Lihat ke Halaman Asli

Harga Sebuah Mahkota Wanita

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diilhami dari perjuangan seorang penari janger dalam menjaga harga sebuah mahkota yang Ia miliki. [Mataram-Lombok, Maret 2009]

Amak[1]ku hanya bekerja sebagai penggali kuburan; mengais sehirup napas kehidupan dari petilasan manusia yang sudah tak berdaya. Hidup kami seakan tak pernah menemukan keadilan dunia; penghasilan Amak tak seberapa; kadang tak cukup untuk membiayai hidup keluarga kami sehari-hari.

Pada saat itu, aku mestinya masih belajar di bangku Sekolah Menengah Atas. Namun keadaan telah merubah jiwaku menjadi renta; lemah; belum lagi biaya sekolah yang semakin tak ramah. Aku putus sekolah di kelas 2 Aliyah[2].

Untuk membantu Amak, aku bekerja sebagai penari janger[3]; sebuah tarian yang pertama kali dipopulerkan oleh rakyat Bali yang dulu pernah menjajah di tanah Lombok. Tari janger akhirnya diadopsi menjadi tarian khas suku Sasak[4]. Mendiang Inak[5]ku memang berasal dari Bali dan beliaulah yang mengajariku tarian itu.

*

Di suatu petang, rumahku kembali didatangi tamu yang tak diundang; dua lelaki  menyanyikan lagu sumbang di serambi depan rumahku, lalu terdengar memaksa membuka pintu. Seketika wajah kami diraut menjadi kaku.

“Apa yang harus kulakukan?” kata Amak; bingung.

“Hutangmu lunas! tapi anak gadismu harus menari di sanggarku selama 3 tahun,” tukas salah seorang dari mereka, seraya membusungkan dada di depan kami.

“Tidak! Kalian pasti akan menjual anakku,” hentak Amak.

“Atau … aku takkan segan lagi menyita rumah ini!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline