BUDI DARMA berpulang hari ini. Begitu saya baca sebuah berita dalam grup WhatsApp alumni. Saya jadi teringat petuah-petuah beliau tahun 2016 tatkala saya bertemu dengannya dalam sebuah event besar di Jakarta.
Berikut tulisan saya tanggal 9 Mei 2016 yang mencoba menangkap kearifan seorang akademisi yang juga sastrawan ini.
Bertemu di Asean Literary Festival 2016
Mengikuti Budi Darma yang sosoknya baru saja saya ketahui di perhelatan sastra akbar, Asean Literary Festival, tahun ini memberikan keasyikan tersendiri.
Jujur saja, saya bagian dari generasi Y atau milenial yang (kelahiran 1980-an) yang tidak tahu lagi dengan para sastrawan Indonesia angkatan lama yang setara dengan kakek-kakek mereka. Jangankan karya-karya mereka yang dianggap berkualitas prima, nama-nama mereka saja masih terdengar asing di telinga.
Pemerhati sastra Agus Nur benar. Seperti pernyataannya yang saya kutip di sini, ada banyak pembaca muda milenial yang tak tahu siapa Budi Darma. Dan ini sudah sepatutnya membuat kita semua risau.
Kerisauan tersebut menurut Agus bisa diatasi dengan memperbanyak pasokan buku-buku sastrawan Indonesia yang masuk dalam jajaran klasik ke dalam perpustakaan-perpustakaan kita dan juga menerbitkannya ulang untuk dijual pada pembaca luas di toko-toko buku.
Dalam makan siang di Sabtu yang cuacanya memeras keringat itu, saya kembali bertemu Budi dalam satu meja makan. Kami berceloteh tanpa ada gangguan. Memang benar adanya bahwa Budi Darma tak begitu dikenal kelompok pembaca muda, karena sedari tadi saya tak menemukan kerumunan anak muda di sekitarnya.
Sejauh pengamatan saya, kebanyakan yang bersamanya atau menyapanya adalah mereka yang sudah tidak bisa lagi dikatakan remaja atau pemuda.
Pembaca-pembaca karya Budi telah memasuki usia matang dalam kehidupan mereka. Dan karena kematangan itu pulalah, antusiasme mereka tidak akan tersalurkan seliar anak-anak muda yang mengantre untuk memburu tandatangan pengarang muda kontemporer nan populer.
Begitu ia katakan tempat kelahirannya ialah Rembang, saya bertanya lokasi tepatnya. "Apakah di sekitar Pecinan situ, pak?"
"Dari alun-alun Lasem menuju ke Pati, ada tiga jalur. Rumah saya dulu yang ada di jalur tengah. Di tengah kota," terang pria yang masih berambut legam itu.