Lihat ke Halaman Asli

Akhlis Purnomo

TERVERIFIKASI

Copywriter, editor, guru yoga

11 Cara Cerdas Menyaring Hoax

Diperbarui: 13 Desember 2016   14:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

KEMUAKAN terhadap beredarnya berita bohong (hoax) di dunia maya saat ini sudah mencapai titik klimaks. Sampai-sampai media sosial Facebook mesti turun tangan dan mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya akan menempuh langkah konkret untuk memberangus konten berita bohong yang berlalu lalang di sana.

Dan parahnya lagi ialah hal ini tidak hanya melanda kaum muda yang secara intelektual belum matang tetapi juga kaum dewasa dan cendekia. Tak peduli pendidikan formal yang sudah ditempuh, seseorang masih berpeluang menyebarkan berita bohong sebab hasrat untuk menyebarkan berita yang sesuai dengan selera dan tendensi pemikiran kita memang akan selalu ada. Jika berita tidak mendukung opini yang kita sokong, apakah kita akan membagikannya di dinding atau me-retweet di linimasa kita? 

Saya rasa kecil kemungkinan demikian kecuali untuk sebagian orang yang memang sangat berpikiran terbuka (open-minded), yang berani mengakui kesalahan pemikirannya sebelumnya dan meluruskan jalan pikirannya sendiri. Tetapi di era sekarang, orang macam itu sudah langka. Sangat langka. Kita semua, tak terkecuali penulis sendiri, juga berlomba untuk menjadi yang jawara. Mana ada yang mau terlihat bodoh dan kurang mutakhir di media sosial. Daripada terlihat dungu, lebih baik tidak usah tampil saja, bukan?

Dari pemilihan presiden RI tahun 2014 kita sudah banyak belajar mengenai soal jurnalisme abal-abal ini sebetulnya. Menjelang Pilkada DKI Jakarta kali ini, rasanya kita masih juga belum banyak belajar dari pengalaman tersebut. Bahkan akumulasi kekesalan di Pilpres masuk dan menambah parah kondisi di Pilkada DKI. 

Dan ini juga bukan masalah yang dihadapi oleh bangsa kita saja. Amerika Serikat yang mengklaim dirinya lebih maju dalam banyak hal termasuk jurnalisme dan demokrasi juga mengalami masalah yang serupa. Publik AS kerap teperdaya semasa masa kampanye Pilpres mereka yang baru saja berakhir dengan hasil yang membuat banyak orang terperangah.

Menyebarkan berita bohong di media sosial memang sepintas tidak merugikan karena mudahnya menyebarkan. Tinggal klik ’bagikan’ atau ‘retweet’ atau ‘repath’ dan selesai. Tetapi kita seolah tidak bertanggung jawab atas apa yang kita sebarkan melalui akun-akun kita itu. Seolah kita sudah mempercayakan semuanya pada mereka yang sudah menyebarkannya sebelum kita. Namun, dampaknya makin lama tidak bisa diabaikan.

Namun, sekarang masalahnya ialah apakah kita bisa membedakan berita yang faktual dan objektif dari berita bohong di internet? Dan jika memang bisa, bagaimana caranya?

Pertama-tama ialah mengendalikan dulu diri akal sehat kita masing-masing. Emosi berperan penting dalam menyebarkan berita bohong. Para pembuat berita bohong tahu bahwa jika judul dan konten merangsang emosi naik, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengeruk keuntungan.

Keuntungan apa? Banyak. Kalau mereka mengincar keuntungan ekonomi, mungkin bisa dari segi pendapatan iklan. Makin kontroversial sebuah artikel berita, makin banyak dikunjungi, makin banyak dibagikan, makin viral, otomatis akan makin banyak orang berkunjung dan tingkat kunjungan situs mereka naik pesat. 

Dari sini, mereka bisa menjual traffic tinggi itu pada para pihak yang berminat memasang iklan (advertisers). Kalau bukan keuntungan material yang diincar, bisa jadi keuntungan tidak langsung lain yang tidak terpikir oleh kalangan awam, misalnya saja situs berita ‘aspal’ (asli tapi palsu) yang mengemas dirinya seolah situs berita tetapi hanya berisi opini satu pihak, tidak ada cross check, sehingga pemberitaannya menjadi penuh bias, dengan tujuan ingin mengarahkan opini masyarakat luas ke arah tertentu, atau menggerakkan massa. 

Bahkan bisa saja ada situs yang berpura-pura menjelek-jelekkan satu pihak agar membuat pihak yang bersangkutan seperti difitnah dan dari sana citra korban fitnah yang tertindas akan terpatri dalam benak masyarakat dan simpati bermunculan untuknya. Intinya, semua bisa terjadi. Apalagi dengan makin murahnya pembelian domain dan hosting website saat ini. Untuk memiliki blog ini saja saya cuma harus bayar sewa Rp160.000 per tahun. Bagi mereka yang punya banyak modal, uang itu cuma sekeping receh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline