Lihat ke Halaman Asli

Kini Bukan Zaman Siti Nurbaya

Diperbarui: 28 April 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti di Zaman Siti Nurbaya (Dokumentasi pribadi)

Di Jaman Siti Nurbaya ada yang namanya kawin paksa. Gak cinta tapi suruh jalanin. Tapi kalau udah jalanin eh...putus dan cerai. Berantakan lagi. Namun percayalah, cinta yang sejati itu akan menyalibmu tetapi juga memahkotaimu. Banyak yang menderita tetapi akhirnya bahagia, seperti pepatah Indonesia berakit rakit dahulu berenang renang ke tepian, alias bersakit sakit dahulu dan bersenang senang kemudian.

Rasanya sangat berat untuk berpisah, tetapi lama kelamaan terbiasa pula. Terbiasa hidup dengan kumuhnya kota, terbiasa hidup dengan semrawutnya jalanan, itu yang ada di dalam benak dan mungkin kita hadapi. Dan siapa yang bertahan dan iklas untuk menerima, dialah petarung sejati tetapi bukan pemenang. Semoga saja, penguasa DKI 1 periode yang akan datang memikirkan kepala, dompet, dan perut kita supaya terisi penuh . Jangan terbiasa dengan keadaan alam yang kuno ini. 

Alam jakarta memang keras, dengan bermacam macam tipe manusia yang mencari rejeki di tanah seribu beton ini, dari sabang sampai merauke. Pikirin dan hati mereka sudah modern, bukan lagi dipaksa dengan 'wanita' pilihan orang tau seperti jaman Siti Nurbaya. Stop, jangan kuno. Cobalah mengerti perasaan mereka, maunya supaya taman taman bunga di pinggir kali cideng, taman kota dan bantaran kali tertata rapi. Yah... namanya anak sekarang, ingin berpacaran di taman taman. Jangan paksa mereka untuk berpacaran di bantaran kali yang tercemar sampah.

Biar kekinian (Dokumentasi pribadi)

Banyak anak sekarang yang mengenal istilah 'kekinian'. Dari jaman penjajahan sampai sekarang baru pernah terjadi fenomena seperti ini. Ya.. 'fenomena Ahok'.Mulai dari baju kotak kotak sampai karangan bunga. Terakhir, sebelum mengakhiri masa jabatannya, banyak orang yang memberi selamat melalui karangan bunga. Ini identik dengan rasa duka mereka sebelum berpisah, atau bisa saja ini lambang patah hati yang mendalam. Mengapa Ahok meninggalkan mereka secepat itu?

Ini sejarah, tatkala karangan bunga terhampar dari lobi depan balaikota, disejejerkan di pinggiran trotoar dan taman bunga sampai Kamis 27 April 2017 ujungnya sudah hampir mendekati bundaran Indosat. Jadi bagaimana kalau saya sarankan, supaya karangan bunga bunga itu di letakan saja di dalam lapangan monas supaya dunia tahu bahwa kegilaan terhadap Ahok itu harum. Bukan sembarang kegilaan, tetapi kegilaan yang membuat sejarah, dari dulu sampai sekarang baru kali ini terjadi di dunia, ada ribuan karangan bunga untuk melepas sang pemenang mereka Ahok..

Kalau saja ada yang datang ke balaikota hanya untuk berfoto foto, supaya dibilang kekinian, lambat laun akan terharu, merinding sampai menangis kalau mendengar fans Ahok yang bersorak dengan lagu 'Maju tak gentar membela yang benar'. Karena Masyarakat yang adalah negara, berhak untuk mendapat kebenaran. Selama ini politik Indonesia yang terkenal dengan partai dan budaya lobi 'kiri kanan' di hancurkan Ahok. Tidak ada partai, yang ada hanya independent. Tidak ada lobi, yang ada hanya kepetingan rakyat.

Saya berdiri di paling belakang Ahok dan menunjukkan dua jari (Dokumentasi pribadi)

Itu yang membuat mereka masih mencintainya sampai sekarang. Doa mereka setiap malam mungkin selalu menyebut nama Ahok, bukan malaikat, bukan pula Tuhan, tetapi hanya pelayanan yang jujur dan mampu menghancurkan tradisi politik uang. Mereka menyebutnya politisi kekinian yang mencatat sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline