Lihat ke Halaman Asli

Ahok Sangar, Jokowi Lembut, Mengapa Tak Didengar?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahok dikenal sebagai gubernur bertemperamen tinggi, gampang marah dan tak sungkan mengumbar kata-kata kasar, terutama kepada bawahannya. Tak jarang pula Ahok mempermalukan anak buahnya dengan cara memarahi atau mencela di depan orang ramai, bahkan direkam lalu diunduh ke “youtube”. Tak hanya memarahi, Ahok juga gemar mengancam akan memecat atau menurunkan jabatan anak buahnya  jika terbukti bersalah.

Efektifkah kepemimpin ala Ahok ?.

Kasus dugaan korupsi UPS yang merugikan negara sedikitnya Rp. 50 milyar hampir dipastikan aktornya adalah anak buah Ahok sendiri. Tak hanya merugikan negara, anak buah Ahok juga mempermalukan Pemprov DKI dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan menjebol sistem e-procurement atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Sistim yang sempat dibanggakan dan menjadi bahan kampanye Jokowi ketika beliau menjadi calon presiden RI, ternyata menurut polisi setidaknya telah dijebol 49 kali pada kasus UPS. Penggelembungan harga, manipulasi spesifikasi barang dan realisasi penggunaan anggaran yang tidak wajar yang semestinya bisa dicegah, masih terjadi dengan begitu gamblang. Sistem elektronik yang disebutkan ampuh untuk mencegah bermacam modus korupsi, ternyata keok di tangan begal-begal APBD yang diduga kuat bersarang di lingkungan Pemprov DKI. Salah satu yang disebut-sebut akan menjadi calon tersangka adalah AU, bawahan yang dipilih Ahok melalui lelang jabatan dan sangat dipercayai oleh beliau.

Tak hanya UPS, Ahok juga dikibuli anak buahnya dalam pengadaan buku-buku pendidikan pada APBD-P DKI tahun 2014. Pemprov DKI Jakarta menggelontorkan milyaran duit rakyat untuk pengadaan buku-buku yang diklaim hasil karya Rina Aditya dan disinyalir dalam rangka kampanyenya menuju kursi DPRD. Terdapat enam buku bernuansa kampanye Rina yang dimasukkan ke dalam APBD Perubahan 2014, masing-masing berjudul Kampoeng hingga Metropolitan, Batavia Era Kolonial hingga Jokowi, Jakarta dulu Rawa sekarang Pencakar Langit, Dari Delman menuju MRT, Perempuan Betawi menyusui hingga tokoh dan Urban Batavia Urban Jakarta. Rina adalah anak dari AU, sehingga diduga anak buah Ahok ini ada dibelakang penyelundupan anggaran buku tersebut.

Rina yang juga rekan separtai Ahok semasa di Gerindra boleh dibilang adalah pengagum Ahok. Beliau juga disebut berperan dalam penerbitan tiga buku yang menceriterakan kehebatan Ahok.  Buku trilogi Ahok tersebut ternyata sempat muncul pula pada APBD 2015 di pos anggaran Dinas Pendidikan DKI Jakarta dengan nilai yang fantastis yakni Rp 30 miliar. Ketiga buku itu berjudul Nekad Demi Rakyat dengan pagu anggaran Rp 10 miliar, Dari Belitung Menuju Istana senilai Rp 10 miliar, dan Tionghoa Keturunanku, Indonesia Negaraku dengan nilai Rp 10 miliar.

Masih maraknya kasus korupsi di Pemda DKI menunjukkan bahwa kebiasaan Ahok marah-marah, mengumbar kata-kata kasar dan mengancam anak buah, nyaris tak tampak manfaatnya. Bagi sebagian anak buah, Ahok mungkin hanya dipandang sebagai nenek yang galak, rewel dan suka ngomel, bukan sosok yang disegani dan dipatuhi, apalagi untuk diteladani.

Nasib Presiden Jokowi “11-12” dengan Ahok

Tak seperti Ahok, Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh dibilang lebih “cool” dan lembut dalam berkata-kata. Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, pernah memerintahkan Polri menghentikan kriminalisasi terhadap KPK dan para pendukungnya. Namun instruksi tersebut sepertinya diabaikan oleh aparat Polri. Para pendukung KPK seperti mantan wakil menteri hukum dan HAM Denny Indrayana dan mantan ketua PPATK Yunus Hussein tetap menjadi incaran aparat. Bahkan Polri telah menetapkan Denny Indrayana sebagai tersangka.

Pengabaian instruksi Jokowi oleh para pembantunya dan jajaran pemerintahan bukan kali itu saja. Sebelumnya, Jokowi juga mengingatkan rencana Menkumham Yasonna H Laoly yang ingin melonggarkan persyaratan pemberian remisi untuk narapidana korupsi. Namun, Yasonna tetap melanjutkan rencananya tersebut dengan atau tanpa persetujuan Jokowi.

Instruksi Jokowi lainnya yang dianggap "angin lalu" adalah soal larangan rapat di hotel bagi para aparatur pemerintahan dari pusat hingga daerah. Namun, instruksi itu banyak dilanggar dan bahkan ditentang oleh aparatur negara.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, contoh tersebut merupakan indikasi wibawa presiden sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan dipandang sebelah mata oleh bawahannya.

"Para pembantu presiden tak lagi menyesuaikan kebijakannya dengan kebijakan presiden. Mereka seolah tak lagi bekerja kepada presiden. Lalu mereka bekerja untuk siapa?" ujar Feri keheranan.

Menurut Feri, bagaimanapun presiden itu dipilih oleh rakyat dan bekerja untuk rakyat. Ketika mengabaikan, artinya mengabaikan rakyat banyak. Soal bentuk perintah presiden, Feri menjelaskan dalam ketatanegaraan, perintah presiden kepada aparaturnya bersifat mengikat. Baik tertulis maupun lisan.

"Fungsi perintah tertulis itu tujuannya agar ada dokumen. Tetapi perintah lisan juga harus dilaksakanan tanpa perlu administrasi surat menyurat," kata Feri. Bahkan, sebuah kode atau isyarat dari presiden pun, meski bisa memunculkan tafsir beragam, tetap harus dilaksanakan.

Karena itu, lanjut Feri, jika para pembantu tetap membangkang, maka Jokowi harus mengeluarkan tindakan tegas. Salah satunya, dengan mencopot menteri-menteri atau pejabat yang setingkat yang melawan perintahnya.

Bisakah Jokowi tegas?, waktu akan membuktikan.

Jika tidak, tentu perintah Presiden semakin tidak akan didengar oleh bawahannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline