Lihat ke Halaman Asli

Menelisik “Lokalitas dalam Sastra Indonesia” Maman S Mahayana: dari Tinjauan Kritik Sastra

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh Amran Halim

Dalam sebuah diskusi sastra di Facebook, terletup satu pertanyaan: “apa perbedaan antara esai dan kritik sastra?” dari komentar seseorang atas catatan yang disajikan. Kemudian pertanyaan tersebut mendapatkan jawaban seperti ini dari Puji Santosa sebagai penyaji:

Esai biasanya disamakan dengan artikel, boleh dan bisa bukan berupa kritik, bahan esai boleh apa saja, tidak harus sastra. Ciri kritik adalah penilaian yang didukung dengan argumentasi, seperti ditunjukkan kesalahannya atau kelebihannya. Ciri esai sekadar tulisan apa saja, boleh esai sastra, boleh esai bahasa, filsafat, dan lainnya sebagainya.

Maka simpulan sementara perbedaan keduannya tidak diukur dari panjang atau pendeknya tulisan tersebut, seperti halnya perbedaan antara cerpen dan novelet, melainkan lebih pada isi dari karya tulis tersebut. Atas dasar itulah, tulisan ini dibuat untuk menelisik tulisan karya Maman S Mahayana yang berjudul “Lokaliltas dalam Sastra Indonesia”, apakah termasuk pada kategori kritik sastra atau esai sastra atau budaya?

Pada pembukaan tulisannya, Maman S Mahayana membatasi devinisi lokalitas dalam konteks budaya yang dimaksud untuk membedah beberapa karya sastra yang akan dibahasnya. Berikut ini adalah kutipannya;

Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap lokalitas budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik—pendukung kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.

Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas –relatif—berdasarkan garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang mengungkapkan harapan-harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat, atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.

pada paragraph berikutnya, dinyatakan bahwa devinisi lokalitas budaya sama sekali tak bisa disamaartikan dengan lokalitas dalam konteks garis geografi dan administrasi kekuasaan politik sebuah pemerintahan.

Sementara itu, kita sama-sama tahu, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan keragaman budaya. Dari satu teritori administrasi pemerintahan terkecil pun—sebut saja desa—masih banyak yang memiliki 3 sampai 7 ragam budaya yang terbagi dalam penyebutan kampung (Jawa Barat) atau suku (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua).

Dari kondisi tersebut, kemudian Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dari Universitas Indonesia tersebut, memberikan devinisi berikutnya yang menjadi batasan pembahasan tulisannya, yakni soal pemahaman lokalitas dari sudut pandang karya sastra. Di bawah ini adalah kutipannya;

Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –menyitir pandangan Melani Budianta—adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna teks, jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.

di sini Maman S Mahayana ingin menekankan bahwa pengertian lokalitas dalam sebuah karya sastra bukan pada teks yang menggambarkan latar, bahasa dan sosok tokoh secara pisik semata. Melainkan pada teks yang mengandung nilai-nilai sosio-kultural hingga idiologi masyakat tertentu yang tersirat atau tersurat dari perwatakan tokoh dalam sebuah interaksi social. Selain dari itu, teks sastra yang mengandung lokalitas budaya tertentu akan mengalami pemaknaan yang beragam dari pembaca dengan sudut pandang budaya lokalnya masing-masing. Sehingga akan memperkaya wawasan dan wacana budaya dari masa ke masa dengan sangat dinamis, lentur dan senantiasa menggelinding secara kontekstual.

Setelah kita mengeksplor dua devinisi lokalitas dalam kutipan langsung di atas, sekarang kita mulai untuk melihat cara akademisi sastra yang satu ini dalam membedah karya sastra dalam tulisannya ini. Sebagai permulaan, sebelum kita menelisik dengan acuan teori kritik sastra, baiknya kita mulai dengan mengutip paragraf yang menunjukkan contoh melihat sisi lokalitas dalam sebuah karya sastra.

Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya, menyebut Sumatera—Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah Air”, Sumatera lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah airku/Sumatera namanya tumpah darahku//

Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul “Indonesia, Tumpah darahku”7 menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi: wilayah, bangsa, dan bahasa.

dalam membedah teks sastra karya Yamin, kritikus yang satu ini menunjukkan cara pandang secara konteks social budaya seorang M Yamin, tidak sekedar tekstualnya saja. Karna jika hanya dilihat dari teks-nya saja, kita akan terjebak pada simbol-simbol geografis dan patriotisme semata. Maka jika dilihat pada paragraf selanjutnya, kritikus asal Cirebon ini tak hanya mengajak, melainkan juga menuntut pembaca untuk “memahami kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra” untuk menemukan sisi lokalitas dalam sebuah teks karya sastra.

Baiklah sekarang kita mulai untuk menelisik karya tulis Maman S Mahayana berjudul “Lokalitas dalam Sastra Indonesia”dari tinjauan teori kritik sastra agar lebih meyakinkan bahwa ini adalah contoh karya tulis kritik sastra.

Jika dalam devinisi sederhana dari bentuk kritik sastra seperti yang disimpulkan oleh Nenden Lilis A dalam Kiat Praktis Menulis Kritik Sastra(2006:11), bahwa tekanan utama dari krtik sastra adalah penilaian. Begitu pula dengan Rene Wellek (1963:35) yang menjelaskan bahwa kritik sastra merupakan studi karya sastra yang konkret pada penilaiannya, tentunya harus melalui analisis dan pemaknaan (interpretasi). Mari kita tengok kutipan di bawah ini;

Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan tradisionalismenya adalah musuh ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana, ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-mamak, kultur leluhur, tanah kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk Meringgih, dengan sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-mamak, kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang saling berlawanan: tradisionalisme—patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik, serakah, dan brengsek yang menunjukkan segala sisi negatif bagi kemanusiaan. Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat legitimasi tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.

Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi positif modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.

Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk kompromi yang menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi kemenangan pada tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan pada Samsulbahri yang tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsulbahri diusung sebagai pahlawan, itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.

Kutipan tersebutadalah upaya Maman S Mahayana dalam menganalisis, dan kemudian menyimpulan serta menilai bahwa kelemahan novel “Siti Nurbaya”terletak pada deskripsi kematian Samsulbahri yang diusung sebagai pahlawan, kemudian menilainya sebagai karya yang kompromi dalam perang idologi antara kolonialisme dan patriotisme.

Kemudian pada paragraf lainnya, Maman S Mahayana menunjukkan bahwa penilaian novel “Siti Nurbaya” berasal dari sudut pandang aliran kritik sastra Perspektivisme.Yakni penilaian karya sastra berdasarkan dari berbagai perspektif tempat, waktu dan sudut pandang sehingga karya sastra bisa dinilai dari waktu terbitnya dan pada masa beriktunya. Paham ini berpendapat bahwa karya sastra bersifat abadi dan historis. Abadi karena memelihara ciri-ciri tertentu, historis karena karya itu melampaui suatu proses yang dapat dirunut jejaknya. Dengan kata lain, karya sastra dapat dibandingkan sepanjang masa berkembang, berubah penuh kemungkinan penilaian. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui penafsirannya sepanjang zaman (berubah menurut tanggapan penafsirnya). Di bawah ini adalah penjelasan kontekstual, yang menjadi pembenaran atas Novel “Siti Nurbaya” ditulis dengan kompromis oleh STA;

Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial, lokalitas Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik  tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional, komunal, dan karikaturis. Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe Barat yang lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan berbagai teknologinya.

Perdebatan Timur—Barat yang terjadi pada dasawarsa tahun 1930-an yang kemudian diberi label oleh Achdiat Karta Mihardja sebagai Polemik Kebudayaan, sesungguhnya lebih merupakan tafsir atas lokalitas kultur etnik yang diperlakukan sebagai representasi dunia Timur berhadapan dengan globalitas dan semangat rasional Barat. Lokalitas dalam sastra terbitan Balai Pustaka ketika itu memperlihatkan marjinalisasi dan inferioritas dunia Timur dalam berhadapan dengan superioritas dunia Barat. Tentu saja tafsir ini tidak berlaku ketika kita mencermati karya-karya yang berada di luar jalur Balai Pustaka. Kesusastraan di luar Balai Pustaka ini pula yang seolah-olah sengaja dibiarkan tanpa suara, dituding sebagai “bacaan liar” dan dicemooh sebagai roman picisan. Di dalam novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka, kita akan banyak menjumpai tokoh-tokoh Belanda yang pemabuk, keluar—masuk rumah bordil, bahkan juga potret dunia pernyaian yang terjadi ketika itu.

Sementara dari sisi jenisnya, Lokalitas dalam Sastra Indonesia ditulis berdasarkan media dan carapengungkapannya. Di sini Maman S Mahayana memanfaatkan media massa (Majalah Horison) sebagai wadahnya, dan lebih menekankan pada aspek informasinya yang ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas.

Dalam tulisan tersebut, Maman S Mahayana masih memberikan ruang kosong bagi pembaca untuk mengujikan nilai lokalitas dalam puisi Sutardji “Luka”. Menurut pendapatnya. Isi puisi tersebut akan memiliki makna yang beragam ketika pembaca menafsirkannya pada sisi lokalitas budaya masing-masing. Dengan penekanan, untuk tidak menafsirkan “Luka” Sutardji pada tekstual semata. Karena diprediksikan olehnya, pembaca akan menemui kegagalan penafsiran.

Dari segi manfaatnya, karena Maman S Mahayana memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam Puisi M Yamin “Bahasa, Bangsa” dan “Tanah Air” juga puisi Sutardji “Luka”, Novel STA “Siti Nurbaya” dan Novel Marah Rusli “Salah Asuhan”, dalam tulisanya. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami sisi lokalitas dalam karya-karya sastra tersebut. Dengan demikian, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra berestetika lokal, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra yang serupa akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan budaya lokal, memperhalus budi, mempertajam pikiran, kemanusiaan, dan kebenaran.

Pada sisi lainnya, tulisan berjudul Lokalitas dalam Sastra Indonesia ini, telah menekankan kembali makna lokalitas dalam teks karya sastra. Dan memberikan devinisi tentang makna lokalitas secara teoretis bahwa ”lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan terjerembab pada ketersesatan ***

Biodata Penulis:

Amran Halim,Kelahiran Cirebon, 23 November 1986. Sekarang Tinggal di Bandung. Masih menjadi Mahasiswa (tingkat paling akhir) UPI Bandung. Aktif bergiat di UKSK UPI, FMN, komunitas ASAS UPI. Menulis kajian akademik, cerpen, opini, dan menulis kritik sastra. Di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak, elektronik dan majalah kampus. Serta sering menjuarai perlombaan cipta cerpen dengan nama Amran Banyurekso.silahkan kirim pesan ke Email: banyurekso@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline