Kepada Yth. Bapak Jokowi,
Entah ini sudah “surat” yang ke berapa yang saya kirimkan kepada Bapak. Dari surat tertulis via pos, melalui twitter Bapak, kompasiana, HP, email, sudah tak terhitung jumlahnya. Tetapi, saya coba bersabar untuk terus menulis. “Barangkali, inilah yang akan direspon”, begitu selalu dalam pikiran saya.
Pak Jokowi, 2 tahun setelah kepemimpinan Bapak, saya melihat kesungguhan Bapak dalam bekerja dan keinginan Bapak dalam mewujudkan rakyat yang lebih sejahtera. Pembangunan infrastruktur dimana-mana, pembangunan dari pinggiran, menurunkan harga BBM di Papua, dll. Pemikiran itu dinilai secara publik memang bagus, Pak. Namun secara konseptual masih mengandung makna, menyejahterakan kelompok yang satu tetapi menyusahkan kelompok yang lain. Masih persis sama dengan model kebijakan pemerintahan yang sudah lalu.
Saya punya cerita, begini Pak ! Beras biasa (bukan yang istimewa) di tempat saya, yang harganya pada lebaran lalu melambung sampai di atas Rp 50.000-an per-5 kg; sampai sekarang tak mau turun kembali. Pepaya yang biasanya 1 buah saya beli Rp 10.000 , sekarang Rp 17.500. Beli obat herbal untuk anak saya, yang biasanya saya beli per- botol Rp 5000 , sekarang Rp 10.000. Bumbu dapur penyedap rasa yang biasanya dijual Rp 350 per-saset, sekarang dijual Rp 500, dll. Tapi, saya dengar berita televisi bahwa secara nasional, katanya pemerintah berhasil mengendalikan inflasi di bawah 5 %. Itu menghitungnya bagaimana, ya Pak ? Karena kami yang berpenghasilan sedikit ini, bingung kalau mau mengatur belanjanya. Tidak ada cara lain lagi Pak, selain harus mengurangi jatah makan.
Pak Jokowi, saya tahu bahwa permasalahan di negeri ini memang banyak sekali. Bahkan, semua itu bisa saling terkait. Namun di antara masalah-masalah besar yang ada, yaitu: narkoba, terorisme, perdagangan manusia, korupsi, pungli, bencana alam, dll; ternyata masih ada MASALAH BESAR LAIN yang tidak pernah kita sadari, tetapi telah lama “memporak-porandakan” negeri ini. Kalau masalah-masalah yang tidak asing dari pendengaran kita itu, ternyata “kerugiannya” belum seberapa Pak, misalnya:
- narkoba yang katanya sekarang mengakibatkan 50 orang mati per-hari (info dari BNN), ternyata tidak menghambat laju perkembangan penduduk negara ini, terbukti jumlahnya semakin besar
- terorisme yang serangannya menakutkan, jelas tak didukung rakyat sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan
- perdagangan manusia yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi mungkin juga tak banyak jumlahnya, walaupun ini sangat memprihatinkan
- korupsi yang meraja-lela, juga “tak mampu” menggoyahkan negara ini walaupun mungkin sekarang posisinya sudah tergolong miskin
- pungli yang marak, juga tidak membuat rakyat ini sekarat karena masih tetap bisa bertahan hidup walaupun harus makan nasi aking
- sedangkan untuk bencana alam, itu dianggap sebagai bagian dari takdir yang menimpa suatu wilayah tertentu.
Sementara, masalah lain yang lebih DAHSYAT dan luar biasa itu telah lama membuat negara kita “babak belur”. Anehnya, selama ini kita tidak pernah mengetahui dan menyadarinya. Padahal, yang tersasar sebenarnya justru KITA SEMUA. Hanya saja, karena wujud penderitaannya berbeda-beda maka itu tidak dianggap sebagai penderitaan, tetapi dianggapnya sebagai bagian dari TAKDIR yang harus dijalaninya, yaitu: adanya rakyat yang tidak bisa makan, ada yang makan nasi aking, ada yang tidak bisa menyekolahkan anaknya secara layak, ada yang tidak punya rumah, ada yang harus menderita karena suatu penyakit, ada yang gaya hidup mewahnya yang dikurangi, dll.
Dimana masalah yang disikapi sebagai takdir ini, penyebabnya tidak berwujud. Jadi seperti virus, yang tiba-tiba bisa membuat banyak korban. Bahayanya lagi, adanya virus itu tidak pernah kita sadari. Bahkan disebarkan secara rame-rame oleh banyak orang, disebarkan dengan riang gembira tanpa ada rasa malu dan ketakutan sedikitpun. Termasuk, sayapun pernah melakukannya, yaitu kita secara bersama-sama telah membuat uang rupiah menjadi tertekan terus hingga sekarang 1$ nilai tukarnya menjadi sekitar Rp 13.000-an.
Itulah Pak,”virus ampuh” yang terus menggerogoti negara kita, yang membuat harga diri kita di mata dunia menjadi rendah. Karena untuk bisa mempertahankan eksistensi negara ini, pemerintah terpaksa mengirimkan anak-anak bangsa menjadi TKW atau menjadi “budak-budak” di negeri orang.
Namun, ini jangan diartikan bahwa saya mendukung pembiaran narkoba, teroris, perdagangan manusia, korupsi, dll. Itu semua tetap harus dibasmi ! Hanya saja, ada hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu tentang “nilai tukar rupiah”.
Cerita yang lain, di luaran sana, ada hasil survei terbaru yang menunjukkan bahwa setelah 2 tahun ini kepuasan terhadap kepemimpinan Bapak sampai 68%. Suatu jumlah yang cukup besar, dibandingkan dengan waktu lalu yang katanya kurang dari 50%. Ini menurut hasil survei mereka, Pak. Tetapi Bapak jangan terlalu bangga dengan hasil survei itu, sebab di media massa yang sepertinya mendukung Bapak, yaitu Media Indonesia, juga ada berita-berita sbb.:
- Kelesuan Kredit Berlarut-larut Sabtu, 22 October 2016 05:05 WIB Penulis: Dero Iqbal Mahendra;
- Pertumbuhan Kredit Tahun ini Diprediksi Turun Jum'at, 21 October 2016 16:29 WIB Penulis: Dero Iqbal Mahendra;
- Paket Kebijakan Ekonomi Dinilai Belum Efektif Kamis, 20 October 2016 18:55 WIB Penulis: Anastasia Arvirianty;
- Titik Balik Kinerja Perdagangan Kamis, 20 October 2016 08:42 WIB Penulis: MI
Itulah cermin suara-suara jujur yang ingin membantu Bapak untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, dan bukan ABS (Asal Bapak Senang). Jadi, mohon jangan diabaikan !