PEMIMPIN perempuan sudah banyak kita jumpai di dunia dan di tanah air kita. Sebuah pencapaian besar di abad ke-21 memang. Emansipasi wanita rasanya sudah bukan impian para pejuang hak-hak wanita seperti Kartini dan Dewi Sartika.
Saat ini pemimpin perempuan juga banyak yang menjadi sorotan. Misalnya Angela Merkel, sang kanselir Jerman yang sukses memimpin Jerman dari jebakan Covid-19. Lalu juga ada Jacinda Ardern di Selandia Baru yang berhasil 'memasung' virus Corona agar tak merajalela di sana. Diangkatnya Kamala Harris juga menjadi tonggak baru kepemimpinan perempuan di AS yang sudah luluh lantak pasca Trump.
Di dalam negeri, kita punya menkeu Sri Mulyani yang melakukan banyak gebrakan di bidang ekonomi. Pun ibu Risma sang mensos baru yang sepak terjangnya menuai pro dan kontra yang tak henti-henti.
Memangku jabatan sebagai pemimpin sangatlah menantang, baik bagi pria atau wanita. Namun, harus diakui bahwa para wanita memiliki perbedaan dari pria. Salah satu akibat perbedaan itu ialah para pemimpin perempuan lebih rentan terhadap serangan depresi.
Menurut sebuah studi terkini, disimpulkan bahwa para pemimpin wanita yang memiliki tanggung jawab besar memiliki risiko menderita gelaja depresi yang lebih tinggi. Pada para pimpinan pria, terjadi hal sebaliknya, yaitu gejalanya tidak demikian tinggi.
Aneh ya?
Tidak juga. Ada penjelasan logis untuk itu.
Para perempuan dengan tanggung jawab pekerjaan - kemampuan mempekerjakan, memecat dan mempengaruhi penentuan gaji karyawan - memiliki gejalan depresi yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki tanggung jawab tinggi, ungkap peneliti bidang sosiologi di University of Texas in Austin. Sebaliknya para pria dengan tanggung jawab profesional itu memiliki gejala depresi yang lebih rendah daripada para pria yang tidak memiliki kewenangan semacam itu.
Sang peneliti Pudrovska dan mitra penelitian mereka Amelia Karraker, asisten profesor studi keluarga dan pengembangan SDM di Iowa State University, melaksanakan studi mereka dengan menggunakan data mengenai kesehatan mental dan tanggung jawab pekerjaan yang dikumpulkan dari tahun 1954 hingga 2004 sebagai bagian dari Studi Longitudinal Wisconsin.
Para peneliti mengklaim bahwa norma budaya dan sosial memungkinkan pria untuk lebih menerima posisi pimpinan. Menurut peneliti, seorang pria yang berkuasa diharapkan dan diterima oleh para rekannya, koleganya dan bawahannya. Mereka mendapatkan persetujuan implisit dari lingkungan atas kepemimpinan mereka.