Lihat ke Halaman Asli

Perempuan dan Kultus Kartini

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seandainya kartini lahir di tahun 2011, apakah beliau mampu menelorkan sejarah tentang perlawanan via teks dan intelektualitasnya lewat kumpulan catatan bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang?

Pertanyaan ini berawal ketika setiap menjelang peringatan Hari Kartini, 21 april, wacana selalu saja berkubang dalam perspektif perubahan kultur wanita masa kini yang kerap diidentifikasikan sudah melenceng dari apa yang Kartini ajarkan.

Kartini dalam beberapa tulisannya kerap mengejawantahkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pada era kekinian, permasalahan tersebut—meskipun sudah bukan menjadi masalah yang bersifat masif--tetap saja menjadi sasaran wacana publik.

Permasalahan perempuan Indonesia mutakhir, sejatinya tidak lagi mengacu pada gender policy, melainkan lebih pada substansi mindset dalam memandang kehidupan global.

Ejawantah seorang Kartini yang notabene perempuan Jawa yang ngalah terhadap adat. Perempuan harus taat terhadap adat meskipun bertentangan dengan kesetaraan gender. Kartini menolak keras.

Dalam salah satu kutipannya Kartini juga menyampaikan “cubitan halus” lewat pernyataan, alangkah senangnya laki-laki, bila istrinya tidak hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaanya, menghayatinya bersama suaminya”[Kartini, 4 oktober 1902]. Meski perempuan setara dengan laki-laki, tetap saja tak boleh melupakan peran sosialnya.

Perempuan harus mampu menyeimbangkan peran sebagai istri yang tak sekedar masak, macak, manak, melainkan mampu berpikir setara dengan menghayatinya bersama suami. Kartini, sebagai perempuan Jawa dengan ciri khas sanggul—bentuk rambut yang dibuat menggrumbul dibagian belakang kepala namun tertata rapi dan dilengkapi tusuk konde—mempunyai makna psikis yang kental. Sanggul digambarkan sebagai deskripsi cara berpikir yang hati-hati, tidak clingukan, cerdas, menjunjung tinggi adat, serta menjadi simbolisasi mahkota dari seorang perempuan.

Senyum tipis lamat-lamat yang dipamerkan dalam setiap lukisannya, memberi makna, perempuan mempunyai pembawaan tenang, lembut, namun tegas. Dari ikon kesempurnaan yang terlanjurkan pada sosok Kartini inilah krisis perempuan berawal. Kultus Kartini era mutakhir memang bergeser. Kartini tidaklah dipandang sebagai pahlawan emansipasi semata, namun mengarah pada standar perempuan yang “baik”. Sosok perempuan sejati.

Hal ini tentunya menyebabkan distransisi nilai moral-histori dan kenyataan kekinian. Kartini tidaklah lahir pada era lipstik berbahan baku emas, pergulatan di atas tahta kekuasaan, pergaulan ala Tomb Raider atau pun Charlies Angel, juga perempuan pada titik intelektual dan lintas peran. Perempuan Indonesia mutakhir adalah sebuah peran sosial-kodrati yang mampu menempatkan sisi modernitas secara global.

Kartini menjadi kultus, didewa-dewakan, yang tidak selidah-seiya dengan ajarannya berarti melenceng, yang apa-apanya harus ditakar dari kaca mata seorang Kartini. Sejarah selalu meninggalkan pesan yang bersifat memaksa dan membebani peran yang sudah pasti beda masa dan jamannya.

Kartini hidup dalam keterbungkaman, adat dan tradisi yang galak. Perempuan era kini ialah berdiri diantara nilai tehnologi, globalisasi, yang secara struktural dan anatominya terkontaminasi menjadi pemikiran manusia modern.

Tidak bisa disalahkan, mindset perempuan Indonesia modern tak lagi diukur dari kapasitas seorang pahlawan emansipasi. Memaknai Kartini di era Indonesia modern tidaklah pada baju adat yang sengaja diadatkan lewat karnaval atau model busana di atas cat walk. Bukan pula semacam style sanggul yang patut ditiru dan dielu-elukan. Kultus Kartini hari ini musti bersifat kualitas, bukan entitas.

Kita wajib bersyukur atas jasa Kartini. Memaknai segala pemikiran yang mampu menembus waktu dan zaman. Kartini mengabadi lewat pemikiran yang subversif, resisten, serta penuh penolakan. Kartini tidak lahir di abad 21. Abad di mana perempuan adalah mahluk sosio-kultural yang mampu berpijak pada nilai global. High heel dalam geliat modernisasi serta pergeseran peran secara sosial, intelektualitas.

Dan ketika Kartini dan sanggulnya yang mulai berdebu menyeruak dalam wacana Hari Kartini, perempuan Indonesia mutakhir tetaplah pada tendesi untuk perubahan. Meninggalkan Kartini pada zamannya, untuk segera beralih menjadi Kartini modern dalam tatanan sosio-kultural serta mampu berpikir think global act local. Not just sanggul dan kebaya. Dan mungkin akan semakin ekstrim, dengan melepas sanggul dan menggantinya dengan model atas daya cipta sendiri.

Perempuan Indonesia mutakhir mulai menulis jalan hidup, profesi, serta pemikiran yang lebih modern. Meninggalkan kultus entitas Kartini semata, yang sudah puluhan tahun silam dan tak perlu untuk ditiru ataupun diulang-ulang. Mencipta sebuah wajah. Wajah baru perempuan indonesia modern yang mengacu kualitas Kartini, sekali lagi, bukan entitas semata. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline