Lihat ke Halaman Asli

Mustaqim Latu

@mustaqimlatu

Berani-beraninya KPAI

Diperbarui: 10 September 2019   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sport.tempo.co

Warta tindakan eksplotasi terhadap anak pada audisi bulutangkis PB Djarum begitu menyita perhatian khalayak ramai. Langkah konstitusional yang dilakukan KPAI dengan menguji Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 menuai banyak komentar. Kita patut mengapresiasi langkah berani KPAI, mendobrak pasal-pasal yang selama ini mengalami impotensi.

Dengan alasan melindungi hak anak dari pemanfaatan tubuh sebagai alat promosi terselubung, apa yang dilakukan KPAI sekaligus menjadi upaya menjaga marwah bangsa yang selama ini terus menerus dikangkangi oleh kepentingan koorporasi. 

Terkait sepak terjang industri rokok, kita masih ingat betul bagaimana hilangnya ayat adiktif pada UU Kesehatan yang telah diketokpalukan oleh DPR pada Tahun 2009 lalu. Belum lagi soal ketigdayaan mereka untuk promosi di sembarang tempat-tempat umum. Singkatnya, dengan mudah mereka bisa mengindahkan segala regulasi tanpa ada penegakan hukum yang jelas.

Naasnya, komentar yang muncul di media sosial tidak memperlihatkan posisi yang berimbang. Bukan mendapatkan tepuk tangan, KPAI justru menjadi objek penghakiman di media sosial. Mulai dari tuduhan sebagai lembaga yang tidak berguna, sampai sekedar melaksanakan proyek pesanan.

Menariknya, meski pembelaan terhadap PB Djarum sangatlah masif, namun perputarannya sporadis, jauh dari kata logis. Bukannya fokus pada permasalahan, kebanyakan komentar hanya berkutat pada pembelaan yang berdasarkan perasaan semata. Di Twitter, seorang jurnalis mempersoalkan sejumlah dana yang diterima oleh KPAI dan LSM Lentera Anak dari Bloomberg. Apa yang dilakukan oleh keduanya dituduh sebagai proyek yang bertujuan menghancurkan cita-cita calon atlet untuk meraih prestasi tertinggi.

Terlepas dari benar tidaknya aliran dana tersebut. Saya fikir, argumentasi seperti itu tidak pada substansi, contoh bagi sebuah fallacy dan hanya memperlihatkan kepanikan. Jika hendak mempersoalkan dana seperti itu, seharusnya ia terlebih dahulu mengkritisi berapa rupiah yang telah digelontorkan industri rokok untuk mengakali regulasi dan loby tingkat tinggi yang telah mereka lakukan? Hilangnya ayat adiktif pada UU Kesehatan Tahun 2009 yang telah disebutkan diatas adalah contoh nyata. 

Lagi pula, sejak kapan bantuan dana dari luar seperti itu dilarang. Apakah aliran dana tersebut telah melanggar peraturan terkait mekanisme kerja sama? Jika tidak, maka gugurlah argumentasi tersebut dengan sendirinya.

Argumen tersebut sangatlah prematur, karena kalau pakai logika seperti itu, seharusnya ia turut juga mempertanyakan bantuan dana dari luar negeri, misalnya untuk pemberantasan TB, penguatan jaminan sosial dan pemeliharaan kesehatan penderita HIV/AIDS. 

Apakah bantuan itu harus ditolak, hanya karena didanai dari kerja sama luar negeri?. Hemat saya, argumentasi yang tidak fokus pada inti masalah dan cenderung mencari-cari kesalahan seperti itu seharusnya tidak sampai keluar dari mulut seorang jurnalis, seandainya niat kita adalah untuk kepentingan bangsa.

Lebih lanjut, penolakan terhadap KPAI sebagian besar didominasi oleh prasangka bakal menurunnya prestasi bulutangkis di kemudian hari. Apresiasi yang besar memang sudah sepantasnya diberikan kepada PB Djarum atas usahanya selama ini. Namun lembaran dan langkah baru harus segera dilakukan. 

Kekhawatiran terhadap menurunnya prestasi bulutangkis jangan sampai menghalangi bola mata kita untuk melihat fakta di lapangan bahwa semakin meningkatnya angka perokok pemula (anak-anak dan remaja) dari tahun ke tahun. Apakah nyawa anak-anak yang sedang terjerat candu nikotin tidak lebih berharga daripada soal tepok-tepokan bulu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline