Lihat ke Halaman Asli

“Kereta Tidur” Avianti; Melaju dari Teologi, Menuju Ambiguitas Manusia

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Amran Halim

Kekinian, ketika dunia telah maju dengan pesatnya dalam sisi teknologi, kehidupan realitas masyarakat, terutama di perkotaan, kian menjadi abstrak dan kehilangan bentuknya. Seolah, eksistensi manusia terseret pada dunia maya yang sulit dipahami. Akar-akar budaya juga teologis, mulai tak menjadi pijakan hidup. Inilah salah satu persoalan peradaban yang sedang mengancam masyarakat Indonesia.

Seringkali, kita sebagai manusia, yang dibekali akal untuk bertindak manusiawi, merasa limbung dalam menafsirkan hasrat atas respon kontekstual realitas hari ini. Alam bawah sadar kerap lebih dominan dari pada alam sadar yang perih dan menyakitkan. Maka seperti yang diungkapkan seorang psychoanalisis modern, J. Lacan, bahwa manusia adalah mahluk ambiguitas yang tak mudah dipahami atau memahami dirinya sendiri. Karena apa yang dilakukannya seringkali bermakna ganda.

Disinyalir, atas pemahaman teologi tauhid yang mengimani kisah Adam-Hawa sebagai manusia pertama, bahwa manusia pertama pun tak mampu menghindari keambiguitasannya. Hingga akhirnya terusir dari surga. Dari realitas inilah, Avianti Armand, mencoba mendeskripsikan itu semua lewat cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam “Kereta Tidur” yang dirancang dari landasan teologi untuk diberangkatkan pada realita ambiguitas manusia.

Sebagai seorang arsitek, kehadirannya di dunia sastra pada tahun 2009, dengan diterbitkannya kumpulan cerpen yang berjudul Negeri Para Peri, telah menambah daftar menu selera pembaca sastra Indonesia dan mampu merenggut perhatian para sastrawan, akademisi sastra dan penikmat sastra. Satu cerita dari buku tersebut, Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian, memenangkan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas. Setelahnya adalah kumpulan puisi “Perempuan yang Dihapus Namanya” tahun 2010, juga buku Kritik Arsitektur Indonesia. Kini, kumpulan cerpennya yang kedua Kereta Tidur” tahun terbitan 2011, mendapat sambutan hangat dengan memposisikannya sebagai buku terlaris di toko buku Gramedia. Begitulah sekilas perkenalan prosais Perempuan Indonesia setelah Nenden Lilis A, Ayu Utami, dan Djenar.

Persoalan realitas yang dibenturkan pada keyakinan teologis, yakni tentang pengetahuan ketuhanannya, seperti hendak disampaikan pada pembaca, bahwa kedua persoalan itu juga mengalami benturan dahsyat terhadap hasrat dalam diri manusia. Bahkan sebelum dunia benar-benar ada. Hal ini disampaikan dalam “Perempuan Pertama” ketika Perempuan Pertama itu memberanikan diri menyelami laut pengetahuan meski ia tahu itu adalah dosa dan hasratnya berbicara; “sekali-kali kamu tidak akan mati. Tapi kamu akan tahu bahwa kamu akan mati”.

Keambiguitasan lainnya pun hadir hampir dari seluruh tokoh dalam cerpen-cerpennya. Misalnya dalam cerpen “Dongeng dari Gibraltar”. Bercerita tentang sepasang suami isri yang hidup sederhana. Namun hampa karena tak memiliki anak. Mereka tak bahagia. Hampir putus asa. Suatu hari mereka mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan mimpi mereka, dengan media sebuah peti. Namun mereka harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi mereka berdua. Dan ternyata mereka mengorbankan eksistensi mereka sendiri demi keberadaan seorang bayi.

Ambiguitas manusia atas eksistensi terdapat juga dalam cerita “Tiket ke Tangier”. Dikisahkan tentang sepasang manusia yang jatuh cinta di Tangier pada tahun 1973. Mereka bercinta pada suatu hari, lalu berpisah untuk bertemu kembali empat bulan kemudian. Namun pada bulan ke tiga, dia “tokoh perempuan” hamil dan membuatnya tak bisa tidur selama empat hari. Hari ke lima membeli tiket ke Tangier untuk bertemu kekasihnya. Dan ambiguitas eksistensinya hadir pada hari ke enam setelah menemui dokter. “Dia tak ingin membuatmu takut. Tapi manusia adalah makhluk yang rapuh—dia tak pernah melihat hari ketujuh.” Dengan kata lain; Perempan itu bunuh diri.

Keambiguitasan manusia atas eksistensi pada tiga cerita di atas, lebih condong pada pemahaman manusia atas keber(ada)an wujud diri dalam kehidupan ini. Dan pengorbanan diri adalah bentuk pertentangan atas eksistensi individual. Dalam “Perempuan Pertama” pengorbanan dilakukan ‘Adam’ dengan rela diturunkan ke Bumi demi menemani ‘Hawa’. Pengorbanan pada “Dongeng dari Gibraltar” dilakukan oleh sepasang suami istri demi kehadiran seorang bayi di dunia. Dan pengorbanan seorang perempuan pada “Tiket ke Tangier” demi eksistensi kekasihnya. Seperti halnya kisah teologis yang ada; yakni tentang pengorbanan Musa as. demi perintah tuhan pada Ibrahim as, dan pengorbanan Isa as. demi pengikutnya.

Jadi, pengorbanan dengan bentuk peniadaan eksistensi diri manusia, tidak sekadar berarti kematian yang kini berkonotasi kesedihan dan kehilangan. Pengorbanan dalam kisah-kisah teologis dan pada tiga judul cerpen karya Avianti ini bermakna keabadian dalam keti(ada)an bentuk atau wujud.Ini adalah bentuk kemenangan id pada pertentangannya dengan superego dalam ego, meski berdampak kematian.

Pengejawantahaan keambiguitasan prilaku manusia berikutnya adalah tentang kemunafikan, adalah tindakan yang berbeda dengan pengorbanan. Berikut adalah kutipan dialog atau narasi yang menunjukkan pertentangan dalam ego antara id dan superego yang mengalahkan id;

Pada cerpen “Sempurna”, dikisahkan seorang perempuan yang ‘sempurna’ dalam sudut pandang superego masyarakat modern. Bernama Lara. Dia cantik, pintar, dan berprestasi. Ibu mana yang tak membanggakannya. Namun dari kesempurnaannya itu, ternyata ia lampiaskan segala kegagalan pada bonekanya bernama Aral. Hingga tak lagi memiliki jari, rambut, dan terhujam jarum di sebelah matanya. “.... Dia menghukum bonekanya karena tak bisa bermain piano. .... Dengan kepala botak, Aral bisa mengerjakan matematika dengan lebih baik. ..., Aral adalah Lara yang dieja terbalik.”

Sikap Lara terhadap Aral, boneka yang mencitrakan dirinya, bukanlah tidakan yang sadis apalagi masokis. Melainkan sebuah bentuk ketidakpuasan kekalahan id-nya terhadap realitas yang ia sandang dengan sebutan “Sempurna”. Karena Lara telah Rela eksistensi dirinya kalah dan terjajah oleh superego masyarakat modern. Hingga ia tak mampu menjadi dirinya sendiri.

Cerpen “kupu-kupu” menggambarkan realitas hidup seorang pelacur kota. Keterdesakan ekonomi menyudutkannya pada identitas yang dianggap sampah oleh masyarakat dan norma agama. “Dan ia tak malu, meski tetap akan berdusta. Lebih memalukan bila tak punya apa-apa untuk dijual. Tak ada yang benar-benar menyukai kejujuran.” Pernyataan tersebut adalah bentuk penolakan kekalahannya oleh realitas. Karena ia tak punya alasan untuk tak mau jadi pelacur.

Dari ungkapan-ungkapan narasi yang menggambarkan penolakan batin tokoh ‘Aku’, penulis seolah ingin menyampaikan bahwa Perempuan yang hidup di ‘Temaram’ gemerlap lampu kota, bukanlah eksistensi diri yang sesungguhnya. Dengan menyebut “Babi” untuk para pelangganya di hotel, “Anjing” bagi para preman yang menikmati tubuhnya dengan gratis, dan “Serigala Tua” bagi ‘Om-om’ yang tak sadar usia. Dia tak pernah mengeluh dan “percuma mengaduh, kota ini selalu gaduh”. Namun mereka tetaplah manusia, id-nya tak menyerah untuk melawan. Setidaknya “Aku tahu, dalam genggamanku ada sebotol harapan.” Ini adalah bentuk kemunafikan atas keputus(asa)an.

Dari sekian kutipan yang saya tampakkan, masih banyak sisi ambiguitas dalam cerpen-cerpen Avianti yang tak mungkin seluruhnya dituliskan di sini. Atau mungkin lebih banyak lagi yang masih tersembunyi dalam simbol-simbol yang bercambur-baur dalam genangan metafor serta aporisma dalam narasinya. Keasyikannya bermain simbol dan kode dalam beberapa cerpennya, seolah tak terbendung dan terkesan tidak komunikatif. Sehingga hampir terkesan abstrak dan pembaca sekilas bisa saja gagal dalam menafsirkan.

Padahal kehidupan ini adalah narasi besar yang menyimpan berjuta-juta simbol berupa narasi kecil untuk ditafsirkan. Meski seringkali lembaga-lembaga masyarakat hingga pemerintah menjadikan narasi besar berupa superego yang takbijak dalam berpijak. Atas realitas inilah, karya sastra menjadi alternatif penafsiran dari sekian multi tafsir kehidupan. Dan Avianti seolah ingin mendudukkan kembali persoalan-persoalan narasi kecil pada sisi teologi. Dengan menarasikan penyimpangan prilaku manusia terhadap pembakuan epistimologi dalam keseharian masyarakat.

Semoga kita kian bijak dalam menyikapi keambiguitasan (kita) manusia dalam bermasyarakat di negeri ini yang tak kunjung pulih dari resesi moral, ekonomi, dan politik.  Sebijak menafsirkan cerpen-cerpen Avianti yang penuh dengan rasa perih yang menyakitkan. ***



Biodata Penulis:

Amran Halim,Kelahiran Cirebon, 23 November 1986. Sekarang Tinggal di Bandung.Masih menjadi Mahasiswa (tingkat paling akhir) UPI Bandung. Aktif bergiat di UKSK UPI, FMN, komunitas ASAS UPI. Menulis kajian akademik, cerpen, opini, dan kritik sastra. Di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak, elektronik dan majalah kampus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline