MEMBANGUN KEMBALI KEDAULATAN PANGAN
Oleh : Ahmad Riza Patria
(Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Relawan Pasopati)
Relawan Prabowo Subianto Pilihan Pasti
Krisis perekonomian yang melanda Indonesia hingga kini masih belum terselesaikan. Hal ini tentu berdampak luas terhadap kehidupan warganya khususnya para petani. Krisis perekonomian yang semakin kompleks ini bisa mengarah menjadi krisis pangan yang berujung pada bencana kelaparan di tengah masyarakat. Banyak pemikir maupun praktisi yang serius menggodok kebijakan dan pemikiran untuk mengantisipasinya, sehingga dinilai penting adanya program ketahanan pangan.
Padahal di era pemerintahan rezim Soeharto, Indonesia bisa mencapai swasembada beras. Pada tahun 1980-an, ini merupakan prestasi luar biasa Indonesia bisa mengubah status dirinya dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada pangan. Indonesia, pada tahun 1984 mendapat sebuah medali bertuliskan ”from rice importer to self sufficiency” dari Food and Agriculture Organization (FAO), selanjutnya beberapa tahun kemudian juga mendapatkan penghargaan dari PBB mengenai kependudukan.
Ketahanan pangan adalah pemenuhan hak warga atas pangan dan bagian yang sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk kemiskinan yang dihadapi rakyat, karena itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan.
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses/membeli pangan dan menghindari terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.
Dalam konteks menghindari terjadinya ketergantungan pangan dari bangsa lain, maka ketahanan pangan sangat terkait dengan adanya kedaulatan pangan bangsa. Menurut Wikipedia (2014), kedaulatan pangan adalah hak seseorang untuk mendefinisikan sistem pangan untuk mereka sendiri. Istilah ini dibuat oleh anggota Via Campesina pada tahun 1996, yang menempatkan individu dalam memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pangan di tengah pengambilan keputusan dan pembuatankebijakan pangan, bukan korporasi atau institusi pasar.
Faktor Penghambat
Namun, kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah hingga saat ini tentu sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Demikian juga banjirnya impor beras yang tidak terkendali merupakan petunjuk ancaman atas kedaulatan pangan nasional. Kesejahteraan petani pangan menjadi dasar yang menentukan masa depan kedaulatan pangan sebuah bangsa. Kesejahteraan petani pangan di Indonesia yang relatif rendah tersebut ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah :
1. Sebagian besar petani dalam kondisi miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya;
2. Luas lahan yang dimiliki petani relatif sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi;
3. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan;
4. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik;
5. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai;
6. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah;
7. Ketidak-mampuan, kelemahan, atau ketidak-tahuan petani atas perbaikan usaha pertaniannya.
Rendahnya tingkat kesejahteraan petani di atas, justeru semakin tidak menentu di era otonomi daerah. Otonomi daerah sarat dengan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah atau dengan sebutan lain desentralisasi. Alih-alih, proses desentralisasi yang berjalan kini, masih berada pada tahap proses belajar. Proses desentralisasi ini tidak didukung dengan kemampuan anggaran pemerintah yang optimal, perencanaan dan pelaksanaan pengembangan pangan yang kurang terfokus, berpendekatan proyek, parsial, dan tidak berkesinambungan. Globalisasi ekonomi pun menjadi ancaman serius bagi usaha membangun ketahanan pangan jangka panjang, walaupun disadari pula ini bisa menjadi peluang jika dapat diwujudkan suatu perdagangan internasional pangan yang adil (fair trade).
Kesulitan dalam penyeimbangan neraca pangan sudah dialami bangsa ini sebelum awal krisis moneter terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pemenuhan kebutuhan beras yang pernah diatasi secara swasembada pada tahun 1986 ternyata tidak dapat dipertahankan. Data BPS tahun 1999, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 1.8 juta ton pada tahun 1995; 2.1 juta ton pada tahun 1996; 0.3 juta ton pada tahun 1997; 2.8 juta ton pada tahun 1998; 4.7 juta ton pada tahun 1999. Data BPS 2011, Pemerintah mengimpor beras sebanyak 1,57 juta ton. Beras impor paling banyak berasal dari Vietnam 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta. Beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta. Selain dari Vietnam dan Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan beberapa negara lainnya.
Solusi Alternatif
Masalah ketahanan pangan adalah masalah bersama yang menjadi tanggung jawab semua pihak. Untuk itu perlu dikembangkan suatu komitmen dan kerjasama diantara semua pihak terutama dalam bentuk kerjasama yang erat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (yang antara lain direpresentasikan oleh kalangan LSM dan perguruan tinggi). Hal yang menantang bagi segenap stakeholders khususnya LSM yang konsern pada masalah ketahanan pangan yakni :
1. Melanjutkan langkah nyata dalam mendampingi petani agar komitmen politik pemerintah dan legistatif dalam mendukung ketahanan pangan dapat terus dijaga dan diperkuat;
2. Memberikan masukan bagi pelaksanaan manajemen pangan nasional yang sesuai dengan tujuan ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan;
3. Bersama pemerintah dan swasta melakukan berbagai usaha untuk menghadapi tekanan dan dampak negatif globalisasi dan perdagangan pangan internasional.
Disamping itu pemerintah dan swasta mesti memfokuskan diri pada pada pelaksanaan agenda pengembangan ketahanan pangan dengan :
1. Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif;
2. Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani;
3. Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen;
4. Melakukan rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa;
5. Melakukan berbagai langkah kongkrit dalam konservasi sumberdaya tanah dan air, terutama dalam wilayah aliran sungai;
6. Mempromosikan produksi dan konsumsi aneka-ragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha;
7. Mengembangkan sistem informasi pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta potensi pangan daerah;
8. Mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi pangan, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan;
9. Mengembangkan berbagai sistem insentif yang diperlukan bagi peningkatan produksi pangan dan peningkatan diversifikasi pola konsumsi pangan.
6 Langkah Strategis Prabowo-Hatta
Dalam momentum pilpres 2014 ini, pasangan Prabowo-Hatta mempunyai sejumlah langkah strategis dalam rangka membangun kembali kedaulatan pangan nasional. Langkah ini disusun untuk mewujudkan tujuan besar menyelamatkan Indonesia. Berikut dijelaskan di bawah ini, 6 agenda membangun kembali kedaulatan pangan versi Prabowo-Hatta.
1. Mencetak 2 juta hektar lahan baru untuk meningkatkan produksi pangan antara lain beras, jagung, sagu, kedele dan tebu yang dapat mempekerjakan lebih dari 12 juta juta orang; dan mempercepat pengembangan inovasi dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas pertanian rakyat, terutama tanaman pangan (termasuk hortikultura), peternakan dan perikanan, melalui penambahan dana riset sebesar Rp 10 triliun dari APBN selama 2015-2019, termasuk membangun Demplot Peningkatan Produktifitas Pertanian Rakyat di setiap Kabupaten mulai tahun 2015, disesuaikan dengan pengembangan koridor ekonomi MP3EI.
2. Mendorong pembangunan industri pengolahan pangan, peternakan dan perikanan yang berdaya saing tinggi, melalui antara lain pemberian insentif fiskal dan atau pembiayaan kepada BUMN dan patungan BUMN-swasta.
3. Mendorong peningkatan produksi dan konsumsi protein yang berasal susu, telur, ikan, dan daging.
4. Mencetak 2 juta hektar lahan untuk aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum, kelapa, kemiri dan bahan baku bioetanol lainnya dengan sistem tumpang-sari yang dapat mempekerjakan lebih dari 12 juta orang, dengan berbagai pola pengusahaan seperti perusahaan BUMN-rakyat maupun patungan BUMN-swasta; dan memberikan prioritas pada pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), serta energi-bio dan energi terbarukan pada umumnya; yang diikuti kebijakan kewajiban pemakaian biodiesel yang dinaikkan bertahap.
5. Membangun pabrik pupuk area dan NPK baru milik petani dengan total kapasitas 4 juta ton.
6. Menjamin harga pangan yang menguntungkan petani, peternak, dan nelayan, sekaligus terjangkau konsumen, melalui sinergi kebijakan harga dan stok.
Dengan demikian, langkah mewujudkan ketahanan pangan mesti diaktualisasikan dalam bentuk jaringan ketahanan pangan yang melibatkan segenap stakeholders untuk merinci agenda pengembangan ketahanan pangan. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk rencana aksi dan menghimpun agenda pendampingan yang dilakukan LSM dan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan ketahanan pangan dengan memberdayakan segenap elemen masyarakat khususnya kaum petani. Jika bangsa ini mampu menjamin ketahanan pangannya hingga mencapai swasembada atas pangan, maka dipastikan akan mampu pula berdaulat dalam penyediaan pangan. Tidak saja untuk kebutuhan bangsa sendiri melainkan juga mampu mensuplai kebutuhan pangan bangsa lain. Prabowo Presiden RI, Indonesia Bangkit!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H