Perahu itu membelah laut yang membentang di depan. Sang surya memamerkan keperkasaannya di atas sana, dengan memancarkan sinarnya yang terkuat di siang hari itu. Walaupun cuaca membara, angin yang kencang membuat para penumpang tidak kegerahan.
Saya termasuk dalam rombongan di atas perahu motor itu. Sejak awal menaiki perahu, saya sudah meraih sebuah baju pelampung. Bukan karena itu kewajiban yang harus dipenuhi oleh tiap penumpang dalam rangka formalitas agar tidak ditindak polisi laut yang berpatroli, tetapi karena saya benar-benar tidak mau diri saya celaka.
Saya tahu benar kemampuan mengapung dan berenang saya masih jauh dari memadai untuk menjelajahi kolam renang sebesar dan seraksasa Laut Jawa di utara ibukota ini. Di kolam renang saja saya masih bisa panik, apalagi di laut yang dalamnya entah berapa ini. Saya tidak mau mati konyol karena tenggelam saat berwisata bahari yang semestinya menyenangkan.
Pria muda pemilik perahu ini bermukim di pulau Pramuka, salah satu pulau kecil yang dihuni manusia di Teluk Jakarta. Ia memimpin rombongan ke sebuah titik di pulau Macan, yang dekat dengan pulau Pramuka, untuk turun menyelam dan menikmati terumbu karang yang konon masih bagus dan bisa dinikmati wisatawan.
Kecepatan melaju perahu kami sedang-sedang saja tetapi itu saja sudah membuat saya agak masuk angin. Langsung saja saya kenakan jaket pelampung untuk melindungi badan dari terpaan angin laut yang tiada ampun. Beberapa yang lain sibuk menikmati pemandangan, bergurau, oleskan tabir surya, mengobrol soal pengalaman menjelajahi laut ini dan pulau itu. Maklum kebanyakan teman seperjalanan saya ini termasuk anak muda penyuka jalan-jalan dan rela menabung lebih banyak untuk bisa berpelesir lebih jauh dan lebih nyaman dan aman daripada menghabiskan uang untuk membeli rumah atau kendaraan.
Sekonyong-konyong perahu kami mandek di tengah laut. Saya tidak panik karena setidaknya pemandu kami ini juga tidak menampakkan kepanikan. Jadi kondisi masih aman dan terkendali.
Pria muda pemandu kami itu menyelidiki selintas lalu. Mesin masih hidup; bahan bakar juga masih cukup; beban muatan juga tidak melebihi batas normal. Tak pelak, ia menduga akar penyebab masalah ada di bawah permukaan air.
Tubuh kurus dan kecokelatan karena terpanggang matahari laut itu pun menepi ke pinggir perahu dan tanpa takut menyelam ke bawah perahu. Begitu ia kembali ke permukaan dan naik ke perahu, tanpa kami tanya, ia menjelaskan kenapa kami berhenti sejenak.
"Baling-balingnya kena sampah jadi tadi nggak bisa muter..."
Saya terkejut juga. Saya pikir laut ini bersih karena cukup jauh dari Jakarta. Permukaan perairan sekitar kepulauan ini juga tampak tidak penuh sampah meskipun harus saya akui saya lihat ada beberapa sampah plastik yang mengapung saat kami tadi mengarunginya. Kantong plastik, bungkus kopi instan, sachet losion anti nyamuk. Kenapa ada orang sebodoh itu mengotori lautan? Protes saya dalam hati.
Sejurus kemudian saya berpikir bahwa saya mungkin juga bagian dari orang-orang itu. Saya amati kebiasaan konsumsi saya. Baiklah, mungkin saya sudah berupaya menghindari penggunaan kantong plastik saat berbelanja di toko atau mall, saya lebih memilih makan di tempat daripada memesan makanan dari luar, meminimalkan frekuensi belanja daring saya (karena paket barang-barang pesanan itu sungguh penuh plastik),