Lihat ke Halaman Asli

“Perempuan Pertama” pada Panggung Teologi Avianti Armand

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh Amran Halim

Pengetahuan ketuhanan;mengenai sifat tuhan, dasar kepercayaan kepada tuhan dan agama, terutama berdasarpada kitab suci, telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah habis sepanjang peradaban manusia.Agama sebagai pengetahuan dan keyakinan, tidak sekadar tersaji dalam ruang-ruang peribadatan. Melainkan dalam segala aspek, ruang kehidupan manusia, diantaranya adalah ruang lingkup kesusastraan.

Sampai hari ini, dengan begitu mudah, kita dapat menemukan karya sastrabernuasa teologi dalam buku-buku prosa, majalah, koran minggu, hingga di dunia maya sekali pun. Telah banyak tecatat pengarang Indonesia dari masa ke masa yang mendasarkan karyanya pada keyakinan teologi, dan diantara sekian banyak penulis muda pada masa kini, Avianti Armand muncul sebagai pengarang yang beberapa karyanya terinspirasi oleh keyakinannya terhadap tuhan.

Sebagai seorang arsitek, kehadirannya di dunia sastra pada tahun 2009, dengan diterbitkannya kumpulan cerpen yang berjudul Negeri Para Peri, telah mampu merenggut perhatian para sastrawan, akademisi sastra dan penikmat sastra.Satu cerita dari buku tersebut, Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian, memenangkan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas. Kini, kumpulan cerpennya yang kedua Kereta Tidur tahun terbitan 2011, mendapat sambutan hangat dengan memposisikannya sebagai buku terlaris di toko buku Gramedia.

Tidak perlu kiranya membahas sosok Avianti Armand secara mendalam secara biografi, karna seorang sastrawan akan lebih mengenalkan dirinya dalam karya-karyanya. Baiknya kita mulai membedah sisi teologi dalam tinjauan mazhab sastra pada salah satu karyanya; Perempuan Pertama.

Cerpen ini menceritakan tentang kehidupan manusia pertama dari sudut pandang perempuan dengan segala ketidaktahuannya akan diri, nama, bentuk, dan segala sesuatu yang ada disekitarnya hingga sesuatu yang di sebut dosa.

Pada pembukaan cerita, pembaca diajak untuk menghayalkan suatukeyakinan yang seolah harus dimakmumi oleh pembaca:

Baiklah kita khayalkan bahwa perempuan itu ada dan ular itu ada dan taman di eden itu ada.

Dan seperti Tuhan, kita mulai meletakkan segala sesuatu pada tempatnya: (1) sebutir matahari untuk menandai timur (2) sebatang sungai bercabang empat; Pison, Gihon, Tigris, dan Efrat (3)beberapa pepohonan yang baik untuk dimakan buahnya (4) beberapa ekor burung, sepasang rusa, sepasang babi, seekor ular (5) seorang perempuan (6) sepokok pohon kehidupan (7) sepokok pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.

Pada pembukaannya saja, pengarang membatasi pembaca dengan ketat untuk meyakini apa yang ia yakini secara dogmatis.Sebelum lebih jauh, di negeri ini memiliki enam keyakinan teologi yang dilindungi undang-undang. Maka dari pembuka cerita tersebut, dengan sederhana, pengarang mengajak pembaca untuk sejenak meyakini apa yang tertulis dalam kitab Injil tentang proses penciptaan alam semesta dan kisah manusia pertama.

Karena bersifat dogmatis, paragraf ini memiliki karakter penulisan aliran modern dengan bukti memaksa pembaca beragama apa pun untuk turut dalam kesepahamannya. Dalam buku terjemahan Achadiati Ikram, terbitan Intermassa halaman 192, meyatakan bahwa menghadapi Modernisme, membaca pasif tidak dimungkinkan; pembaca pasif akan tidak mengeti apa-apa, karena paksaan untuk aktif, teks mencekam pembaca dengan lebih keras, kebebasanna menjadi terbatas. Paradoks yang sama mendasari dogma tentang subjektivitas.

Ciri modernis lainnya dari cerpen ini adalah firman dari tuhan dan narasi penilaian atas firman tersbut dari pengarang yang memberikan batas interpretasi pada pembaca untuk bisa memahami paragraf akhir cerita ini:

“Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

...

Tapi kita semua tahu, “jangan” adalah mantra pemikat dan tuhan telah melemparkan dadu. Memang ada tanda tanya yang berjatuhan seperti hujan di sisi kanan, tapi tak ada yang peduli.

dan dari paragraf kedua tersebut, seolah-olah pengarang mencoba menggoyahkan kembali keyakinan, dengan menuduh Tuhan-lah yang telah menyiapkan perangkap terhadap manusia pertama untuk melakukan perbuatan dosa. Inilah bukti lain sebagai karya modernis yang bermaksud menggoyahkan keyakinan epistimologi teologi pembaca.

Akan lebih jelas lagi kemuninan ini ketika perempuan pertama memulai proses pencarian untuk mengetahui apa yang tidak diketahuinya, bahkan tentang dirinya sendiri. Dari seekor ular lah, ia banyak mengetahui sesuatu. Dialog dengan seekor ular dimulai atas keheranan perempuan pertama saat melihat bayangan dirinya pada pemukaan air di sungai;

Kata perempuan kepada ular:

“Telah kulihat satu makhluk yang indah di kulit sungai yang beku. Di kepalanya ada surai yang berkilauan. Di dadanya sepasang buah yang molek. Di pangkal kakinya segumpal semak berduri. Dan ia menatapku.”

Jawab ular:

“Itu adalah kamu. Tapi kamu tidak boleh tahu.”

Tanya perempuan:

“Apa yang aku boleh tahu.”

Jawab ular:

Kamu adalah yang diambil dari laki-laki ketika ia tertidur. Kamu adalah bukan laki-laki”

Kata perempuan itu lagi.

“Bahkan segala sesuatu di dalam taman ini bernama. Kenapa aku tidak?

Jawab ular:

“karena lelaki itu belum memberimu.”

...

Kata perempuan itu:

“Aku belum lagi mengenal aku, bahkan asalku pun aku tak tahu.”

Ia menatap ke sepuluh jarinya. Tubuhnya mulai merasakan bingung. Di ruas jari-jari itu tertulis “tanah”, tapi ia tak ingat apa-apa tentang tanah. Di sana juga tertulis “rusuk”, tapi ia cuma tahu beberapa langkah dari ada ke bawah pohon.

Dari dialog tersebut kita bisa membayangkan, betapa perempuan pertama itu tidak tahu apa-apa tentang dirinya, namun ia tak henti mencari tahu dengan bertanya. Dari narasi dan dialog antara perempuan pertama itu dan ular, pengarang mencoba menjelaskan bahwa pengetahuan perempuan itu didapatkan dari seekor ular. Jika ditinjau dari segi stilistika, yang menonjol dalam teks modernistik ialah pengungkapan keraguan, yaitu bentuk pertanyaan, pengandaian, ungkapan tentang pengamatan (subjektif), dan ke(tidak)tahuan. Banyak yang dikemukakan, dan sering kali tidak mungkin dijawab.

Hingga pada sesuatu yang berkaitan tentang tubuh, seekor ular menjawab pertanyaan tokoh dengan tidakan, karena tak mungkin dijawab secara lisan.

Di balik matanya ular menjelma manusia—serupa makhluk di kulit sungai. Ia mendekat. Ia melekat: perempuan itu dan kembar siamnya. Tubuhnya ganda dengan bibir yang saling melengkap, busung yang saling bertaut dan meradang dan kulit yang jadi basah.

... Peremuan itu belajar dengan menyentuh hingga jerit meletar seperti petir yang terjepit di ketiak bukit. Lalu semua luruh. Tubuh dan buah-buah dari pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk.

Setelah itu, badai reda. Dan ular kembali melata. Perempuan itu tergeletak tak bergerak. Tapi kita sama-sama tahu bahwa ia tidak mati. Kita hanya tahu bahwa tubuhnya telah tahu.

Di penutup cerita, ketika perempuan itu masih terjaga dalam mimpinya dan telah mengetahui tentang tubuhnya, dinarasikan bahwa terdengar langkah laki-laki, manusia pertama itu, mendekat. Dan Tuhan telah siap untuk melemparkan dadu yang semua sisinya bertuliskan “dosa”.

Di baris ketujuh sebelah kiri, empat kursi dari ujung, Tuhan duduk dan menangis. Ditangannya tergenggam sebuah dadu. Pada semua sisinya bertulis: dosa.

Jika dilihat dari isi cerita dan gaya bercerita, jelaslah Perempuan Pertama karya Avianti ini tidak masuk dalam aliran kelasik, romantik, atau pun realis. Dalam beberapa aspek, penulis lebih condong untuk menyebutkan bahwa cerpen Perempuan Pertama pada karya sastra Modern.Aliran sastra Modern, lahir untuk menggugat keyakinan epistimologi (filsafat atas dasar-dasar dan batas batas pengetahuan) dengan mempertanyakan kebenarannya kembali.

Cerpen Perempuan Pertama ini menekankan penghayatan subjektif seorang perempuan pertama yang tak tahu apa-apa tentang dirinya, bukan pada dunia luar objektif tentang alam semesta yang baru diciptakan Tuhan. Pengalaman tokoh individu dalam menemukan identitas diri; menampilkan perasaan dan pikiran yang halus terhadap segala yang tokoh alami, tanpa peduli pada larangan yang Tuhan firmankan. Meski pada paragraf penutupnya, Avianti menyampaikan pesan teologis pada pembaca bahwa “Tuhan duduk dan menangis” ketika manusia pertama ciptaannya melakukan perbuatan dosa. ***

Biodata Penulis:

Amran Halim,Kelahiran Cirebon, 23 November 1986. Sekarang Tinggal di Bandung. Masih menjadi Mahasiswa (tingkat paling akhir) UPI Bandung. Aktif bergiat di UKSK UPI, FMN, komunitas ASAS UPI. Menulis kajian akademik, cerpen, opini, dan menulis kritik sastra. Di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak, elektronik dan majalah kampus. Serta sering menjuarai perlombaan cipta cerpen dengan nama Amran Banyurekso.Email: banyurekso@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline