Lihat ke Halaman Asli

Arjuna Putra Aldino

Universitas Indonesia

Korupsi dan Demokrasi Kita

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

med_0306131145_demokrasi--bukan--harga-mati

DARI tahun ke tahun, kasus korupsi di negeri ini semakin banyak bermunculan, dari mulai kasus BLBI, Hambalang sampai Century bahkan tak ketinggalan korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah seperti kasus Ratu Atut yang sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Ini pertanda bahwa korupsi di negeri ini adalah problem struktural yang menggurita. Ia dikatakan sebagai problem struktural dan menggurita tak lain karena korupsi di negeri ini nyaris sudah “menyatu” dengan sistem kekuasaan negara. Dalam hal ini, alat kekuasaan negara justru menjadi instrumen yang efektif guna melanggengkan praktik korupsi, melalui roda birokrasi kekuasaan negara. Praktik korupsi berjalan berkelindan antara permainan posisi/kekuasaan dan penyalahgunaan alat negara.

Tak dapat dihindari akhirnya ruang politik menjadi arena bagi aktualisasi para elite untuk mendapatkan posisi politik serta keuntungan ekonomi melalui transaksi politik dan penyalahgunaan wewenang. Terciptalah hubungan timbal balik antara kekuatan politik dengan kekuatan ekonomi, dimana kekuatan-kekuatan politik membutuhkan uang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya sedangkan kekuatan ekonomi (mereka yang memiliki uang) membutuhkan politik dalam memperlancar akumulasi modal mereka. Sehingga terdapat relasi kuasa antara sistem politik (demokrasi) dengan sistem ekonomi (kapitalisme) yang berbuah menjadi praktik KKN.

Relasi ini lebih jelas lagi dipaparkan oleh Robison dalam karya monumentalnya, Indonesia: The Rise of Capital (1986) dimana elite ekonomi di Indonesia bukan para pelaku ekonomi yang independen dari pemerintah, melainkan oknum-oknum pejabat negara sendiri, dari kalangan perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta para pedagang Tionghoa yang dekat dengan mereka. Kelahiran mereka sebagai elite ekonomi berasal dari penguasaan mereka atas monopoli, kontrak dan konsesi dalam proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Hubungan inilah yang menciptakan habitat politik yang sampai sekarang menguasai ruang-ruang politik kita yakni kekuatan antara senyawa oligarki politik dan pemburu rente, yang membuat ruang-ruang politik kita sarat terjadinya praktik korupsi.

Hubungan ini bisa disebut sebagai “perselingkuhan” antara elite ekonomi dengan elite politik atau penyelenggara negara. Bahkan di titik tertentu antara pejabat ekonomi dan pejabat politik tak ada banyak perbedaan. Hubungan struktural ini pula yang mereduksi sistem demokrasi kita menjadi ‘pasar loak’, yang mempertukarkan barang kacangan, dagang sapi atau politik transaksional. Banyaknya fenomena money politic, suap serta tindakan manipulaitif lainnya merupakan efek dari hubungan struktural tersebut. Akibatnya, dalam titik yang paling kritis yakni ketika demokrasi kita tunduk pada rasio instrumental, yaitu cara berpikir jangka pendek yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan sikap-sikap pragmatis. Sehingga etika dan norma tak lagi berarti. Tak menutup kemungkinan, dalam proses demokrasi yang demikian kebijakan pemerintah tidak lagi ditentukan atas dasar aspirasi masyarakat melainkan oleh elite-elite tertentu yang mempunyai “mobilitas modal” cukup kuat.

Penulis adalah Mahasiswa Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline