PETER S. GOODMAN adalah seorang jurnalis New York Times dan responden bidang liputan ekonomi dunia yang memiliki pengalaman yang tak diragukan lagi. Tak cuma sekali tapi tujuh kali ia meliput ke Davos, bertemu dengan banyak orang penting di sana dan mengamati serta mencatat perilaku mereka dan motif di balik tingkah polah para orang super kaya dan berpengaruh yang berkumpul di sana.
Penulis membuka buku DAVOS MAN ini dengan sebuah prolog mengenai pandemi Covid di tahun 2020 yang begitu membekas. Bagi banyak orang, tahun itu adalah simbol penderitaan, kematian, pelemahan, penurunan. Rasa takut menjalar di mana-mana karena virus baru menyebar tanpa bisa dikendalikan.
Jutaan orang meninggal dunia dan jutaan lainnya merasakan kehilangan yang sangat mendalam. Mungkin Anda juga salah satunya yang merasakan dampaknya.
Namun, tidak bagi para miliuner dunia yang berkumpul secara rutin di kota Davos. Bagi orang-orang kaya dan cerdas ini, pandemi justru menjadi peluang bagi mereka dalam meraup keuntungan yang lebih besar bagi pundi-pundi mereka yang bisa memperkaya diri, keluarga dan kelompok mereka.
Melalui mata Goodman, kita dipandu di tiap lorong dan ruang World Economic Forum, sebuah ajang yang mencerminkan kekuatan ekonomi dari kaum kapitalis yang seakan sudah mencengkeram dan mengakar sampai ke relung-relung kehidupan kita.
Melalui World Economic Forum, mereka ini ingin menampilkan cira diri yang lebih positif di mata masyarakat dunia. Mereka memamerkan pencapaian yang kata mereka dibuat demi kemaslahatan umat manusia. Ambil contoh saja upaya-upaya para taipan itu dalam menghadapi dampak pandemi.
Mereka seakan menyampaikan pesan bahwa merekalah pahlawan dari penanganan pandemi lalu itu. Mereka menginisasi banyak gerakan kemanusiaan, vaksinasi, gerakan sosial, pemberdayaan SDM, dan sebagainya.
Di mata Goodman, para CEO besar datang dan mempresentasikan pencapaian mereka yang konon ditujukan demi kebaikan umat manusia. Meski memang terlihat demikian, kenyataannya kontribusi mereka dalam memicu masalah-masalah dunia juga tak kalah besarnya.
Goodman menuliskan parahnya eksploitasi kesempatan selama pandemi ini untuk memperkaya diri mereka sendiri. Banyak cara yang orang-orang super kaya ini lakukan. Pertama dan utama ialah penghindaran pajak. Ini sudah bukan rahasia lagi. Kita juga tahu orang-orang kaya di sini ada yang namanya masuk dalam Panama Papers.
Bagi Anda yang belum tahu apa itu Panama Papers, Anda bisa bayangkan ada setumpuk dokumen soal aset kekayaan orang super tajir di seluruh dunia yang menaruh kekayaan mereka di luar negara-negara mereka agar bisa menghindari potongan pajak yang besar. Di Indonesia sendiri ada kok beberapa nama yang disebut melakukan itu. Anda bisa baca sendiri di sini.
Para taipan ini memang sudah dilatih oleh generasi pendahulunya untuk mengamankan aset dari pemerintah yang haus pajak dengan mencari celah di aturan-aturan perpajakan yang ketat. Dengan bantuan para pengacara 'hebat', mereka mencari negara-negara yang aturan pajaknya lebih 'bersahabat' untuk menyimpan aset kekayaan agar tak tersedot negara seperti Irlandia, Singapura atau Swiss.