Lihat ke Halaman Asli

Dunia Pendidikan Harus Menjadi Prioritas Memberantas "Saber Pungli"

Diperbarui: 17 Oktober 2016   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kabarjombang.com

Pungli-pungli-pungli. Ada juga pungle atau pungutan yang dilegalkan. Begitu ada pemilihan presiden/kepala daerah sepi, tetapi tidak lama setelah terpilih kemudian marak lagi. Orang bilang tidak konsisten, ada yang bilang itu cuma mencari simpati  agar rakyat mau memilihnya  dalam Pemilu atau Pilkada, dll. Atau  apalah namanya.

Hari-hari ini saya jadi sering merenung dan merenung  coba mencari-cari jawaban bagaimana masalah-masalah bangsa ini terus terjadi dan solusi apa yang bisa dilakukan. Sekarang  ini merenung tentang masalah pungli sesuai dengan hal menjadi tren pembicaraan nasional. Bagaimana bisa menjadi demikian parah dan tak terkendali ?

Lacak-terus di lacak. Ketemunya di dunia pendidikan, termasuk yang berbasis agama.  Lho ! Bukankah dunia pendidikan itu justru mencerdaskan anak bangsa dan mendidik moral bangsa ?

Untuk teman-teman guru dan dosen, maaf ya.  Saya bukan bermaksud mendeskreditkan dunia pendidikan. Tetapi saya sangat ingin dunia pendidikan kita benar-benar bisa menjadi motor penggerak kejayaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini yang saya bahas, bukan tentang kualitasnya, tetapi  terkait dengan pungutan-pungutannya terlebih dahulu, seiring dengan adanya gebrakan Pak Jokowi untuk sapu bersih pungli di Indonesia agar bisa efektif  dan tidak hangat-hangat t*hi ayam dan tidak hanya menjadi jargon semata atau seperti upaya mengalihkan isu saja.

Sudah hal yang bukan rahasia lagi bahwa pungutan liar dan pungutan yang dilegalkan di dunia pendidikan ini menjadi “momok” bagi para orang tua. Karena biaya pendidikan di Indonesia ini amat mahal. Terlepas ini salahnya pemerintah sendiri atau manajemennya yang masih bermasalah sehingga anggaran lebih dari  400 trilyun (20 % APBN) ini seperti tidak berarti. Bahkan merasa kurang terus.

Para orang tua yang “terdidik” tentu akan sedih kalau anak-anaknya tidak bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang dianggapnya “kredibel”, karena ini terkait dengan masa depan mereka sekeluarga. Padahal kredibelnya lembaga pendidikan di negara ini identik dengan biaya mahal, walaupun itu namanya  sekolah negeri. Mahalnya bukan karena proses pendidikannya yang benar-benar membutuhkan biaya besar, tetapi karena adanya pungutan-pungutan yang luar biasa.  Baik pungli yang terjadi pada  siswa, guru/dosen, ataupun pengelola dunia pendidikan sendiri.

Pungli pada siswa TK - SLTA

Alasannya seringkali terdengar sangat menyakitkan bagi yang keuangannya terbatas:  jer basuki  mawa bea. Besarnya  “uang muka masuk sekolah”  ada yang tidak mau kalau cuma ratusan ribu tetapi jutaan sampai puluhan juta. Harga kain seragam yang jauh lebih mahal dibandingkan kalau beli pakaian seragam yang sudah jadi. Buku pelajaran  yang sering gonta-ganti dan bertumpuk. LKS buku pelajaran yang  sebenarnya hanya panduan mengerjakan soal  tetapi mengerjakannya harus di buku tersebut sehingga setiap tahun wajib membelinya. Rekreasi yang berbiaya mahal. Wisuda yang bergaya seperti lulusan sarjana, dll.  

Mahasiswa

Uang sumbangan yang puluhan juta, bahkan ratusan juta di Perguruan Tinggi dengan  dalih jalur mandiri untuk yang PTN, upaya mendapatkan nilai baik/lulus mata kuliah, upaya memperlancar kegiatan  skripsi, besarnya biaya wisuda, dll. Seharusnya kalau pemerintah ingin Indonesia yang hebat, maka mahasiswa di PTN itu harus bebas biaya, dan tidak ada jalur mandiri. Kita tidak butuh sebanyak-banyaknya orang yang berijazah sarjana, tetapi butuh ahli walaupun jumlahnya sedikit tetapi benar-benar  berkualitas. Karena yang sedikit namun hebat inilah yang akan menjadi motor untuk merombak Indonesia.

Guru/Dosen

  • Guru: Kenaikan pangkat, sertifikasi, mutasi, pemilihan Kepala sekolah, melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, dll. Juga tak bebas dari pungli.
  • Dosen: berebut beasiswa  belajar ke luar negeri, sertifikasi,  berebut proyek penelitian,  pemilihan pejabat di PT: Kajur, Dekan dan Rektor.  Bahkan baru-baru ini muncul isu jadi rektor ternyata biayanya milyaran. Kebetulan saya punya teman yang idealis, perempuan juga. Dan ketika saya tanyakan, kok sekarang jadi profesor itu sepertinya mudah ? Kakak-kakak  kelas kita itu, gelarnya sekarang banyak yang profesor. Dia  menjawab: “Begitulah kenyataannya, sayapun ditawari untuk jadi profesor nanti bisa diuruskan ke Jakarta". Tapi dia mengatakan: “Kalau profesornya seperti itu lebih baik TIDAK, walaupun tunjangannya Rp 20.000.000”. Sehingga kita cuma bisa tersenyum kalau melihat ulah profesor-profesor yang dijadikan narasumber di televisi itu. Kualitasnya kok seperti itu ? Ternyata ceritanya demikian. Bahkan ketika saya mengkritik tentang tunjangan profesi, dia mengatakan: "saya ikhlas, kalau itu akan ditarik kembali. Karena di lapangan sertifikasi itu tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas dirinya tetapi hanya digunakan untuk bisa menaikkan penghasilannya".  Saya tambahkan kemudian: "Nantinya hanya guru/dosen yang benar-benar berkualitaslah, yang layak digaji mahal. Pembinaan guru/dosen itu seharusnya seperti teori MLM."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline