Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Daerah Terancam "Punah" (Sampling Kasus; Bahasa Bugis pada Lingkup Keluarga Penulis)

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13432459401881725934

Salah satu ikrar dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, ikrar ini bertujuan untuk merekatkan nusantara yang memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda dengan sebuah bahasa nasional, yakni Bahasa Indonesia (melayu). Walhasil, nasionalisasi Bahasa Indonesia ke seluruh pelosok nusantara dalam beberapa dekade ternyata sukses atau membanggakan. Pengaruh bahasa Belanda pun “pupus” dalam waktu yang tidak terlalu lama seiring dengan peralihan generasi, walau masih terdapat kosa kata bahasa Belanda yang teradopsi.

Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi nasional terus-menerus berproses hingga  merambah ke pedalaman bahkan “merangsek” kedalam lingkup keluarga. Dan sebagai konsekuensinya adalah trend pemakaian bahasa daerah pada masing-masing komunitas atau keluarga makin minim atau tersubtitusi dengan bahasa Indonesia. Dapat saya katakan bahwa “transformasi Bahasa Indonesia sangat dominan, simultan dan kontinyu, namun tidak berbanding lurus dengan sosialisasi bahasa daerah pada setiap person”.

Fenomena diatas dapat kita amati —terutama dikota-kota— baik dilingkungan eksternal maupun dalam internal masing-masing keluarga. Sebagai sampel pada lingkup keluarga penulis; komunikasi saya dengan istri pada prakteknya memang masih dominan dengan menggunakan bahasa daerah (Bugis), tetapi komunikasi saya (begitupun istri saya) terhadap 3 orang putera-puteri saya sudah berbeda, yakni berlangsung interaktif dengan menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga putera-puteri saya hanya mengerti secara  pasif dengan bahasa bugis, itu pun tidak menyeluruh mereka pahami. Artinya, didalam lingkup keluarga kami telah terjadi proses transformasi dan praktek berbahasa Indonesia dari kami sebagai orang tua kepada ketiga orang anak-anak kami tanpa pembelajaran praktek berbahasa daerah. Bahkan Bahasa Indonesia merupakan bahasa monoton antara kami dengan anak-anak kami atau dengan kata lain bahwa  bukan bahasa daerah sebagai bahasa ke-dua untuk anak-anak kami, “karena ganjil rasanya kalau berbicara dengan anak dengan menggunakan bahasa daerah”.

Andaikan proses ini berlanjut hingga level generasi ke-II dimana ketiga putera-puteri kami kelak menjadi dewasa, lalu menikah dan selanjutnya masing-masing membentuk keluarga baru, maka sudah tentu praktek berbahasa daerah mereka sudah semakin pudar. Sehingga level generasi berikutnya (ke-III, ke-IV, dst) secara perlahan pemahaman mereka terhadap bahasa daerah akan terus menipis hingga hilang atau punah.

Dan kalau saja pada saatnya nanti bahasa-bahasa daerah di nusantara ini punah karena proses yang sama dengan sampel keluarga kami, maka salah satu problem yang akan kita hadapi adalah sulitnya melakukan identifikasi “kesukuan”, sebab salah satu cara efektif untuk mengidentifikasi suku saat ini ialah melalui bahasa daerah/dialek.

Adapun upaya pemerintah melalui program pembelajaran bermuatan lokal, seperti adanya kurikulum (mata pelajaran) bahasa daerah disekolah-sekolah pada kenyataannya upaya ini belum efektif dan juga tidak berkesinambungan. Fenomena punahnya bahasa daerah sebaiknya disadari serta mendapat perhatian yang lebih bijaksana dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (termasuk tokoh adat dan lembaga-lembaga sosial-budaya).

Maros, 26 Juli 2012.-

13432452481716244221

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline