Hidup di Indonesia memang penuh risiko. Lihat saja transportasi publiknya yang lambat berkembang. Kendaraan-kendaraan yang tak layak dipakai dan beremisi tinggi masih juga lalu lalang. Akhirnya keselamatan penumpang yang tergadai juga.
Nyawa saya pernah hampir terenggut saat naik bus yang terguling karena ketidaktertiban perilaku oknum pengguna jalan raya. Saya tidur sore itu saat bus melaju lalu terbangun dengan kaki dibungkus kayu dan kain. Tak bisa bergerak.
Konon, kondektur bus meninggal seketika. Tapi untung saya masih bisa menghirup napas sampai hari ini karena 'cuma' kaki saya yang patah. Itu beberapa puluh tahun lalu saat saya masih duduk di kelas 5 SD.
Dari pengalaman buruk itu, saya ingin menghindari bus dan transportasi umum lainnya. Apa daya, saya bukan warga negara yang kaya raya. Mobilitas yang tinggi antarkota membuat saya saat mahasiswa harus naik transportasi umum juga.
Bus-bus kota yang masih beroperasi sudah mirip rongsokan logam yang bergerak ringkih. Dan herannya entah kenapa bus-bus tua dengan bodi berkarat dan lantai yang berlubang termakan rob di daerah utara Semarang itu masih saja bisa menaiki punggung bukit di Semarang Selatan, kawasan tempat saya kuliah dulu di tahun 2000-an.
Entah lucu atau miris, pernah suatu ketika saya naik angkutan umum di Semarang juga karena kebetulan bus langganan tak kunjung tiba sementara saya sudah ingin sampai kampus tanpa harus kesiangan dan terlambat masuk kelas. Saya duduk di depan, samping sopir angkot. Kendaraan itu sudah tua dan pengemudinya seolah tak kenal gentar.
Saat saya asyik menikmati semilir angin pagi, tiba-tiba sebuah suara aneh diikuti guncangan keras membuat semua penumpang terutama saya kaget setengah hidup.
Dan dari jendela, saya lihat sebuah ban menggelinding. Ternyata itu ban yang copot dari angkot yang saya tumpangi. Gila! Angkot yang beroda tiga itu pun terpaksa berhenti.
Ban masih menggelinding sampai jatuh di selokan di sebuah ruas di jalan di tengah kota Semarang. Kami semua turun. Sopir panik, mengejar ban. Saya tak tahu harus berbuat apa dahulu, menertawakan sopir itu atau berebut masuk ke angkot lain yang lewat agar tidak terlambat masuk kuliah.
Kegilaan transportasi publik di tanah air lainnya ialah betapa orang sudah tidak mengindahkan kenyamanan orang lain dan bahkan dirinya sendiri. Saya disuguhi bukti-bukti nyatanya saat harus bolak-balik ke Jakarta dari Semarang. Ini sebelum reformasi kereta api oleh Pak Jonan.
Tua muda menggelar koran bekas di lantai bawah lalu tidur seperti mayat tak peduli ada orang mau lewat di kereta malam itu. Sempat terpikir saat itu, saya ingin menginjak-injak orang yang dengan egois tidur di bawah sementara saya duduk kaku dengan punggung tegak di bangku keras kereta kelas ekonomi yang toiletnya pesing membikin pening itu.