Lihat ke Halaman Asli

Kenangan Bersama KH Tajuddin Marzuki: Maaf Guru, Saya Tak Merokok Lagi

Diperbarui: 18 Juni 2015   09:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap kali memasuki Ramadhan, seseorang yang tak pernah terlupakan adalah nama KH Tajuddin Marzuki Anwar. Bagi alumni Perguruan Attaqwa dan masyarakat Bekasi pada umumnya, nama KH Tajuddin adalah figur kedua setelah KH Noer Alie, the founding father Attaqwa. Sebagai pendidik, beliaulah guru yang paling banyak menanamkan kepribadian militan di kalangan santrinya. Kemandirian, keberanian dan disiplin yang selalu mendapat penekanan selain sikap-sikap lain, seperti kejujuran, keramahtamahan dan ketekunan.

Ramadhan tahun 1999/2000 adalah adalah bulan puasa terakhir yang menjadi kesempatan saya bisa banyak berbincang-bincang dengan guru yang sering dipanggil bos ini. Ada dua peristiwa saat itu, yakni peristiwa i’tikaf yang – alhamdulillah – saya bisa ikut, dan kedua peristiwa kerusuhan Poso. Maka, hampir beberapa malam di luar agenda rutin, saya selalu mendapat kesempatan kongkow di awning depan masjid Attaqwa. Rupanya, itu kesempatan kami yang terakhir. Setelah itu, beliau tak lagi bisa beritikaf di Masjid Attaqwa. Allah telah mengundangnya “beri’tikaf” di syurga sejak tanggal 9 Juni 2000. Dari ruang Mawar RS Mekar Sari Bekasi, guru bos yang begitu dicintai muridnya dijemput malaikat, terbang menuju singgasana kedamaian. Irhamni Rofiun menyebut peristiwa ini sebagai telah dicabutnya ilmu Allah dari muka bumi.

Imu Kemandirian

Dalam obrolan di malam-malam mengikuti itikaf itu, ada beberapa pemikiran yang menjadi perhatian saya. Pertama, ia masih mendambakan adanya lembaga pendidikan yang bisa membangun kemandirian di kalangan siswanya. Kemandirian itu adalah karakter dasar yang menjadi modal paling penting. Pribadi yang mandiri tidak hanya melahirkan manusia-manusia produktif, tapi bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Pribadi yang mandiri selalu memiliki jalan keluar dari setiap tantangan dan persoalan yang dihadapi, baik dirinya, masyarakatnya, bangsanya maupun negaranya.

Orang-orang yang mandiri pula yang menurut KH Tajuddin bisa bebas dari belenggu rasa takut. Orang yang mandiri selalu memiliki keberanian, asy-syaja’ah. Pendidikan hendaknya tidak sekadar menjadikan otak manusia sebagai gudang ilmu, tapi bagaimana ilmu yang diperoleh semasa belajar bisa aplikatif dalam kehidupan. Di sinilah letaknya keberanian. Tanpa keberanian, tidak akan bisa ilmu itu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tugas dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” membutuhkan keberanian. Bagaimana mungkin bisa mencegah kemunkaran kalau kita tidak memiliki keberanian.

Dalam perspektif ekonomi, saya banyak merasakan langsung. Sekelas tokoh papan atas Perguruan Attaqwa, KH Tajuddin masih melakukan kegiatan produksi. Saat itu beliau memproduksi sirup. Saya sering dilibatkan dalam hal produksi ini. Saya tahu betul arahnya, sampai suatu saat beliau sendiri mengungkapkan agar saya tidak malas. Selain belajar, harus kreatif, mau melakukan apa saja yang produktif. Kemiskinan tidak menjadi penghalang untuk sukses. Karena itu lakukan apa saja yang positif,” katanya. Bahkan ketika saya harus menjadi loper koran, guru Tajuddin bukan hanya mendukung, tapi menjadi pelanggan saya. Rupanya itu pula awal saya berinteraksi lebih jauh ke dunia jurnalistik dan menjadi wartawan.

Kunci dari itu semua ada pada disiplin. Orang yang tidak disiplin, tidak akan menggapai apa yang diimpikan. Keberanian, kemandirian dan disiplin menjadi satu kesatuan. Proses pematangan pribadi hanya bisa terukur dan terarah jika seseorang berdisiplin. Seberapa tinggi cita-cita, sulit diraih oleh orang yang tidak memiliki disiplin. Memang dalam proses membangun jati diri, penerapan disiplin terasa menyakitkan karena memang harus dipaksakan. Tapi ketika dia telah membudaya, maka semua akan berjalan dengan indah. Sebagai alumni Gontor, KH Tajuddin merefer pada disiplin model Gontor. Banyak santri Gontor yang sukses bukan karena mereka lebih hebat, tapi karena mereka telah membudayakan hidup dengan disiplin.

Tradisi Menulis

Guru Tajuddin tidak pernah meminta saya belajar menulis, membuat artikel, atau karya karya fiksi. Tapi dia melibatkan beberapa santrinya untuk menulis. Diantara yang selalu saya ingat adalah menulis kumpulan teks khutbah jumat. Selain saya ada Nuryadi Alex Asmawi, Zubair Murikh. Beberapa naskah itu kemudian diperbanyak dan dikirim ke masjid-masjid di lingkungan Dewan Masjid Attaqwa. Guru menulis dengan tulisan tangan, kemudian kami memindahkannya ke dalam ketikan, setelah itu dikoreksi kemudian diketik ulang. Jangan membayangkan bekerja dengan MS Word di komputer.

Karya lain, buku kecil yang berhasil diterbitkannya dengan teknik cetak sederhana, yakni “70 tahun KH Noer Alie”. Buku itu ditulis tangan, kemudian kami memindahkannya ke dalam naskah mesin ketik, kemudian diperbanyak dalam bentuk stensilan. Menurut KH Tajuddin, selain belajar berpidato dalam majelis muhadhoroh yang diadakan setiap Kamis malam dan Sabtu siang di kalangan santri Pondok Attaqwa, semestinya ada pembinaan yang lebih intensif di bidang tulis menulis. Untuk mengekspresikan ilmu tidak selamanya dalam bentuk verbal, tapi lebih besar jangkauannya bila dilakukan dengan bentuk tulisan.

Dalam percakapan kami di malam-malam itikaf itu, Guru Tajuddin berulangkali menyebut kemunduran ulama saat ini, khususnya mundur dalam berkarya tulis. Dulu, ulama-ulama besar melahirkan karya-karya monumental. Di bidang tafsir, fikh, tasawuf, politik dan banyak sekali bidang yang ditulis secara monumental oleh ulama-ulama muslim pada masanya. Sampai kini, belum ada yang bisa menandingi kitab-kitab klasik sekelas Al Umm, Qaulul Qodim, Qoulul Jadid, Tasir Al Maroghy, Tafsir Ibnu Katsir atau kumpulan hadits Al Bukhory-Muslim dan masih banyak lagi kitab-kitab besar yang sampai kini masih menjadi referensi umat Islam dunia.

Ulama-ulama saat ini lebih banyak menggeluti dakwah dengan verbal. Sejuta umat bagi seorang da’i tidak banyak dibanding jangkauan Al Azkar nya Imam Nawawi, atau dibanding kitab tafsir Jalalain. Seseorang yang berdakwah dengan karya tulisnya akan tetap bisa dinikmati meski penulisnya telah tiada. Karya tulis seorang tidak mati bersama penulisnya. Atas dasar itu, guru Tajuddin mendambakan sebuah lembaga pendidikan yang bisa mengakomodir tuntutan itu semua. Dia ingin sebuah lembaga pendidikan Islam memberikan cencern terhadap pembinaan tulis menulis.

“Kaki saya sudah dua-duanya di sini. Tak mungkin lagi saya berfikir ke tempat lain. Saya berharap hal-hal begini ada yang mau memperhatikan,” katanya. Kami pun terus berbincang-bincang tentang generasi penerus pemikirannya. Untuk memaksakan obsesinya ke Attaqwa, bukan sesuatu yang mudah rupanya. Ia berhadapan dengan kebijakan struktural. Ia menyebut salah satu puteranya Syamsul Falah yang saat itu sudah bekerja di Bank Muamalat. Justeru ia malah bertanya pada saya, bisa gak kira-kira diteruskan oleh putra sulungnya ini kelak, entah kapan entah pula dimana.

Melek Sosial

Guru Tajuddin yang saya kenal adalah sosok yang tidak pernah berhenti. Ia selalu bergerak. Ia tidak mau tergilas oleh waktu. Selalu ada kesempatan untuk berkreasi. Dan ini yang saya paling suka dari guru bertubuh besar yang kerap dipanggil bos. Ia selalu memiliki informasi setiap dinamika yang terjadi di cabang-cabang Attaqwa. Ia selalu memilki informasi lebih dulu tentang dinamika guru-guru Attaqwa, baik di pusat maupun ke cabang-cabang. Matanya banyak, telinganya banyak, tangannya panjang dan suaranya terdengar kemana-mana. Beliau pula yang selalu mendapat tugas untuk membereskan jika ada dinamika negatif yang terjadi di cabang-cabang.

Saat saat pertengahan pelaksanaan itikaf, tragedi kemanusiaan terjadi di Sampit. Kerusuhan menyebabkan banyak jiwa melayang. Sumber konflik berakar pada persoalan sara. Tanpa membuang banyak waktu, KH Tajuddin kemudian membentuk penggalangan bantuan kemanusiaan. Tentunya ini setelah melewati bahasan bersama pimpinan Yayasan. Tim ini kemudian menggalang aksi bantuan yang disalurkan ke Sampit. Untuk hal-hal yang bersifat emergency, seorang pemimpin harus bisa mengambil keputusan yang cepat dan akurat.

Malam itu, kami berbincang sampai larut. Dengan nada suara yang enteng, guru mengaku baru saja melakukan pemeriksaan tensi darahnya yang sangat tinggi, yakni 180/120. Tetapi malam itu di asbak, sudah tersisa beberapa batang rokok kretek yang masih setengah main. Ini yang selalu saya tunggu waktu masih jadi santri. Puntung-puntung rokok ini sering menjadi rebutan. “Ngalap berkah” kata teman-teman saya yang ingin merokok tapi bokek. Malam itu, sesekali saya melirik beberapa puntung yang masih setengah. Saya hanya menarik nafas dalam; “maaf guru saya sudah tidak merokok lagi,” kataku dalam hati. (Alumni Pondok Pesantren Attaqwa Periode tahun 1984, kini tinggal di Kaliabang Kokok Beluk, Bekasi Utara)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline