Lihat ke Halaman Asli

"Terorisasi" Situs Islam, Jokowi Diledek ISIS

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perintah pemblokiran puluhan situs media Islam oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo) atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mendapat penolakan dari banyak netizen. Hastag #KembalikanMediaIslam yang menjadi simbol gerakan perlawan netizen menjadi trending topik di media social. Hastag #RIPOlgaSyahputra yang sempat menduduki puncak trending topic selama dua hari sebelumnya, pun tergeser. Kemenkominfo sendiri tidak menjelaskan alasan pemblokiran, hanya saja disebutkan bahwa menurut BNPT pemblokiran 22 situs karena diduga mengajarkan gerakan radikal. Baru-baru ini BNPT memang tengah menyoroti penyebaran radikalisime melalui medsos, khususnya paham ISIS.

Penutupan tiba-tiba tanpa penjelasan itu tak urung menimbulkan kegaduhan di dunia maya. Pasalnya, media-media Islam yang masuk daftar list pemblokiran, menurut mereka tidak semuanya  mengkampanyekan radikalisme, bahkan diantaranya juga menentang dan tidak setuju dengan paham  ISIS. Langkah pemerintah yang terkesan semena-mena itu disayangkan banyak pihak.

Kementerian Agama RI Lukman Hakim Saefudin mengaku tidak diberi tahu mengapa beberapa media Islam diblokir. Lukman mencoba konfirmasi ke Menkominfo untuk menanyakan perihal pemblokiran tersebut. Namun sayang pada saat dihubungi olehnya, Menkominfo sudah memutus sambungan teleponnya karena harus segera menaiki pesawat. Lukman berharap BNPT segera menjelaskan kepada masyarakat agar dapat mengetahui duduk perkara secara terang benderang. Misalnya apa saja definisi dan batasan 'radikal' yang dimaksud BNPT ataupun Pemerintah. "Penjelasan resmi dari BNPT diperlukan agar masyarakat mengetahui definisi dan batasan 'radikal' itu seperti apa," harap Lukman.

Pengamat media, Agus Sudibyo, menyatakan munculnya tanda pagar #KembalikanMediaIslam merupakan bentuk perlawanan secara spontan dari para pendukung. Kondisi ini tentu tak menguntungkan bagi pemerintah. Langkah regulator untuk menghapuskan paham radikal justru berbuah sebaliknya. "Itu artinya mereka justru menuai simpati."

Pria yang juga mantan Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers ini mengatakan bahwa pemblokiran sebuah situs tak bisa dilakukan dengan sembrono. Pemerintah harus mempunyai parameter yang jelas tentang sebutan situs dengan faham radikalisme. Hal itu perlu dilakukan agar pemerintah tak dianggap menyalahgunakan kekuasaan. Menurut Agus, ada cara lain yang lebih elegan dalam menyelesaikan permasalahan ini, yaitu dengan membawanya ke ranah hukum. Instrumennya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan begitu, langkah pemerintah dinilai akan berdasar hukum lebih kuat. Selain itu, terlapor juga memiliki ruang untuk melakukan klarifikasi. Pemblokiran situs, menurut dia, hanya bentuk solusi jangka pendek.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) juga mengakui ISP yang  menerima surat permintaan pemblokiran tersebut dari Kominfo tidak merasa nyaman dan berharap perintah tersebut dilakukan oleh lembaga peradilan.

"Ke depannya, kami berharap ada sebuah sistem pemblokiran yang bisa dilakukan tersentralisasi atau dilaksanakan oleh pihak ketiga. Dengan demikian jaringan ISP dapat mempertahankan netralitasnya. Mengenai konten negatif di luar pornografi, kami mengusulkan ditetapkan oleh lembaga peradilan," ungkap APJII dalam surat terbukanya.

Pakar IT Onno W Purbo menyebut pemerintah berpotensi melanggar HAM.

“Akses ke Informasi merupakan Hak Azasi Manusia (HAM) yang dilindungi dalam Deklarasi Human Right berdasarkan http://www.un.org/en/documents/udhr/ artikel 19.

Kalau @kemkominfo sampai salah blokir, bisa-bisa @kemkominfo akan di tuduh melanggar Hak Azasi Manusia,” tulis dalam Fanpage Facebooknya.

Anggota Majelis Pusataka dan Informasi PP Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya menilai media-media yang tercantum dalam surat pemblokiran Kemkominfo dan BNPT tidak semua berkonten radikal.

"Lebih banyak berisi ilmu Agama Islam (situs media islam) dan manfaatnya, ketimbang mudharatnya," ujarnya.

Ia melanjutkan, maka dari itu alasan Kemenkominfo menutup situs-situs islam karena radikalisme, tidak bisa dibenarkan. Mustofa mengatakan penutupan situs-situs media islam tersebut cenderung bertujuan memberangus sumber berita serta kajian ilmu agama Islam, daripada mencegah radikalisme dan terorisme.

"Negara bermaksud meluruskan sebuah informasi, tetapi dengan membakar lumbung-lumbungnya.  Cara seperti ini hanya menimbulkan dendam kesumat Umat Islam," jelasnya.

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar  Simanjuntak juga menyayangkan sikap represif BNPT yang meminta situs-situs Islam  ditutup.

"BNPT dan Kementerian Komunikasi dan Informatika harus menjelaskan kepada publik  di bagian informasi dan tulisan yang mana pada situs Islam yang mengandung pesan atau dorongan radikalisme. Harus ada penjelasan terang," kata Dahnil.

Bila tidak ada penjelasan tersebut, ujar Dahnil, maka usaha penutupan situs tersebut terkesan sebagai kebijakan anti-Islam. Bila BNPT dan Kementerian Komunikasi dan Informatika  tidak menjelaskan dengan jelas dikhawatirkan timbul kecurigaan publik ada agenda mendeskreditkan Islam dilakukan pemerintah.

"Bukan tidak mungkin justru sikap memblokir situs-situs tersebut menebar kebencian massif terhadap pemerintah dan bisa dimanfaatkan kelompok radikal untuk melawan. Saya kira ketinggalan zaman bertindak represif terhadap situs-situs yang meyampaikan pesan-pesan dakwah Islam," tegasnya.

Bila ada yang salah dengan isi pesan dakwah mereka, ujar Dahnil,  sebaiknya pemerintah menerangkan ke publik.

Anggota DPR Zainuddin juga mengingatkan pemerintah untuk tidak membredel kebebasan pers.

"Kebebasan pers dijamin dalam UU No 40 tahun 1999 ayat 1 yang berbunyi "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara"; ayat 2 "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran'; dan ayat 3 yang berbunyi 'Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi", ujar Zainuddin.

Zainuddin setuju radikalisme agama harus ditolak, tapi dengen membredel media dengan semena-mena itu membunuh kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi. Pemerintah menurut Zainuddin harus mengedepankan dialog. Menurutnya kesewenangan seperti yang dilakukan BNPT maupun Kemenkominfo dikhawatirkan bisa menimbulkan antipati dari anak bangsa terhadap pemerintah.

Tidak hanya menerima permintaan begitu saja dari BNPT, menurut Zainal Menkominfo juga harus berdialog dengan tokoh-tokoh Islam soal situs-situs yang dianggap radikal menurut definisi BNPT. Penanganannya juga harus adil dan memiliki standar yang jelas.

"Pemerintah baik BNPT dan Kemenkominfo perlu memiliki standar yang jelas tentang situs Islam yang harus diblokir dan perlu membuka dialog dengan pengelola situs-situs tersebut," imbuh politisi yang juga anggota pengawas TKI dari DPR ini.

Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan Agama dan Sosial, Saleh Partaonan Daulay  menuding pemerintah bersikap otoriter.

"Kalau langsung ditutup, kesannya pemerintah sangat otoriter. Tidak ada ruang diskusi dan klarifikasi. Yang sedikit berbeda, langsung dibungkam," ujar Daulay.

Tindakan seperti itu bisa saja mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi oleh UU. Di sisi lain, sambung politisi PAN ini, pemblokiran situs-situs tersebut menimbulkan kesan adanya sikap 'prejudice' dengan satu agama tertentu. Kalau hal itu betul, tentu sangat tidak baik di tengah upaya semua pihak meningkatkan toleransi dan harmonisasi di tengah masyarakat.

Pemerintah mestinya bersifat arif, bijaksana, dan proporsional dalam memperlakukan semua anak bangsa. Tidak boleh ada yang merasa ditinggalkan, apalagi dikucilkan.

"Menurut saya, tidak semua situs yang diblokir itu menyebarkan paham radikalisme. Ada di antaranya yang betul-betul dipergunakan sebagai media dakwah. Kalau dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan, lalu apa bedanya konten dakwah dan konten judi dan pornografi yang juga diblokir?" tukas Saleh, legislator dapil Sumut II.

Penutupan secara sepihak situs-situs yang dicurigai menyebarkan paham radikalisme dinilai Daulay sebagai tindakan terburu-buru dan berpotensi menumbuhkan sikap saling curiga di tengah masyarakat. Pasalnya, penutupan situs-situs itu tanpa didahului upaya klarifikasi. Daulay juga mengharapkan adanya proses dialog. Setidaknya, sebelum ditutup para pemilik situs itu mesti dipanggil dan dimintai keterangan. Bila ditemukan sesuatu yang menyimpang dan membahayakan, barulah kemudian dilakukan tindakan pemblokiran.

Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais menilai tindakan pemerintah bisa menimbulkan rasa takut terhadap Islam (Islamofobia) dan dicap islamofobia.

"Pemerintah terlalu gegabah, terburu-buru, jangan sampai menimbulkan islamofobia," kata Hanafi Rais di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (31/3/2015).

Menurut Wakil Ketua Komisi I ini, seharusnya pemerintah cermat. Kemenkominfo perlu melakukan klarifikasi terhadap situs-situs tersebut.

"Jangan sampai dicap bahwa pemeritah sekarang Islamofobia," ujarnya.

Apa yang dikhawatirkan Hanafi tampaknya sudah terjadi di lapangan.

Akun @dedenmuhlisin misalnya menuliskan: Semakin jelas pemerintahan sekarang Phobia terhadap Islam #KembalikanMediaIslam.

Akun @Farrasarrasyid juga menulis membelaan terhadap situs Islam: Terus terang saja, mau menghabisi teroris, atau menghancurkan islam? Paham radikal yg sangat disayangkan #KembalikanMediaIslam.

Akun @DPP_FPI juga menulis: “Pemerintah Begal Islam. Begal situs Islam. Begal Majelis Taklim. Begal aktifis Islam. Rezim BEGAL: BEjat dan gaGAL! #KembalikanMediaIslam.”

Seperti tidak takut dengan stigma teroris terhadap ISIS. Sebuah kelompok di dalam negeri malah membentuk lembaga yang dinamai ISIS (Insitute for Strategic and Indonesian Studies). Lembaga ISIS ini menyindir pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla karena telah melakukan sejumah 'terobosan' sejak dilantik. Mereka mencatat lebih dari 20 'prestasi besar' Jokowi-Jusuf Kalla selama lima bulan (20 Oktober-30 Maret 2015), yakni sebagai berikut:

1. Harga BBM naik-turun-naik.

2. Harga beras naik.

3. Harga gas mahal.

4. Semua kebutuhan sembako naik.

5. Tarif kereta api dinaikkan.

6. Jalan tol dikenakan  pajak.

7. Tatanan hukum dan konstitusi amburadul.

8. Stabilitas politik & partai politik acak-kadut.

9. Hutang bertambah Rp 250 triliun.

10. Penerimaan pajak sampai Maret 2015 dibandingkan periode yang sama Maret 2014 turun Rp 50 triliun.

11. Lembaga penegak hukum ditarik-tarik ke ranah politik.

12. Intitusi Polisi & KPK diobok-obok.

13. Impor beras dan gula semakin mantap.

14. Elit politik berantam tak terus menerus tak terkendali.

15. Daya beli rakyat menurun, biaya hidup naik mengikuti kenaikan harga BBM.

16. Perputaran ekonomi mengandalkan konsumsi.

17. Ekspor turun, impor naik tajam.

18. Izin ekspor konsentrat Freeport dan Newmont diperpanjang tanpa perlu bangun smelter.

19. Ketua Umum Partai Politik memonopoli angkutan minyak (mafia migas baru).

20. Dunia usaha kesulitan memproyeksi biaya produksi.

21. Rupiah terjun bebas dari Rp 10.000 di akhir Juli 2014 ketika Jokowi-JK ditetapkan sebagai pemenang Pilpres dan sekarang Rp 13.000 lebih per USD.

22. Yang penting rajin blusukan.

23. Yaaa ora opopo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline