AKHIR-akhir ini muncul di media massa sebuah polemik terkait kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
UKT merupakan biaya kuliah wajib yang dibayar mahasiswa setiap semester.
Salah satu PTN yang menaikkan UKT adalah Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto untuk tahun akademik 2024/2025.
Kenaikan tersebut mendapat protes dari calon mahasiswa baru karena dianggap tidak masuk akal, sehingga Unsoed akhirnya membatalkan kenaikan biaya UKT.
Komersialisasi Pendidikan
Menanggapi polemik ini, Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menyatakan bahwa kenaikan UKT di PTN adalah hal yang lumrah.
Beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan UKT antara lain peningkatan mutu pendidikan, peningkatan biaya ekonomi, dan penerapan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Prof. Tjitjik menjelaskan bahwa proses belajar di perguruan tinggi saat ini lebih kolaboratif, melibatkan dosen praktisi, magang, ujian, dan penyelesaian proyek yang membutuhkan biaya lebih besar.
Oleh karena itu, diperlukan gotong royong dengan masyarakat agar pelaksanaan belajar di PTN tetap berkualitas.
Meski demikian, Prof. Tjitjik menegaskan bahwa biaya UKT yang ditetapkan tidak boleh bersifat komersialisasi dan harus tetap dapat diakses oleh semua kalangan.
PTN diwajibkan menerapkan UKT paling kecil sebesar Rp 500.000 dan membuat kelompok biaya UKT mulai dari yang terkecil hingga terbesar.
Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang agar PTN bersifat inklusif dan dapat diakses oleh masyarakat dari berbagai latar belakang ekonomi dengan kemampuan akademik tinggi.