Lihat ke Halaman Asli

Modern atau Konvensional?

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sekedar cerita pendek tentang pengalaman saya menjadi seorang guru privat. Semenjak punya profesi baru sebagai guru les privat, saya jadi semakin tahu kalau ternyata menangani anak belajar itu gak semudah kelihatannya. Segala teori pembelajaran yang didengung-dengungkan saat kuliah hanya bisa digunakan sekitar 60% aja. Selanjutnya.. Ya, naluri kita sebagai seorang guru untuk membuat murid paham dengan apa yang sedang dia pelajari. Kalau kita terlalu terpaku pada segala teori pembelajaran tanpa mau tahu tentang ‘medan’ yang kita hadapi, itu justru akan membuat seorang guru tambah kesulitan.

Mungkin sudah ada beberapa blog dan ahli yang sudah membahas ini di mana-mana, tapi saya menulisnya sekarang karena baru mengalaminya sekarang. Saya adalah salah seorang yang gak setuju dengan ajaran jaritmatika yang diberikan pada anak-anak kelas satu SD atau pun anak TK. Oke, fine. Mungkin maksud beberapa orangtua dan guru baik sekali. Mereka ingin membuat anak pandai berhitung dalam waktu yang singkat. Idenya bagus. Tapi sekarang kita lihat bagaimana kalau itu diterapkan pada anak-anak SD kelas satu yang notabene cara berpikirnya masih terlalu logis.

Saya mencoba mengikuti ajaran guru mereka di sekolah saat belajar Matematika dengan metode Jartimatika (walaupun seumur hidup saya belum pernah diajari begituan).

Saya tanya.. “Ayo, enam tambah dua berapa jumlahnya?”

Murid saya yang masih kelas satu SD itu lalu mengangkat kedua tangannya, membuka kesepuluh jari tangannya lalu menunjuk jempol kirinya sambil bilang “ini enam”, lalu tangan kanannya mengangkat dua jari sambil bilang “ini dua”. Saya masih melihatnya meneruskan penjumlahannya. Lalu anak itu mulai menghitung dari jempol yang dia anggap sebagai angka berjumlah enam tadi sambil bilang “Satu.. dua.. tiga.. Enam tambah dua jadinya tiga.”

JDARR!! Metode dari mana itu??? Saya gak tahu kesalahan terjadi pada metode atau pada anaknya atau pada gurunya ini yang gak bisa ngajar dengan metode ini. Tapi saya sempat bingung mau mulai ngajari dari mana. Sampai suatu saat di pertemuan les privat yang kesekian, entah bagaimana ceritanya si anak ini mulai bisa lancar menghitung dengan jaritmatika walaupun hanya berbatas pada penjumlahan sampai angka sepuluh, mentok. Saat saya tanya belajar di mana, si anak bilang kalau ayahnya yang ngajarin. Oke.

Setelah itu, karena saya pikir si anak udah lancar menggunakan jaritmatika, saya beri soal dengan nilai penjumlahan yang agak banyak, mentok sampai penjumlahan 7 tambah tujuh.

Ehhh.. Lagi-lagi si anak menemukan jalan buntu. Saat ditanya tujuh tambah empat berapa. Lagi-lagi dia mulai kebingungan dengan jari-jarinya. Kedua jari kirinya (jempol dan telunjuk diangkat) lalu yang kanan diangkat empat jari. Dan si anak mulai menghitung.. “Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Lima.. Enam. Jumlahnya enam.”

Arggh!! Aku lalu mikir sendiri, aku cuma nanganin satu aja udah sampai hampir putus asa begini, gimana yang para guru kelas satu itu, ya? Tiga puluh (mungkin ada yang lebih) murid, tiap hari! Dengan kondisi psikis dan pembelajaran yang berbeda-beda. Wuahh, salut ama para guru SD itu..

Oke, kembali ke pokok persoalan saya. Mungkin untuk beberapa orang, menerima pembelajaran dengan metode jaritmatika ini bisa diterima dengan mudah begitu saja. Tapi gak sedikit juga anak-anak seusia mereka yang masih kebingungan dan akhirnya salah persepsi kayak murid saya itu. Saat saya tanya enam.. Ya dia jawabnya pake jempol itu. Enam itu jumlahnya ya jempol itu.

Untuk anak seusia anak kelas satu SD, sebagian ada yang sudah berusia lebih dari 7 tahun atau kurang dari itu. Dan menurut teori perkembangan Piaget, anak-anak itu masuk dalam periode pra-operasional (anak berusia 2 sampai 7 tahun). Di mana, anak-anak itu masih berpikir secara egosentris, yaitu mereka sulit sekali melihat dari sudut pandang orang lain. Mereka masih berpikir secara intuitif dan belum bisa berpikir logis. Kalaupun lebih sedikit, anak-anak sastu SD juga bisa masuk ke dalam tahapan operasional kongrit (anak usia 7 tahun sampai 11 tahun). Di mana anak-anak sudah dapat menggunakan penalaran secara logis menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam keadaan kongrit. Tidak abstrak (misalnya: tidak dapat membayangkan langkah-langkah persamaan aljabar) *dikutip dari buku Life Span Development-nya Santrock* I really like this book!

Jadi kesimpulan saya sebagai seorang guru yang sangat sulit mengajarkan berhitung dengan jaritmatika pada murid, jaritmatika gak sesuai kalau diterapkan di dalam sistem kelas yang notabene ada bermacam-macam murid dengan kemampuan memahami pelajaran yang berbeda-beda (untuk anak-anak kelas satu SD maksudnya). Dan anak-anak ini seharusnya masih dalam tahap pembelajaran dengan segala sesuatu yang kongrit.

Maka semenjak murid saya itu jadi kacau cara berhitungnya (karena berkali-kali bilang enam pake jempol) akhirnya saya ajari dengan metode konvensional, seperti yang dianjurkan ibuku yang adalah seorang guru SD kelas satu yang udah pro dan malang melintang di jagat sekolah selama berpuluh-puluh tahun. Saya ajarin berhitung dengan sarana, apapun itu bendanya, yang penting bisa diitung. Hitung-hitungan pakai jari untuk sementara diliburin dulu.

Dan pas saya tanya, enakan mana berhitung pakai jari sama berhitung pakai benda? Si anak bilang suka berhitung pakai benda langsung, karena gak kebingungan lagi.

Jadi, pleasee.. Buat orangtua maupun guru-guru yang udah nerapin cara hitung-hitungan pakai jaritmatika, itu baik. Tapi lihatlah umurnya dulu.. Untuk anak yang udah bisa diajak berpikir abstrak, membayangkan enam pakai jempol itu bukanlah hal yang sulit. Tapi untuk anak-anak yang baru mengenal kata “penjumlahan” ini, untuk belajar menjumlah saja masih agak kesulitan, apalagi harus diajak berpikir dengan cara abstrak. Hasilnya memang luar biasa, anak bisa belajar cepat. Tapi apa gunanya hasil kalau prosesnya gak berkualitas? Jadi, yaaa... Ini opini saya saja, siihhh...

Maturtenkyu. Adios..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline