Lihat ke Halaman Asli

Fenomenologi Edmund Husserl

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fenomenologi dalam bahasa inggris yaitu phenomenology bersal dari bahasa yunani phenomenon dan logos. Phenomenon berarti tampak, sedangkan logos berarti ilmu. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu tentang gejala-gejala yang tampak atau menampakkan diri.

''fenomena'' merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, namun realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran itu sebenarnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti sadar akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas (intensionallitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai suatu hal yang menampakkan diri.

''konstitusi'' merupakan proses tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran. Fenomena mengonstitusi dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomena bagi kesadaran intensional.

Sebagai contoh dari konstitusi: ''saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas, dan seterusnya''. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam perspektif objek telah dikonstitusi. Pada dasarnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan realitas. Fenomena bukan merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomena tergantung pada sejarahnya umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu, konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai konstitusi genetis. Proses yang mengakibatkan suatu fenomena menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.

Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspeksi mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang kehidupan dunia dan kehidupan batiniah. Penyelidikan ini hendaknyaa menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandalkan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomena-fenomena sebagai mana fenomena itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – fenomena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas diluar yang kita kenal.

Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan kant, husserl mengatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita mencair dengan realitas. Fenomenologi hussserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka.

Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

Pandangan Husserl tentang “Reduksi Fenomenologis”. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada “sikap fenomenologis”. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan).

Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk belakangya, dan ketika saya ingin melihat sisi belakangnya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi belakang dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.

Jika kita menempatkan realitas material dengan mempraktekkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorous. Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran dan juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorous.

Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian, dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak lagi bicara tentang dunia secara naif, seakan-akan dunia sama sekali tidak berkaitan dengan kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam fenomenologi kita menemukan dunia sebagai korelat dari kesadaran, dunia sebagai fenomen. Demikianlah fenomenologi dapat mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan apodiktis dan absolut tentangnya. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia, sebaliknya realitas material ditemui dalam suatu prespektif baru, yaitu korelat bagi kesadaran. Menurut Husserl yang lebih penting dalam reduksi bukannya menaruh dunia sendiri antara kurung, melainkan setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia menekankan aspek positif dari reduksi, reduksi bukan saja berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural, melainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu yaitu kesadaran atau “ego transendental”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline