Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Mazhab Sastra Lewat Aoh K Hadimadja

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Amran Halim

Judul Buku: Aliran- Aliran Klasik, Romantik dan realisma dalam Kesusastraan dasar-dasar Pengembangannya.

Pengarang:  Aoh K. Hadimadja

Membicarakan aliran-aliran dalam kesusastraan tidak akan ada habisnya, setiap jaman akan membawa pahamnya masing-masing.  Karena pada dasarnya, aliran dalam kesustraan adalah keyakinan atau paham yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham untuk menentang paham atau keyakinan yang mendominasi atau menghegemoni pada saat itu.

Terkadang para penganut aliran yang sama tidak identik satu sama lainnya, masih terdapat perbedaan meski mereka tidak saling bertentangan, dan ciri-cirinya tertangkap dari karya-karyanya. Jadi meski tiap pengarang memiliki kepribadian yang khas atau ada seorang pengarang yang tak ingin dirumuskan pada satu aliran tertentu, namun dari ciri-ciri yang umum karya-karya mereka dapat digolongkan kedalam aliran tertentu.

Aliran baru akan senantiasa hadir selama dinamikan kehidupan manusia terus bergerak dan dialektik mengikuti atau menciptakan zaman baru. Dinamika kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: perkembangan politik dan ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan, tinjauan baru dalam filsafat, agama dan lainnya.

Dalam pendahuluan buku ini dipaparkan dengan sederhana, bahwa perkembangan aliran dalam kesusastraan dari mulai aliran klasik, romantik dan realisma adalah berisi tentang perjalanan zaman mulai dari keagungan zaman yunani dan romawi kuno, dan gelapnya abad pertengahan (476-1453) yang kemudian memengaruhi perkembangan kesusastraan pada zaman renaissance, kolonial, kapitalis, hingga sosialis.

Ada satu hal yang paling mencolok disorot oleh penulis dalam pendahuluan, yakni soal tidak mudahnya menjawab pertanyaan “Apakah sebenarnya aliran klasik itu—dan juga aliran-aliran lain?” karena terbatasnya penjelasan aliran-aliran itu secara cronologis.

Tentang aliran klasik, EncyclopediaBritannica saja tidak mengupasnya secara khusus, melainkan hanya merujuk pada persoalan humanisma, yang tidak begitu jelas. Bahkan Encyclopedia Americana tidak mengupasnya sama sekali. Juga soal kelucuan keduanya dalam mengupas realisma. Menurut Britannica, realisma menggambarkan yang jelek-jelek, sedangkan menurut pendapat Americana, realisma adalah palsu, kalau yang dilukiskan hanya yang buruknya saja.

Kemudian penulis membahas soal kebiasaan membandingkan romantik dengan realisma, padahal yang seharusnya menjadi perbandingan adalah antara klasik dengan romantik. Namun ternyata kesalahan perbandingan itu masih terdapat pula di dunia barat. Dan kesalahan itu bahkan dilakukan oleh pengaran belanda terkemukan yakni Dr. Victor E. Van Vriesland.[1] Kalau kita kurang luas bahan bacaan, lanjutnya, kita akan salah menyimpulkan, karena ternyata antara klasik di Inggris berbeda dengan klasik di italia atau di prancis.[2]

Tentang definisi realisme pun memiliki dua pemahaman yang berbeda antara seniman dengan filsuf. Realisma dalam filsafat skolatstik adalah paham agama yang kebenaranya tidak bisa disangkal lagi, ini berarti mempunyai pengertian yang sama  dengan idealismedalam kesusastraan.

Belum lagi jika melihat kenyataan bahwa dalam satu aliran tertentu masih tedapat perbedaan yang mencolok. Dua orang yang menulis tentang romantik misalnya, tujuannya belum tentu sama, jika sesorang menjadi penganut Rousseau (1712-1778), sedangkan yang satunya menentang keras. Sementara pertentangan mereka biasanya diuraikan dalam kritik dan esai yang bersifat akademik, sehingga tidak mudah bagi orang yang tak memiliki referensi ang cukup untuk memahaminya.

Persoalan lain yang menyulitkan kita untuk mengetahui apa yang menjadi ciri suatu aliran sastra adalah kebiasaan yang memasukkan para pengarang zaman romantik (1750-1850) dalam golongan tertentu.Misalnya di Jerman, para ahli suka membedakan antara zaman Romantik Awal dan zaman Romantik Akhir. Namun kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam menempatkan seseorang seperti Goethe (1749-1832) yang tidak masuk dalam dua golongan zaman romantik di Jerman. Sementara karyanya yang berjudul Faustdisebut-sebut “a bible of Romanticisme”[3]. Nama berikutnya adalah Shakespeare (1564-1616), pada umumna pengaran inggris itu demasukkan dalam bagian Renaissance—klasik—padahal karyanya yang berjudul  King Lear desebut sebagai lakon terbesar dalam sastra romantik.[4]

Dengan adanya persoalan diatas, telah kita ketahui bahwa tak mudah untuk memahami dan mempelajari aliran-aliran dalam kesusastraan. Maka kita harus mengetahui pula pengertian umum dari arti kata aliran dalam kesusastraan. Dalam bahasa Inggris terdapat dua kata: school dan movement.Menurut Cassell’s Encyclopedia ‘school’ menjadi sebutan bagi golongan-golongan yang pada umumnya menyepakati beberapa prinsip kesusastraan untuk dijadikan pegangan dalam berkarya. Prinsip-prinsip tersebut bisanya diumumpak berupa maklumat atau dalam suatu penerbitan bersama. Golongan tersebut sering melahirkan suara angkatan baru, yang menentang paham-paham angkatan sebelumnya.

‘School’ melahirkan ‘movement’, yang meluas dari satu negeri ke negeri lain, dan berpengaruh hingga puluhan tahun. ‘school’ hanya beberapa tahun saja, sedangkan ‘movement’ lebih luas dan usianya lebih lama. Beberapa contoh movement adalah aliran klasik, romantik, realisma, naturalisma dan simbolisma. Dan yang menjadi contoh school adalah futurisma dan surrealisma.

Dua istilah tersebut di Indonesia lebih akrab disebut ‘Aliran’ yang berasal dari bahasa Belanda stroming, yang awalnya dipakai pada PoedjanggaBaroe.

Pada pembahasan berikutnya yakni khusus tentang aliran klasik, ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya sebagai pembaca. Pertama adalah perbandingan karya pengaran klasik dan pengarang romantik. Perbedaan yang mencolok antara keduanya adalah landasan pemahaman tentang karya dan berkarya. Para pengarang aliran klasik seperti yang dicontohkan penulis adalah Jean de la Fontaine yang berjudul “Keledai dalam Kulit Singa” terjemahan Utuy T. Sontani[5], lebih terasa tenang, tidak gelisah, pikiran dipimpin logika yang ingin memberikan nasihat. Meski tidak semua pengaran aliran klasik berisi fatwa, tetapi sebagian besarnya memang demikian adanya.

Sangat jauh berbeda dengan salah satu contoh karya pengaran aliran romantik, John Edward Masefield yang berjudul “demam Laut” terjemahan Chairil Anwar, sangat terasa tentang kegelisahan seorang pencari kebenaran, bernuansa pertualangan, dan lebih pada pengungkapan suasana hati. Nyatalah bahwa semangan romantisma lebih pada kebeasan pengungkapan suara hati, tanpa kekangan logika, aturan tipografi dan segala aturan kenegaraan seperti yang dinyatakan Rousseau pada pembahan tentang aliran romantik di bab berikutnya.

Mari kita kebali pada pembahasan tentang aliran klasik, karya sastrawan klasik berikutnya adalah ciptaan Aesopus, yang berjudul “tani dan ular”[6], lebih bernuansa fabel, dan memiliki fatwa tentang salling menghargai hidup sesama makhluk hidup. Simpulan sementara penulis adalah besarnya pengaruh sastra Yunani kira-kira tahun 500 SM terhadap sastra klasik Perancis pada abad ke 17, seperti yang terlihat dari sajak La Fontine (1621-1695) jika dibandingkan dengan kara ciptaan Aesopus (±500 SM) .

Dinyatakan pula oleh penulis bahwa “Keledai dalm Kulit Singa” terdapat dalam dongeng binatang ketika Gautama Buddha (563-483 SM), dan ini bukan berarti pengarang prancis tersebut mendalami pula kebudayaan India, tapi sebelumnya penulis memaparkan hubungan Yunani yang telah begitu erat dengan India, mesir, persia, dan tiongkok jauh sebelum Constantinopel jatuh ketangan Turki. Karena pergaulan tersebutlah kemudian Yunani mendapat pandangan baru tentang cara bangsa-bangsa lain berpikir, membuat rumah, membuat pakaian dan bercocok tanam. Selain itu semua Yunani kemudian mengetahui tentang dongeng-dongeng dari bangsa-bangsa tersebut, diantaranya adalah dongeng binatang (fabel) yang kebanyakan berasal dari India dengan sebutan Jataka. Maka dari Yunani lah segala wawasan tentang bangsa-bangsa lain dipelajari kembali pada zaman Renaissance oleh penyair bernama Francesco Petrarca (1304-1374) yang dibantu oleh sahabatnya, yang juga pengaran bernama Giovanni Boccaccio (1313-1375)[7]

Dinyatakan juga oleh penulis bahwa pengarang klasik senang memberikan nasihat karna berkemungkinan merasa bertanggungjawab pada masyarakat terutama saat zaman Renaissance yang baru keluar dari abad pertengahan yang gelap gulita. Namun berbeda sekali dengan aliran romantik, ang menyatakan bahea sastra bukanlah alat pendidikan yang tenag dan penuh wibawa, melainkan cetusan jiwa yang tidak terikat, bebas berkumandang menurut sukmanya, tanpa tujuan selain mencurahkan isi hati. Maka ketika pengarang klasik berkarya dengan pertimbangan dan perasaan budi pekerti, penyair romantik cukup dengan mempertanggungjawabkan pada diri sendiri. Karena menilai suara hati adalah ang paling murni pada diri manusia, jadi tidak mungkin bohong pada orang lain. Namun pengarang klasik pun menjunjung kemurnian, bahkan kadang-kadang terlalu murni, karena cita-citanya sejak Abad Pertengahan dan kemudian terpengaruh idealisme Yunani.

Seperti yang tertulis di atas, maka kaum kelasik itu harus patuh pada patokan-patokan yang disiplin, yang diterimanya sebagai warisan dari Homerus (9 abad SM), penembang peperangan Troya, dan dikenal sebagai bapak puisi Eropa. Sementara kaum romantik tidak mengenal batas, langitnya tidak berufuk, tidak ada pembendung perasaan, dan tidak ada timbangan yang bisa menghambat kelantangan suarana. Sehingga tak berlebihan jika diibaratkan bahwa aliran kelasik adalah terang benderan dan aliran romantik gelap dan temaram (kalau pun merah adalah merah padam karna saking membaranya). Sementara keduanya adalah akibat dari perkembangan jaman dari Yunani, Abad Pertengahan dan Renaissanse.

Boleh dikatakan bahwa Descartes (1596-1650) adalah pembuka zaman klasik di Eropa (±1650-±1750), aliran yang paling digemari pada zaman renaissance. Pantaslah jika semboyannya yang berbuni “aku berpikir maka aku ada” populer, Karena zaman klasik menentang keras dogmatis Gereja pada Abad Pertengahan dengan akal pikiran dan logikanya, serta menggali kembali sejarah kegungan zaman Yunani-Romawi. Tetapi akhirnya seni klasik tersebut mengalami dekadensi, dianggap kering dan tidak memberikan kekuatan hidup. Maka timbulah aliran Romantik yang menentang rasio, karena mencari kebenaran harus pula menyertakan hati nurani tidak sekadar pikiran. Bagi kaum Romantik perasaanlah yang memberi garam kehidupan. Dan bagaimanapun, banyak orang telah menyepakati bahwa bapak Gerakan Romantik adalah JJ Rousseau (1712-1778), filsup Prancis kelahiran Swis.

Dikatakan bahwa Rousseau adalah salah seorang yang mula-mula meletakkan dasar ilmu kemasyarakatan, juga dasar-dasar ilmu yang progresif. Menurutnya manusia lahir merdeka, akan tetapi karena menghendaki perlindungan juga, terpaksa kemerdekaan itu terkorbankan dan segala ikatan dikenakan padanya. Namun apabila suatu Pemerintahan  tidak memenuhi perlindungan yang diharapkan, berhaklah ia melepaskan ikatan-ikatan itu. Maka semboyannya adalah “kembalilah ke tengah alam” atau “kembali kepada sifat yang asli”. Paham ini diakui sebgai paham demokrasi petama kali dan dari sinilah bibit revolusi Prancis mulai tertanam.

Besarnya pengaruh Rousseau tak hanya terhadap pengarang eropa, melainkan hingga pengarang abad ke-20 sekalipun. Gerakan romantik Rousseau tercatat antara 1750-1850. Bukti bahwa pengaruh Rousseau sebegitu besarnya di eropa adalah pengarang inggris William Wordsworth (1770-1850),pengarang Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832),juga pengarang Rusia Leo Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) dan banyak lagi. Bukti berikutnya bahwa pengaruh Rousseau hingga abad ke-20 salah satunya adalah DH. Lawrence (1885-1930) penulis roman Lady Chatterley’s Lover yang ditulis pada tahun 1928, dan tentu masih banyak lagi sastrawan abad 20 ang bisa dijadikan bukti keterpengaruhannya.

Perkembangan aliran sastra tak berhenti sampai itusaja. Pada perkembangan berikutnya di prancis, ketika alat-alat teknologi cangih ditemukan dan dipergunakan secara luas dalam keseharian masyarakat eropa waktu itu, karena juga pengaruh positivisme di dalam filsafat (manusia dapat menyelami diri dan memecahkan rahasia alam dengan ilmu pengetahuan, yang harus dilakukan dengan penyelidikan dan menarik kesimpulan dengan cermat)[8], kemudian alat potret ditemukan tahun 1839 dan pesatnya kemajuan jurnalistik, timbulah aliran realisme di dalam kesusastraaan perancis yang kemudian meluas ke seluruh benua barat (1850-1880).

Menurut para realis sesuatu tidak boleh diperindah atau diperburuk dari kenyataannya. Maka segala sesuatu harus dipandang secara objektif, tidak seperti romantikus, yang melihat segala sesuatu dengan perasaannya saja (subjektif). Tak heran jika karya-karya romantikus sering pergi ke alam khayal dan berada di negeri antahbrantah, kaun realis lebih menganjurkan untuk menghadapi zaman dan masyarakatnya sendiri.

Dalam gerakan anti romantik Jerman, yang dimaksud masyarakat adalah orang yang hidup paling rendah—orang yang tertekan kehidupannya oleh kalangan di atasnya, karena seni bukan lagi kemegahan seperti zaman klasik yang menempatkannya dalam bangsal-bangsal bangsawan, maka sastra bertugas untuk memperjuangkan kaum yang tertekan. Dengan sangat keras mereka menentang seniman-seniman yang berpaham l’art pour l’art. Paham seni untuk seni pertama kali diserukan oleh pengarang perancis Theophile Gautier (1881-1872) tujuannya berkesenian hanyalah untuk keindahan.

Dengan paham menggambarkan keadaan yang sesuai dengan kenyataan, tugas realis tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena yang nampak pada masyarakat tak bisa disimpulkan dengan enteng, melainkan menuntut pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara wawasan budaya, adat istiadat, agama, dan ilmu jiwa (psicologi) masyarakat tersebut. Seorang realis membutuhkan penelitian yang serius dan mendalam untuk sebuah karya yang hendak ditulisnya.

Beberapa penulis realis disebutkan dalam buku ini diantaranya Stendhal (1783-1842). Namanya disebut-sebut dalam dua aliran: realis dan romantik atas karangannya yang berjudul Le Rouge et Le Noir (Merah dan Hitam). Namun pada satu sisi, karya tersebut ditulis bukan sekadar keterpengaruhannya dari sebuah berita di koran kemudian ia membayang-bayangkan sebuah kisah untuk ditulis. Melainkan berita tersebut menggambarkan penderitaannya sendiri (empirik) di tempat kelahirannya dengan melakukan penelitian tentang filsafat, politik, agama, masyarakat dan ilmu jiwa yang dituliskan secara terang dan jelas tak segelap romantik. Oleh sebab itulah karya tersebut dinyatakan realis. Sisi lainya, ada beberapa penggambaran yang sangat menyentuh sisi romantisma, yakni pada pragment pembunuhan nyonya de Renal di sebuah gereja, diciumnya kening Julien oleh Mathilde ketika kepalanya telah terpisah dari badannya, maka Stendhal disimpulkan berjiwa romantik.

Namun kita meski menelusurinya lebih dalam tentang kejiwaanya yang penuh romantik itu untuk tetap disebut romantikus? Jika benar ia seorang romantikus maka pragment pembunuhan nyonya de Renal tersebut akan dituliskan dengan penuh perasaan dramatis oleh pengarangnya, ini tidak terjadi pada Stendhal, ia membiarkan pembaca hanyuk dengan sendirinya tanpa paksaan perasaan penulis. Tragedi pembunuhan nyonya de Renal di gereja saat beribadah dengan khusuk, sangat tendensius maknanya meski dituliskan dengan tanpa kebencian yang mencolok atau dramatikal kematian yang terkesan tragis.[9]

Tak hanya Stendhal yang disebut-sebut sebagai sastrawan realis yang berjiwa romantik, Honore de Balzac (1799-1850), penulis kumpulan roman La Comedie Humaine (Sandiwara Manusia) mengalami hal yang sama. Kisah tentang Vautrin dalam cerita Le pere Goriot[10], menurut pengarang Inggris, W. Somereset Maugham (187-1965), tokoh-tokoh yang sanggup menderita untuk memperoleh harta dan kekuasaan—tidak senang lagi dengan keadaan biasa yang dihadapi sehari-hari—adalah tokoh-tokoh yang berjiwa romantik, maka demikian pula pengarangnya[11].

Lagi-lagi kita mesti cermat membaca karyanya, seperti halnya kunci dari aliran relais, teliti dalam melihat yang tampak dan menyimpulkan. Di bagian akhir cerita Le pere Goriot, Balzac menulis:

Dan sebagai tantangan kepada masyarakat, Restignac pergi mendapatkan Madame de Nucingen untuk makan bersama.

Bagian akhir inilah yang paling terkenal dari Le pere Goriot dan Somerset Maugham tidak menyinggungnya, padahal itulah kunci mengapa Balzac disebut realis. Oelh karena itu kita perlu penilaian kritikus Prancis Andre Maurois yang menulis bahwa Balzac menyambut dunia seperti yang sewajarnya. Bukan saja yang baiknya seperti ibu dan kakak-kakak Restignac, akan tetapi disertakan juga yang jahatnya seperti kedua anak bapak Goirot itu.[12]

Berikutnya adalah seorang realis GustafFlaubert (1821-1880), selain dituduh romantikus, atas karyanya yang berjudul Madam Bovary yang dimuat berturut-turut dalam majalah La Revue de Paris tahun 1856, ia pun harus mengahadap meja pengadilan dengan tuduhan telah melanggar susila dan menghina agama.Madam Bovary yang ditulisnya selama lima tahun itu bercerita tentang kehidupan seorang dokter yang diselingkuhi istrinya, dan keduanya mati karena perasaan cintanya yang tak sampai. Cerita tersebut berdasarkan kisah nyata, tapi bukan karena itu pula roman tersebut dinyatakan realis, tapi lebih pada keberhasilan penulis menyajikan kenyataan di tengah masyarakat dan berdampak terhadap pembaca.

Dalam kenyataan hidup, banyak orang yang hidup dalam angan-angan, tak mau menapakkan kakinya di atas bumi,seperti halnya Emma dalam Madam Bovary yang berangan-angan memiliki seorang suami yang heroik seperti dalam buku-buku dongeng sang pangerang yang meyelamatkan putri. Emma merasa tidak puas pada suaminya sebagai doktor yang bersahaja juga sederhana tak membawa kehidupannya dari seorang putri petani menjadi bangsawan Prancis. Ia kemudian berkenalan dengan pemuda pelajar bernama Leon, namun harapan Emma tidak terpenuhi Leon karena ia tak begitu berani, bahkan meninggalkan Emma untuk belajar Hukum di di Rouen. Siang malam Emma mengelus dada atas kepergian Leon dan berharap akan ada anak dewa yang turun dari kahyangan yang akan membawanya pergi dari hidup yang suntuk bersama suaminya yang dokter itu. Hingga pada suatu hari Emma tergoda oleh seorang bansawan bernama Rudolphe dan bercinta dengannya di istana tanpa sepengetahuan suaminya, namun rupanya Rudolphe hanya menginginkan kepuasan batin dan sekadar menjadikan Emma sebagai mainan dan pemuas nafsu belaka. Maka Rudolphe pun pergi meninggalkan Emma. Kemudian Emma jatuh sakit berminggu-minggu. Karena anggapan suaminya Emma butuh hiburan, diajakalah ia nonton opera oleh suaminya dan dipertemukan dengan Leon yang pernah pergi meninggalkannya. Karena ketidaktahuan suaminya bahwa istrinya pernah memiliki hubungan gelap dengan Leon. Setelah tahu bahwa Leon berada di kota itu, Emma pun sering mendatangi Leon dan selalu mengajak Leon untuk menginap di sebuah hotel mewah. Leon kini telah menjadi orang kota yang berani bercinta dengan istri orang, karena terlalu seringnya, Emma pun terlilit banyak hutang dan tak mampu membayarnya. Ternyata lagi-lagi mahalnya biaya perselingkuhan tak mampu membawanya pada kehidupan yang diharapkan, ia kembali ditinggalkan Leon. Emma pun prustasi dan bunuh diri. Melihat istrinya yang bunuh diri, suaminya yang tidak mengetahui perselingkuhan istrinya, hampir-hampir gila ditinggalkan bidadarinya itu. Namun ketika ia menemukan surat-surat cinta istrinya bersama lelaki lain, ia tersentak dan mati.

Roman Madam Bovary[13]begitu nyata menggambarkan sisi kejiwaannya yang telah hanyut pada romantisme saat Emma bunuh diri minum racun, namun karena kedisiplinannya pada gaya penulisan realis, perasaannya tidak dibiarkan hanyut, itulah sebabnya butuh waktu lima tahun untuk menuliskannya. Karena mengalami proses pengeditan yang berulang-ulang.

Karena kisah itu sangat nyata pada kehidupan di Prancis, maka pesannya pada pembaca sampai, hingga dikatakan setelah membaca kisah Madam Bovary, para wanita di Prancis tidak berani hidup dalam khayalan yang akhirnya menyengsarakan diri, maka Flaubert pun terbebas dari tuduhan bahwa dirinya seorang romantikus yang melanggar susila dan menghina agama.

Beberapa penulis realis lainnya dalah Charles Dickens (1812-1870)yang berbicara tentang keterlibatan sosial seorang realis, gambaran karyanya tentang kemiskinan juga bertujuan untuk memperbaiki keadaan. Realisme di inggris kurang begitu memperhatikan pola namun sangat terwakili oleh Dickens, kebanyakan realisme inggris lebih pada pembenturan individu masyarakat, dalam dunia parlemen dan gereja.Sementara realis rusia, Ivan Turgenev (1818-1883)lebih pada benturan kenyataan masyarakat dengan agama dan filsafat, dan pernyataan Turgenev yang menarik untuk jadi simpulan penulis tentang realisme adalah: bahwa seseorang yang menganut aliran realisme atau yang menyatakan dirinya realis harus juga pandai menghargai keadaan yang sesungguhnya, walau pun bertentangan dengan keyakinan.[14] Maksudnya tidak lebih dari pada menggambarkan laki-laki dan perempuan yang sebenarnya—selain perbedaan pisik secara kasat mata, pikiran dan perasaan mereka dibiarkan seperti apa adanya yang terjadi pada kenyataan—tanpa ada penekanan pendirian penulis.

Kemudian dari kasus terhadap pengarang-pengarang realis tersebut muncul pernyataan, kenapa seorang penulis beraliran realis yang  menolak romantik bisa berjiwa romantik? Jawabnya adalah karena romantik terdapat pada setiap seniman, bahawan romantik adalah akar dan batang kesusastraan. Aliran-aliran yang timbul sesudah 1850 seperti realisme, naturalisme, impressionisme, simbolik hanya dahan dan rantingnya saja. Karena itu tidak aneh pula semuanya disebut Neo-romantik.[15]

Setelah kenyataan yang nampak sacara kasat mata diragukan kebenarannya, bahkan ketika diteliti hingga mendalam sekali pun, karena makin rumitnya realitas kehidupan manusia, lantas muncul keraguan epismologi (filsafat atas dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan). Seolah terjadi upaya perombakan ulang, pembentukan ulang dengan menghancurkan yang ada terlebih dahulu.

Karena saking rumitnya realitas yang ada, dinyatakanlah kemustahilannya bagi seseorang untuk bisa memastikan sesuatu yang dilihatnya dengan tepat, atau bersatu pendapat mengenai sesuatu yang bahkan dapat dipersepsikan secara objektif dan apa yang ada di luarnya, kritik ini datang dari seorang filsuf (Nietzsche). Bahkan perkembangan baru dalam psichologi yang diawali oleh Freud, meninjau kembali bahwa manusia adalah satu jiwa yang utuh. Ia bahkan menyatakan diri bahwa dirinya sendiri belum dikengenalnya, dengan alasan bahwa subjek manusia terpercah menjadi subjek yang sadar dan tak sadar (alam bawah sadar). Dalam puisi, pernyataan ini melunturkananggapan bahwa aku lirik adalah kesatuan yang utuh.[16]

Pemikiran ini telah menyebabkan suatu perembangan baru dalam dunia seni dan sastra yang kini disebut modernisme. Aliran ini menekankan penghayatan subjektif, bukan dunia luar objektif: menekankan pengalaman tokoh individu, bukan kelompok sosial; menampilkan perasaan dan pikiran yang halus, bukan kejadian-kejadian dunia. Modernisme muncul dalam tahun-tahun langsung sebelum dan sesudah perang dunia pertama. Diantara penulis roman modernistik adalah Virginia Woolf, Jams Joyce.

Ditinjau dari segi stilistika, yang emnonjol dalam teks modernistik ialah pengungkapan keraguan, yaitu bentuk pertanyaan, pengandaian, ungkapan tentang pengamatan (subjektif), dan ke(tidak)tahuan. Banyak yang dikemukakan, dan sering kali tidak mungkin dijawab. Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab karena tidak ditujukan pada tokoh lain. (bertanya pada diri sendiri -pem)[17] Maka tak heran jika kata-kata seperti “barangkali”, ”mungkin”, “dapat”, ungkapan pengandaian bercampur aduk dalam banyak teks modernistik sehingga kewibawaan pencerita dan keyakinan pembaca menjadi goyah.

Menghadapi Modernisme, membaca pasif tidak dimungkinkan; pembaca pasif akan tidak mengeti apa-apa, karena paksaan untuk aktif, teks mencekam pembaca dengan lebih keras, kebebasanna menjadi terbatas. Paradoks yang sama mendasari dogma tentang subjektivitas. Bila pengalaman dan pengamatan individu kita nyatakan sebagai masalah fundamental, sebenarnya kita terperosok dalam realisme yang baru. Dunia memang koheren dan objektif, hanya saja kita tidak dapat masuk ke dalamnya. Paradoks inilah yang kemudian menimbulkan reaksi yang baru yang menjadi lanjutannya. Aliran tersebut adalah Pascamodernisme.[18]

Dalam seni dan sastra pascamodernisme, setatus kenyataan dipertanyakan. Menurut para pascamodernisme, bahasa mendahului pembentukan dunia yang kita alami. Kekerasan atau cinta adalah mengalaman yang pernah kita dengar atau kita baca, sebelum kita jumpai sendiri. Salah satu penulis pascamodernis adalah Garcia Marquez “Seratus Tahun Kesunyian”.[19]

Masalah yang dikemukakan oleh pengarang pascamodernisme adalah masalah yang bertalian dengan setatus keberadaan dunia dan kemungkinannya diungkapkan dalam bahasa.[20] Jika keraguan para modernis merupakan suatu ketidakpastian epistimologis (dasar-dasar dan batas-batas ilmu pengetahuan)[21], tetapi bagi para pascamodernis menyorot masalah-masalah ontologis (cabang filsafat yang berhubungan dengan eksistensi). [22] Pengarang pascamodernis lebih mengeksplor pemikiran atau imajinansi yang melintasi batas-baas antar dunia. Dunia realitas masa kini dhubungkan dengan masa lalu dan masa depan. Pelampauan batas pelanet dalam antariksa. Atau pendobrakan antara batas dunia imajinasi dengan dunia nyata. Anggapan bahwa dunia nyata adalah sesuatu yang dihasilkan oleh bahasa di sini diketengahkan secara eksplisit.[23]

Dalam novel pascamodernistik, keraguan ontologis mengejawantah dengan berbagai cara. Pada fragmen roman Garcia Marquez pertama-tama kita lihat adanya paduan antara peristiwa yang wajar dan takwajar dalam gambaran dunia kita sendiri.[24] Dalam fragmen lainnya, terjadi peralihan secara eksplisit; yang adalah perbedaan yang besar dan tiba-tiba. Petunjuk lainnya dalam ragam penceritaan, yakni terjadi pencampuran ragam. Misalnya gaya romannya Don Quijote, gaya seperti kronika dinasti, silih berganti dengan gaya roman realistik.[25]Untuk mengenali ragam atau gaya penceritaan yang khas dari karya bernuansa pascamodernisme bisa dilihat dari dampak keraguan tentang setatus keberadaan dunia-dunia sering menyebabkan teks tidak mengacu pada peristiwa (rekaan) melainkan pada teks lain yang terdahulu. Justru acuan kepada sastra, yaitu rekaan yang lain, menekankan bahwa apa yang diceritakan mempunyai dasar eksistensi yang meragukan. Roman karangan Willem Brakman misalnya, seringkali merajuk padaroman realistik atau modernistik, buku kanak-kanak, kitab suci dan lukisan.[26]

Berikutnya adalah penokohan yang kerap lintas batas waktu atau jaman, pengandaian tokoh aku menjadi seorang yang pernah ada di zaman yang lampau, atau merasa berada di masa depan dan berdialog dengan tokoh lain pada masa itu. Tokoh-tokoh dalam Terra Nostra bermain poker masing-masing berasal dari berbagai buku. Ini melambangkan pelintasan batas.[27]Dan dunia yang terjadi dari pencampuran  dunia-dunia itu tidak memiliki status selain status kebahasaan. Ia dibangun dari produk bahasa.

Sarana lainnya yang digunakan adalah urutan kejadian yang tidak bernalar. Pemutar balikan semu dari cara ini kita bisa lihat kalau peristiwa disajikan dalam keterkaitan yang justru sangat sistematis namun bukan sistematis “logika” rentetan kejadian itu sendiri. Dalam novel Calvino berjudul Puri jalan Kehidupan yang terpotong, kisah dibangun berdasarkan permainan tarot.[28]Hal lainnya adalah diskontinuitas.[29] Maka setiap kenyataan sungguh beralasan untuk ditinjau ulang dari perspektif pascamodernisme, yaitu sebagai produk bahasa tentang suatu kenyataan dan pasti bukan hanya merupakan satu-satunya kenyataan.

Maka jelaslah bahwa perkembangan zaman, politik, ekonomi, filsafat dan agama telah memberikan perkembangan dan perubahan yang berarti pula bagi kesusastraan. Jika aliran klasik senantiasa memberikan pesan moral yang bijak, berpijak pada pikiran dan logika, juga patuh pada aturan dan terinspirasi warisan Yunani dan Romawi kuno.

Maka aliran romantik adalah penentangnya yang mengedepankan perasaan, lembut mendayu hingga merah padam, membebaskan manusia dari segala kekangan aturan, dan mengembalikan manusia pada alam kebebasannya.

Hingga pada perkembangan manusia telah mengenal filsafat positivisme, romantik ditentang oleh aliran realis yang mendasarkan karyanya pada kenyataan yang sesungguhnya. Jauh dari angan-angan yang membumbung tinggi, meski tetap saja, jiwa romantik melekat kuat pada para sastrawan realis hingga realis termasuk dalam aliran yang memiliki nama lain yakni neo-romantis.

Kemudian, realitas kehidupan manusia kian buram dan tak bisa hanya dilihat dari satu sisi untuk menilainya, lahirlah aliran modern yang mencoba menggugat ulang epistimologi yang telah ajeg dengan karakter penulisan yang penuh dengan pertanyaan. Menyandarkan pengalaman individu, berpikir dan berperasaan halus demi menemukan realitas dasar filsafat dan dasar ilmu pengetahuan yang benar-benar nyata.

Namun atas keparadoks-an aliran modern, lahir lah aliran pascamodern yang tak peduli dengan batas-batas epistimologi demi mempertanyakan ulang hal-hal yang bersifat ontologis: yakni soal eksistensi manusia di dunia ini.

Iniah dunia sastra, dunia yang tak akan lelah bercerita hinggakehidupan dimuka bumi ini benar-benar tinggal cerita.

Buku karya Aoh K Miharja ini, secara sederhana mampu memberikan penjelasan singkat tentang aliran-aliran dalam kesusastraan. Namun buku tersebut memiliki kelemahan, ialah contoh karya sastra yang dikutip tak dikorelasikan dengan karya sastra yang ada di Indonesia.

[1] Tertulis pada Halaman 18

[2] Emile Legouis dan Lois Cazamian A History of Literature (London. 1957, hl. 710 dst). Tertulis pada Halaman 19.

[3] Jacues Barzun Classic, Romantik and Modern (New York, 1961, hl. 8)

[4] J. Middleton Murry The Problem of Style (London, 1960, hl. 131)

[5] Termuat dalam Puisi Dunia II kumpulan M. Taslim Ali (Balpus, jkt, 1953). Tertulis pada hal 24.

[6] Terjemahan dari kumpulan jan Prins dalam bahasa Belanda. Tertulis pada hal 25-26.

[7] Tertulis pada hal 11.

[8] Tertulis di halaman 71

[9] Cuplikan tragedi pembunuhan nyonya de Rinal dalam karya Stendal “Merah dan Hitam” tertuang pada halaman 74-75.

[10] Judul asli Le Pere Goriot (1834). Dalam bahasa Inggris Old Goriot (Peguin Books). Cuplikannya terdapat pada hal 82-84.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline