibandingkan masa Orde Baru. Saat itu, parlemen hanya dimintai persetujuan tentang programnya dan nilai anggarannya. Kini, parlemen ikut diberi hak untuk menolak atau menyetujui hingga ke level teknis. Pada saat itulah terjadi deal-deal di balik meja program disetujui, tapi si anu atau partai anu dapat jatah. Bentuknya bisa berupa persentase, bisa pula memasukkan nama perusahaan yang akan memenangkan tender pada program tersebut. Kasus suap yang melibatkan anggota parlemen, salah satunya berada pada titik ini.

Persoalan korupsi tidak bisa lepas dari persoalan hukum, karena persoalan ini sudah mengarah ke kejahatan terorganisasi yang harus dilawan dengan tindakan preventif. Mengalir dari kasus per kasus, penentu titik solusi tidak jauh menyimpang dari instrument hukum dan penerapan sanksi yang dihasilkan dari proses anti korupsi. Realistis saja, demi menjunjung tinggi penegakkan anti korupsi, tidak cukup melalui instrument hukum, tetapi dibutuhkan pembentukan kultur anti korupsi yang elastis dan peka terhadap perkembangan kasus korupsi. Tugas ini merupakan tantangan lembaga penegak anti korupsi dan mahasiswa sebagai generasi selanjutnya.

Kita sebagai bangsa hebat dan bermartabat, tidak mau kehilangan jati diri kita dalam bernegara. Teringat sejenak petikan pidato Presiden Soekarno saat peringatan Sumpah Pemuda, Jakarta 28 oktober 1965, “ Wahaipara pemuda, Ibu pertiwi ini mempunyai konde, yang harus engkau hiasi dengan bunga. Jikalau engkau punya bunga mawar, sumbangkanlah bunga mawar kepada kondenya ibu pertiwi. Jikalau engkau punya bunga melati, hiaskanlah bunga melati kepada kondenya ibu pertiwi. Hiasilah, sumbangkanlah, berikanlah bunga-bungamu kepada konde ibu pertiwi.” Ini merupakan pesan agar kita memberikan yang terbaik bagi bangsa ini dan bukan sebaliknya, mencabuti, menggerogoti dan menghancurkan bunga-bunga hiasan konde Ibu pertiwi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline