Boleh kita berpendapat bahwa hadirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya ditulis dengan MK) merupakan salah satu inovasi ketatanegaraan yang sangat berdampak dalam proses perjalanan reformasi dan demokrasi di republik ini. Lembaga ini hadir sebagai bentuk penyeimbang agar demokrasi yang berjalan di republik ini bukan suatu majoritarianism namun tetap memperhatikan aspirasi minoritas apabila aspirasi minoritas tersebut sesuai dengan konstitusi. Demokrasi yang hanya menjalankan apa kata mayoritas bisa berubah menjadi tirani mayoritas yang malah akan membuat pertumbuhan demokrasi menjadi tidak sehat. Keseimbangan antara demokrasi dan hukum harus terus dijaga di republik ini. Demokrasi yang terlalu berat sebelah membuat mayoritas berlaku sewenang-wenang sebaliknya apabila hukum yang tidak mengakomodasi demokrasi hanya akan menjadi hukum yang represif bukan responsif. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi diciptakan untuk menjaga keseimbangan antara demokrasi dan hukum di republik ini. Secara normatif, hakim di Mahkamah Konstitusi mewakili trias politica yang ada yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah diberikan kewenangan untuk menunjuk 3 orang untuk menjadi hakim di MK begitupun dengan DPR dan MA. Namun, pertanyaan kritisnya apakah MK masih relevan di usianya yang sudah 20 tahun? Setidaknya ada 3 catatan yang saya bahas dalam tulisan ini.
Catatan 1: UU Ciptaker
Tidak bisa dipungkiri isu UU Ciptaker merupakan salah satu isu di tahun 2021 yang mengundang perhatian publik. Publik menilai produk UU Ciptaker merupakan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah dalam membuat kebijakan. Publik menilai pemerintah tidak partisipatif dalam membuat suatu undang-undang. Demonstrasi besar-besaran terjadi dan akhirnya publik menggugat undang-undang tersebut ke MK untuk diuji konstitusionalitasnya. Di dalam putusannya yaitu Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK memberikan penjelasan penting terkait dengan Partisipasi Bermakna atau meaningful participation. Putusan tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan meaningful participation adalah suatu prinsip yang mana dalam membentuk suatu undang-undang masyarakat mempunyai hak untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Dalam hal ini, MK akhirnya memutuskan UU Ciptaker perlu direvisi oleh Pemerintah dan DPR karena mengandung cacat formil tidak sesuai dengan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, Pemerintah dan DPR diberikan waktu 2 tahun untuk merevisi UU Ciptaker. Apabila tidak direvisi dalam kurun waktu 2 tahun, maka norma yang sudah diganti oleh UU Ciptaker akan berlaku lagi.
Di dalam catatan ini menurut saya MK telah mendengarkan aspirasi rakyat dengan baik dan memperlihatkan keberaniannya. Mahkamah Konstitusi telah membuat putusan yang responsif terhadap aspirasi rakyat. Sebagai guardian of constitution, Mahkamah Konstitusi berhasil mencegah adanya upaya kesewenang-wenangan walaupun putusan ini bukan tanpa catatan dari para akademisi.
Catatan 2: Penarikan Hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto oleh DPR
Di tahun 2022 kejutan terjadi di lembaga yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6. Salah satu hakim dari unsur DPR yaitu Aswanto ditarik oleh DPR dan digantikan dengan Guntur Hamzah. Alasan pergantian tersebut dikarenakan Hakim Aswanto yang merupakan unsur dari DPR seringkali membatalkan Undang-Undang yang notabene merupakan produk DPR. Perbuatan yang dilakukan oleh DPR jelas merupakan perbuatan yang melanggar konstitusi. Di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, intervensi apa pun, dari mana pun, dan dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan baik kepada lembaga maupun kepada hakimnya. Hakim tidak bisa dicopot berkaitan dengan putusan yang dikeluarkannya. Oleh sebab itu, ketidaksukaan terhadap putusan hakim tidak bisa dijadikan alasan untuk mencopot Hakim Aswanto.
Di dalam catatan ini menurut saya kita sudah kehilangan akal sehat dalam bernegara. Bisa dibayangkan hakim yang merupakan ujung tombak dalam menegakan hukum dan keadilan bisa diganti secara politik oleh penguasa yang mungkin saja tidak senang dengan putusan hakim tersebut. Kejadian ini seharusnya tidak boleh terulang lagi dikarenakan Indonesia adalah negara hukum dan hakim yang notabene mendapatkan tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan malah terancam dengan intervensi politik yang didasarkan pada like or dislike. Secara konseptual kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang paling lemah hal ini dikarenakan kekuasaan kehakiman tidak mempunyai power (kekuatan untuk mengeksekusi) sebagaimana eksekutif dan purse (kekuatan untuk menyetujui anggaran) sebagaimana legislatif. Dikarenakan tidak mempunyai atribut-atribut tersebut yang hanya dimiliki oleh kekuasaan kehakiman atau yudikatif adalah persuade (kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan). Putusan hakim pada prinsipnya bisa digunakan oleh masyarakat untuk mengingatkan pembuat kebijakan agar kebijakan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan hukum dan konstitusi.
Kedepannya saya berharap kepada para elit untuk senantiasa menghormati kemandirian kekuasaan kehakiman. Jangan sampai Mahkamah Konstitusi yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman di republik ini terganggu kehormatannya karena intervensi dari lembaga negara lain yang seharusnya mampu menjaga marwah Mahkamah Konstitusi.
Catatan 3: Perpanjangan masa kerja Pimpinan KPK
Salah satu komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengajukan pengujian UU KPK karena dinilai diskriminatif terkait dengan pengaturan jabatan komisioner KPK. Komisioner KPK yang harus diganti setiap 4 tahun tidak sama dengan lembaga independen lain yang komisionernya diganti setiap 5 tahun. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian UU KPK yang dilakukan oleh Nurul Ghufron walaupun di dalam putusan ini terdapat 4 hakim yang menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Putusan ini menimbulkan pertanyaan dari publik bukankah seharusnya ini kewenangan dari DPR dalam menentukan masa jabatan komisioner suatu lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Di dalam catatan ini saya berpendapat MK sudah terlalu jauh masuk ke dalam urusan masa kerja komisioner di suatu lembaga. Dalam hal ini, MK terlalu political masuk ke dalam isu yang tidak mempunyai muatan konstitusionalitas. MK seharusnya kembali lagi ke jati diri awalnya sebagai guardian of constitution yang mempunya peran untuk menyeimbangkan hukum dan demokrasi di republik ini. Biarkan permasalahan ini dikembalikan kepada pembentuk undang-undang yang mempunyai kewenangan untuk menentukan open legal policy yang terdapat di dalam suatu undang-undang.