Dalam artikel Harvard Business Review, dikatakan bahwa hampir separuh dari jumlah total generasi muda yang masuk angkatan kerja (usia 25-34 tahun) di negara-negara maju dan hampir separuhnya di AS telah lulus dari berbagai universitas. Di tengah kondisi ekonomi dunia yang masih belum sepenuhnya stabil dari dampak resesi ekonomi global, tentu hal ini membawa masalah baru. Ternyata memiliki gelar akademik yang gemerlap dari kampus ternama tidak serta merta membuat seseorang langsung bisa mendapatkan pekerjaan idamannya.
Dari sini kita tahu bahwa masalah yang terjadi di Indonesia juga merupakan fenomena global. Di sini kita kerap membaca berita tingginya angka pengangguran nasional yang juga di dalamnya ada jumlah pengangguran terdidik yang bergelar sarjana. Kenyataan itu membuat sebagian masyarakat menjadi mulai pesimis dengan manfaat mengenyam pendidikan tinggi. "Lho, sudah susah-susah kuliah dan dapat titel sarjana kok masih nggak dapet kerjaan?" Begitu cibir orang.
Akar permasalahannya ternyata juga sama persis: Adanya kesenjangan antara apa yang dipelajari generasi muda kita dengan apa yang dibutuhkan oleh para pemberi kerja (atau jika memang mereka ingin menjadi entrepreneur, apa yang mereka butuhkan sehingga bisa menjadi entrepreneur sukses). Kesenjangan ini yang menjadi biang keladi mengapa banyak generasi muda angkatan kerja yang baru lulus tidak serta merta siap untuk bekerja begitu mereka lulus dari kampus masing-masing.
Pertanyaan yang kemudian muncul:Apakah gelar akademik masih berharga untuk dikejar?
Tentu gelar masih berharga. Bahkan jika Anda berencana untuk tidak menjadi seorang pegawai dan hendak menjadi pemilik bisnis/ entrepreneur, Anda masih diharapkan untuk memiliki pengetahuan yang lebih superior dibandingkan mereka yang akan Anda pimpin dalam perusahaan Anda nanti, bukan?
Hanya saja, meskipun gelar akademik masih harus dikejar, ternyata hal itu sekarang tidak bisa menjadi satu-satunya jaminan kesuksesan seseorang di dunia kerja yang makin kompetitif.
Dari pernyataan Tomas Chamorro-Premuvic dan Becky Frankiewicz sebagaimana dikutip laman HBR, gelar memang penting tetapi tantangan yang harus dijawab angkatan kerja di masa sekarang ini jauh lebih rumit daripada generasi sebelumnya.
Ini karena para pemberi kerja juga memiliki 'standar ganda'. Mereka mengatakan gelar tidak menjamin bahwa lulusan universitas langsung siap kerja TETAPI di saat yang bersamaan mereka juga masih menggunakan gelar sebagai salah satu instrumen untuk menyaring kandidat karyawan. Gelar masih dibutuhkan sekali bagi generasi muda untuk bisa lolos di tahap pertama dalam proses lamaran pekerjaan, dan juga dalam persaingan kerja dan mendapatkan kompensasi finansial yang lebih baik dan pantas.
Di sini, kita menyaksikan bahwa dunia korporasi masih kebingungan. Di satu sisi, mereka mengakui kualitas sejumlah orang yang tidak memiliki gelar akademik (lihat saja Mark Zuckerberg, Steve Jobs, Bill Gates, Jack Ma) tetapi dalam kenyataannya mereka bisa sukses sekali.
Di sisi lain, mereka juga masih tidak yakin bahwa orang-orang tanpa gelar tetapi berpengalaman dan memiliki keberanian bisa membawa bisnis mereka menuju kesuksesan sebagaimana sosok-sosok luar biasa tadi. Kalau tidak memakai gelar, standar apa yang bisa dipakai lagi dalam menentukan kelayakan seseorang masuk atau tidak ke dalam sebuah perusahaan/ organisasi?
Akan tetapi, masalah-masalah baru juga muncul dengan penggunaan gelar akademik sebagai standar. Menurut HBR, tiga masalah utama masih akan terus 'menghantui' kita: