Lihat ke Halaman Asli

Budaya Korupsi, Jadikan Saja Sumpah Jabatan

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibarat penyakit, bangsa ini sakit, sekarat. Ini diperparah lagi oleh sikap elitnya yang doyan korupsi. Tak terbatas sampai elite, budaya korupsi kini telah menjalar diberbagai aspek, bahkan abdi negara pun kini doyan akan ‘sarapan’ kaum elite tersebut. Jadi jangan jumawah, sebabjika tak cepat diobati bukan hal mustahil bangsa ini binasa,”

~Armand_Sholeh~

Selama berpuluh-puluh tahun lamanya korupsi terus mendera bangsa ini. Mulai dari pejabatnya, atasan hingga bawahan, hingga level eksekutif, legislatif, dan para sang penegak hukumnya. Sederet pelaku koruptor telah diseret ke bangku pesakitan, namun sepertinya mereka kebal hukum. Keinginan masyarakat agar pelaku tindak pidana korupsi dihukum seberat-beratnya nampaknya hal yang tabuh untuk dilakukan.

Penegak hukum, bahkan Institusi KPK yang diberikan kepercayaan untuk menindak dan memberantas korupsi seperti pincang ditengah evoria koruptor di negeri ini.

Berbagai argumen pun muncul. Mulai dari mandeknya penegak hukum/KPK menangani kasus korupsi, adanya kedekatan para pejabat dengan penegak/aparat penegak hukum serta pimpinan KPK, permainan dikalangan penyidik, hingga rumor tak berdaya-nya aparat penegak hukum/KPK terhadap eksekutif dan legislatif akibat vortex of politics (pusaran politik).

Kisruh tersebut diperparah lagi upaya pemberantasan korupsi yang mandul. Slang komunikasi antara pengamat, penegak hukum, legislatif, hingga aktifis pergerakan maupun ormas untuk menyamakan presepsi 'arti' pemberantasan korupsi berbeda 'layar'.

Ditengah “mewabahnya” budaya korupsi dibangsa ini, kenapa budaya tersebut tidak kita jadikan saja sebagai sumpah jabatan buat para elite bahkan abdi Negara dalam menjalankan profesinya tersebut.

Bukan tanpa alasan. Jikalau pun korupsi ini diilegalkan ataupun dilegalkanmaka bangsa ini tetap saja “mati”, atau pesimisme (kalau tak mau dikatakan binasa) penindakan dan penyelesaian akan berakhir “di kantong” sang penguasa. Jadi kenapa kita tak legalkan saja dan menjadikan ini sebagai “budaya” baru bangsa ini.

Tong sudah bocor, kenapa tak sekalian kita tumpahkan saja. Biar korupsi bisa menjadi santapan rakyat, tak terbatas pada elite, tetapi kaum buruh, kaum yang termajinalkan pun dapat merasakannya.

Jika saja teriakan dan kritikan pengamat, survei dari aktivis, serta kiblat para penegak hukum sejalan, mestinya korupsi dapat diberangus, paling tidak diminimalisir, sehingga bangsa ini dapat bangun dari “koma-nya”.

Secerca harapan itu ada, jikalau perbedaan “arti” tadi dapat kita samakan.Burung bangau dapat terbang tinggi, tapi tak dapat terbang setinggi pesawat. Jadi jika alasannya pertimbangan kemanusian, etis dan tidak, bijak atau tidak bagi pelaku korupsi, maka koruptor dapat melenggang dan menghirup udara bebas yang bukan “miliknya”.

Selain itu, hukum, system, dan karakter manusia Indonesia juga harus “dipermak”.Sifat asih (nutrisi) , asah (stimulasi), dan asuh (lingkungan, kasih sayang/saling bantu) serta hukum yang berpijak dan bersandar pada kebenaran hakiki, not wrong but right, perlu kita perbahurui dan hidupkan kembali.

Sebenarnya sinyal ini sudah ada sejak founding father Soekarno hidup. Ia berkata, Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong”.

Inilah yang mengakibatkan penyelesain Korupsi kita tak “bertanduk” hingga saat ini. Kita sebagai anak negerikurang mempercai satu sama lain. Akibatnya terjadi slang pendapat dalam menyelesaikan kasus yang melilit bangsa ini. Salah satunya korupsi.

Ibarat bakteri yang berkembangbiak dan beranakpinak di lingkungan lembab dan gelap, korupsi pun sama. Begitulah gambarannya kira-kira. Berkembang di daerah yang begitu nyaman dan dalam ruanglingkup yang sangat “bersahabat” dan “Basah”.

Maka tak heran, jika koruptor merajalela. Walaupun masuk bui, mereka bisa mendapatkan berbagai macam kemudahan. Mulai mendapat remisi, grasi, hingga amnesty. Uniknya lagi setelah mereka divonis bebas, mereka disambut bak pahlawan.

Ini adalah potret nyata budaya korupsi negeri sejuta pelangi yang kini menjadi penyakit bangsa ini. So, budaya korupsi jadikan saja sumpah jabatan. Supaya jelas belangnya. Harimau mati meninggalkan belangnya, koruptor mati meninggalkan .... (*)



~Armand_Sholeh :)~




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline