Lihat ke Halaman Asli

Hati Seorang Papa

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aku berlari tergesa-gesa, ingin sekali untuk cepat sampai pulang ke rumah. Dalam benak pikiran ku terbayang wajah papa dan mama tersenyum pada ku. Membayangkan wajah senyum mereka kedua kakiku semakin gesit berari pulang.

“Aku menang lomba main volley ma”. Ucapku begitu sampai di depan rumah sambil memamerkan piala ku, mama menurunkan majalah yang sedang di bacanya itu, lalu menatapku dan kembali membaca lagi. Melihat wajah dingin mama senyum ku lupus. Bergegas aku masuk ingin menemui papa.

“Papa”…. Panggil ku.

Tidak ada jawaban.

“Pa”…. teriak ku..

Masih tidak ada sahutan dari papa, ku cari ke kamar tidak ada, di halaman belakang juga tidak ku temukan papa. Ku tinggalkan halaman belakang aku masuk ke kamarku, ku taruh piala ku di atas meja belajarku, aku merebahkan diri ke kasur namun baru beberapa menit ku merebahkan diri aku mendengar suara papa dari luar.

“Ervi kamu mau hadiah apa?”

“Ervi mau hadiah handphone  Blackberry pah”.. suara Ervi kakak ku.

“Keinginan mu akan papa sampaikan ke mama, papa akan tanyakan kepada mama apakah mama setuju, jika mama setuju papa akan belikan ya sayang”.. Sahut papa..

“Dengan atau tanpa pesetujuan mama Ervi harus punya hp BB, apa kata temen-temen ku hanya aku orang satu-satunya yang tidak punya”… Ervi ngotot.

Pelan-pelan aku keluar kamar dan menemui papa.

Papa dari mana?” Tanya ku

“Dari sekolah kakak mu, Ervi juara satu lomba menyanyi di sekolah nya”..

Aku tersenyum sambil menyalami kakakku.

“Itu apa?”… Tanya papa melihat aku memegang piala.

“Vita juara tiga lomba main volley antar sekolah pah”.. Kata ku… Papa hanya diam.

“Boleh di pajang di lemari depan kan pah?”

Papa menggeleng tanda tidak  setuju

“Di simpan di meja belajar mu saja lemari depan untuk kakak mu khusus menaruh piala-piala milik  Ervi”.. ucap papa..

***

Beberapa hari setelah kejadian itu aku kabur dari rumah, pergi ke rumah temanku Jane teman sekelasku.

“Orangtua mu sudah tahu kan kamu nginep di sini?” ,, Tanya Jane.

Aku menggeleng. “Papa gak akan kehilangan aku meskipun aku mati”..

“Jangan bicara seperti itu”

“papa baru cemas kalau kakak ku Ervi yang hilang”

“Jangan kau simpan terus rasa cemburu mu itu”

“Aku gak bakal cemburu kalau mereka gak pilih kasih sama aku”

“Mungkin memang seperti itu cara mereka menyayangi kalian”

“Entahlah”… jawabku malas.

Aku membalikan diri ku diam-diam aku usap mataku yang basah.

***

Seperti dugaan ku papa gak akan perduli aku tidak pulang, mau aku dimana, sama siapa, bahkan sekalipun aku mati papa gak akan peduli, mama juga gak cemas meski anak gadisnya hilang gak kasih kabar.

“Jane, aku minta izin tinggal di sini 1 minggu lagi ya”.. Kataku setelah beberapa hari terlewatkan.

“ Aku sih gak keberatan tapi kamu kasih kabar dulu donk ke ortu mu”. Sahut Jane

“Tidak usah Jane”..

Melihat keras kepala ku Jane tidak berbicara. Aku bertekad akan pulang jika papa menjemputku, seperti yang pernah di lakukan papa terhadap Ervi saat gadis itu pergi kemah bersama anggota OSIS di tengah hutan saat berhari-hari Ervi gak pulang papa luar biasa cemas dan meminta supir buat jemput Ervi, ketika sampai di rumah Ervi di sambut bagaikan ratu dan syukuran besar-besaran karena anak kesayangan nya pulang dengan selamat.

Saat pikiran ku mengingat-ingat masa lalu tiba-tiba hp ku berbunyi ada telpon, dari nomor rumah, aku berharap itu papa..

“Papa masuk rumah sakit non”. Terdengar suara bi Lina pembantu di rumah.

“ Kapan? Kenapa?” Tanya ku.

“Sejak 3 hari yang lalu”

“ Kenapa bibi baru hubungi saya sekarang?”

“ Nomor non Vita gak aktif, dari kemarin ga bisa di hubungi”

Aku meneteskan air mata, menyesal mematikan hp selama 3 hari. Begitu hp di tutup aku langsung ke rumah sakit.

Saat tiba di rumah sakit aku melihat papa di balut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi papa

“ Papa sakit apa?” Tanyaku pada mama yang sedang memegangi tangan papa.

“ Tiga hari yang lalu papa jatuh dari kamar mandi”

“ Lalu???” Tanya ku tak sabar

Mama terdiam sambil mengusap matanya yang basah.

“ Kepala papa pecah, darah menyembur, kata dokter harus di operasi tapi setelah di operasi papa belum sadar juga”

Aku tercengang mendengarnya

Ku genggam tangan papa ereat-erat, perlahan tangan itu bergerak. Aku tersentak, ku lihat bibir papa juga bergerak seperti mengatakan sesuatu yang tidak jelas, ku dekatkan telinga ku ke bibir papa.

“ Vita….” Ucap papa.

Aku  tidak yakin sama pendengaran ku, lalu ku dekati telinga ku ke bibir papa.

“ Dimana Ervi dan mama mu?” Papa bertanya tiba-tiba

“Mereka di luar, biar ku panggil pa”. Gegas aku beranjak untuk memanggil mereka.

“ Jangan!!” papa mencegah ku.

Aku berbalik.

“ Mengapa?”

“ Saat ini papa hanya ingin berdua dengan mu, papa ingin bicara sama kamu, papa tahu kamu cemburu pada Ervi, papa gak pernah merayakan apapun di saat kamu meraih sesuatu.”

Aku membisu….

“ Ketahuilah nak, biaya syukuran itu mahal, itu sebabnya papa hanya buat untuk Ervi”.. Kata papa dengan mata yang berkaca-kaca.

“Jika perhatian papa lebih besar pada Ervi karena menurut papa dia tidak punya tubuh sehat se sehat kamu, kamu tahu kan dia sering sakit-sakitan?”

“Papa sayang padaku?” Tanya ku dengan suara bergetar

Papa memeluk ku, “ tak ada seorang pun orang tua yang tidak sayang pada anak nya”.. Ucap papa sambil terisak menangis.

Meski semula enggan aku membalas pelukan papa, aku mengatakan “AKU SAYANG PADA MU PA”. Ku rasakan semakin erat papa memeluk ku. Namun saat aku melerai pelukan, papa tidak lagi bergerak tubuhnya dingin sedingin es, papa meninggal di pelukan ku.

Seminggu setelah kepergian papa aku merasa kesepian tapi meski papa telah tiada tapi kau selalu ada di hati ku, ucap Vita dengan sedih..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline