Di Sosialisasi Tax Amnesty Pak Jokowi mengatakan bahwa beliaunya memiliki data kekayaan para WNI di luar negeri. Berdasarkan catatan Menkeu jumlahnya ada 11.000 trilyun. Bahkan Pak Jokowi memiliki sumber data yang berbeda, jumlahnya lebih dari itu. Datanya ada di kantongnya, sampai pernyataan itu diulang 2 kali. Saya terkesima mendengar pernyataan tersebut !
Saya teringat data yang pernah disampaikan oleh Editorial MI bahwa, data para WNI yang menyimpan dananya di luar negeri ada 6519 orang dan yang ada di Panama Papers ada 2961 orang. Kalau benar demikian, kenapa Pak Jokowi tidak pilih UU Pembuktian Terbalik yang pernah saya sampaikan ( di sini ) , dan justru tetap memilih UU Tax Amnesty ? Apakah Pak Jokowi pada waktu itu belum tahu ? Padahal saya sudah berusaha menghubungi dengan berbagai macam cara: kompasiana, surat, sms, email agar beliaunya mau membaca surat saya tersebut.
Perbandingan penerapan UU Pembuktian Terbalik dan UU Tax Amnesty:
1. Dalam penerapan UU Pembuktian Terbalik, tidak ada beban membebaskan mereka yang terindikasi koruptor/penjahat lainnya dengan tebusan murah 2-10%;
2. Hasilnya jauh lebih besar;
3. Uang menjadi milik negara, dan bukan sekedar data base pajak sehingga masuknya dana bisa diatur dan BI tidak harus menggelontorkan dana untuk meredam kenaikan nilai tukar rupiah;
4. Dana bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur sesuai dengan kebutuhan pemerintah, tidak ditanam di saham dan obligasi yang jangka waktunya hanya berlangsung 3 tahun;
5. Pemberantasan korupsi bisa jalan terus dan tidak terganjal oleh pelaksanaan Tax Amnesty;
6. Tidak membuat "bingung" aparat penyidik kepolisian, kejaksaan, serta PPATK;
7. Pemerintah tidak mengejar-ngejar pajak dari pengusaha kecil, sementara yang besar justru diampuni/dibebaskan; dll.
Bayangkan saja, gara-gara para koruptor dan para penjahat itu, negara kita setiap tahun harus menghidupi rakyat dengan menambah utang baru, dimana setiap tahun APBN kita defisit (kurang) ratusan trilyun. Untuk APBN 2016 ini defisit 2,15% dari 2095 trilyun, yaitu sekitar 273 trilyun. Itupun setelah penerimaan negara tidak mencapai target, belanja negara tersebut akan dipotong tetapi rencana utangnya (defisitnya) tidak berkurang bahkan terancam bertambah besar.