(By: Angin Kurima)
Dasar pemikiran yang perlu dikembangkan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tanah Papua adalah “Dialog Bersama”. Antara Pemerintah Jakarta dan Masyarakat Papua. Arah dialog yang harus diketengahkan dalam menyeleseaikan masalah-masalah yang sedang terjadi di Papua secara umum dan Pegunungan Tengah secara khusus.
Jalan penyelesaian yang harus diambil adalah, dengan meluruskan fakta sejarah tentang pelanggaran-pelanggaran HAM, Social Politik yang terjadi di Papua selama beberapa tahun belakangan. Memori kolektif semacam ini, akan menghasilkan beberapa embrio yang lebih radikal. Fakta-fakta social politik yang sudah nyata selama ini adalah masalah pelanggaran HAM dan beberapa peristiwa kemanusiaan (kasus Wasior, Wamena, Abepura dan beberapa KEPRES dan UU yang kontradiksi terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang sedeng berjalan), yang belum pernah diangkat/diselesaikan selama ini.
Sering kali, bagi kebanyakan orang fakta sejarah tidak menjadi acuan dialog dalam menyelesaikan berbagai masalah, contoh beberapa kasus di Papua, sehingga kesalahan-kesalahan yang tidak mungkin bisa saja terjadi, dan menjadi boom waktu bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Yang menjadi boomerang bagi bangsa Indonesia adalah, kesalahan dialog atau komunikasi dalam menyelesaikan beberapa kasus di Papua.
Dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan seperti di Papua, pemerintah Indonesia perlu belajar dengan beberapa wilayah/negara yang sukses memvasilitasi kelompok-kelompok tertentu yang bertikai. Aceh, Thailand, Pakistan, Filipina, dll.
Setiap konflik-konflik yang bersifat horizontal, tentu memiliki sejarah dan latar belakangnya tersendiri. Dan proses penyelesaiannya pun memiliki ciri tersendiri pula. Namun perlu diingat bahawa Indonesia pernah menjadi tuan rumah untuk menyelesaikan masalah “Khamer Merah” di Thailand, untuk mengadakan dialog damai antara pemerintah maupun militant. Adanya penyatuan persepsi yang wajar, (menguntungkan kedua bela pihak) “Dialog Bersama”. Memang cukup sulit untuk menyatukan persepsi terhadap satu permasalah yang cukup “mengakar” dalam rana politik, antar negara dan satu kawasan, yang sejarah dan latar belakangnya masih diperbincangkan dimana-mana, demi kepentingan birokrasi dan oligarki hegemoni politik dunia. Dilihat dari berbagai perspektif cukup menggiurkan, baik dari sisi ekonomi, sos-pol, geografis, dll.
Menemukan akar permasalah dan factor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah-masalah horizontal di Papua dalah hal yang dinantikan oleh siapapun di republic ini. Beberapa fakta sejarah menunjukkan bahwa perna dan sering para tokoh politik konvensional sering menghadapi masalah-masalah serupa. Padahal tujuan akhirnya adalah untuk menemukan jalan keluar terhadap masalah-masalah di Papua.
Ada beberapa akar persoalan yang menyebabkan sampai saat ini, Tanah Papua masih bergejolak dan Berlinang darah dan air mata. Pada awalnya kita ketahui bersama bahwa Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI.
Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).