"Waras ya kamu sudah tidur jam delapan malam?"Begitu kira-kira jerit teman saya yang penderita insomnia dalam sebuah percakapan di grup WhatsApp begitu saya pamit bahwa saya mesti segera tidur, lampu kamar telah padam, dan 'ritual-ritual' relaksasi telah terlaksana tuntas dan akhirnya mematikan ponsel agar ketenangan tercapai segera.
Sebenarnya saya masih belajar untuk menerapkan disiplin ketat dalam istirahat malam saya. Ini semua karena ingin tahu efeknya pada kesehatan dan keseimbangan hidup saya.
Seorang teman lain mencemooh,"Bukannya orang yang IQ-nya tinggi itu suka begadang ya?"
Saya katakan padanya tanpa tersinggung,"Tidak masalah kok. IQ bukan segala-galanya dalam hidup. Yang penting hepi."
Lalu ia makin mencemooh saya dengan mengunggah foto di Instagramnya dengan mengunci kotak komentar. Caption fotonya yang sedang di kolam renang berbunyi:"Yang penting hepi." Ada-ada saja memang.
Saya menulis ini bukan karena saya juga terbebas dari 'dosa-dosa' begadang. Justru karena saya sudah pernah merasakan dampak buruk begadang dan saya sudah tahu dampak positif displin jam tidur, saya bisa memutuskan mana yang saya pilih agar saya bisa menjadi manusia yang tidak mensabotase kesehatan dan nyawanya sendiri dalam jangka panjang.
Sebelumnya tahun lalu saya sudah berupaya keras mengatur jam tidur dengan memajukan sesi persiapan tidur dari maksimal pukul 11 malam menjadi 8 malam karena saya harus bangun pukul 4 untuk beribadah (jadi setidaknya 8 jam istirahat setiap malam, yang sudah mencakup persiapan jadi tidur lelapnya kurang dari 8 jam juga sebetulnya).
Dibutuhkan KONSISTENSI dan KETEGASAN untuk menolak ajakan-ajakan bersosialisasi di malam hari (entah itu hang out di kafe sampai larut atau menonton bioskop tengah malam atau merayakan tahun baru).
Ini tentu agak kurang bisa diterima dalam tatanan masyarakat ibukota, yang menuntut kesediaan untuk kapan saja bisa bekerja dan bersosialisasi baik itu secara maya maupun nyata.
Namun, dari penataan pola tidur yang saya majukan itu, saya mulai merasakan perubahan yang positif. Pertama, saya bisa bangun lebih pagi dan tidak melewatkan salat subuh.
Ada semacam kelegaan dalam memulai hari bahkan sebelum matahari menampakkan diri dan bulan masih ada di langit. Saya seolah sudah 'mencuri start' dan saat yang lain masih mendengkur saya sudah memulai aktivitas.