Lihat ke Halaman Asli

Kumaafkan Engkau....

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, beberapa saat setelah shalat Isya berlalu, handphone di pinggang saya berdering. Setelah saya menjawabnya, terdengar dari ujung telpon suara pemanggil dengan sedikit bergetar dan terkesan panik. Sang penelpon mengabarkan bahwa mobil miliknya yang saat itu dikemudikan anaknya telah menabrak “tunggangan” harian saya yang dalam posisi terparkir. Ia meminta, agar saya mendatanginya di tempat kejadian perkaratersebut guna membicarakan jalan keluarnya.

Segera, ditemani sepupu, dengan mengendarai motor, saya mendatanginya. Sesaat setelah tiba, saya saksikan kedua mobil tersebut mengalami kerusakan yang sama parahnya. Di bagian kiri depan ringset dan bamper nyaris terlepas.

“sang penabrak” menghampiri saya. Diceritakannya kronologis kejadian. Di akhir kalimatnya, terdengar tawaran untuk berdamai dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Mendengar itu, saya hanya menimpalinya, “ sudahlah, tak ada yang harus dipermasalahkan. Tidak mungkin anak bapak menabrak kendaraan tersebut dengan sengaja. Ini musibah. Saya sudah maafkan”

Di lain waktu, saya kembali menerima panggilan melalui handphone saya.Kali ini dari kawan saya di KPU Bulukumba. Ia mengabarkan baru saja mengalami musibah. Dengan suara terisak, perempuan ini menceritakan kronologis kejadiannya. Ia telah menabrak pengendara motor hingga sang korban tewas di tempat. Saat kawan ini menelpon, ia sementara berada di suatu tempat untuk mengamankan diri.

Pada saat saya menemuinya, wajahnya masih tampak pucat. Nampak jelas dari fisik yang masih begitu loyo dan tak bergairah. “Maklum sudah beberapa hari kurang makan dan tidur” demikian ia menjawab pertanyaan saya terhadap kondisinya. Sesekali matanya memerah. Air matanya kembali mengalir tatkala ia mengingat kejadian itu.Trauma atas kejadian tersebut masih melekat sangat.

Beberapa hari kemudian, kawan ini mengabarkan sesuatu yang menggembirakan. Kabar itu menyangkut pemberian maaf keluarga korban. Mereka tidak mempersoalkannya lagi. Tak mungkin disengaja. Dan, pada prinsipnya, keluarga korban memahami bahwa musibah yang menimpanya adalah ujian Allah. Mendengarnya, Saya takjub, salut sekaligus bangga, apresiatif dan menyebutnya sebagai sikap yang luar biasa.

Sesaat setelah memberi maaf dalam kisah saya, ujub (bangga terhadap suatu amalan yang telah dilakukan, Pen.) datang menghampiri. Setan pun tak ketinggalan menghampiri melalui pujian-pujian yang terlontar dari kerumunan orang yang menyaksikan. “Saya harus bertahan. Saya tak boleh kalah dengan pujian itu. Inilah saatnya saya membuktikan kata-kata dalam pidato-pidato saya untuk selalu dan senantiasa memaafkan orang lain” demikian terujar dalam hati saat itu.

Ujub pun sebenarnya tak pantas bahkan memalukan andai benar menghampiri saya waktu itu. Apa yang pantas dibanggakan dari pemberian maaf saya ? bandingkan dengan pemberian maaf keluarga korban tewas yang diberikan kepada kawan saya. Sangatlah jauh bukan ?

Lihatlah, pemberian maaf yang saya berikan dalam cerita saya, belum setara dengan pemberian maaf yang diberikan keluarga korban tewas dalam cerita kawan saya. Pengorbanan saya hanya membawa mobil ke bengkel, membayarnya, persoalan selesai. Sementara keluarga korban tewas, dibayar dengan berapa pun, diusahakan dengan cara apa pun, tak mungkin mengembalikan nyawa anaknya yang telah menghadap Allah. Salahkah kalau saya menyebut sikap keluarga korban tewas yang telah memaafkan kawan saya tadi sebagai salah satu tanda iman ? Bukankah salah satu tanda taqwa adalah kemampuan seseorang memaafkan orang lain?

Memaafkan, selalu berbanding lurus dengan pengorbanan. Tak ada pemberian maaf tanpa pengorbanan. Pengorbanan inilah yang Allah ganjar dengan syurga seluas langit dan bumi.

Allah diketahui memiliki sifat Ar-Rahim, begitu pemaaf terhadap hambanya. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang mulia, begitu pemaaf terhadap sesama. Kita ?Mari berlomba memaafkan. Wa fi dsalika fal yanafazil mutanafizun, inilah perlombaan yang sebenar-benar perlombaan, berlomba menuju syurga dengan memaafkan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline