SEBANYAK kurang lebih 41 persen negara-negara mayoritas Muslim (20 persen dari populasi dunia) berkontribusi kurang dari 5 persen pada perkembangan sains modern. Sementara itu, kita ambil satu negara mayoritas non-Muslim sebagai contoh, Inggris. Negara ini populasinya cuma kurang dari 1 persen dari populasi dunia tetapi mampu menyumbangkan 16 persen pada perkembangan sains modern. Suatu ketimpangan yang menyakitkan jika Anda seorang yang mengaku Muslim.
Indikator lain yang bisa mengukuhkan ketertinggalan itu ialah bahwa hanya ada tiga orang pemenang Anugerah Nobel sampai saat ini dalam bidang sains. Mereka adalah Abdus Salam, Ahmed Zewail dan Aziz Sancar. Padahal jumlah total pemenang Nobel sudah ada lebih dari 600 orang. Artinya cuma 0,00005 persen dari daftar pemenang Nobel adalah Muslim. Ini menjadi sebuah fakta yang mengiris hati karena populasi Muslim dunia mencapai lebih dari 15 persen dari populasi dunia.
Mengapa umat Islam bisa begitu ketinggalan dalam hal sains? Ada apa dengan para ilmuwan Islam saat ini?
Jika kita mau membaca lagi catatan sejarah, prestasi sains umat Muslim memang dahulu cemerlang sekali. Bahkan konon sampai melebihi pencapaian peradaban Barat ( Kristen Eropa). Muslim mendominasi perkembangan sains dunia semasa tahun 800 Masehi sampai sekitar 3 abad kemudian. Umat Muslim saat itu menikmati kemajuan sains, ekonomi dan budaya yang mengagumkan di bawah pemerintahan kalifah Harun al-Rashid (786-809 Masehi) hingga beberapa kalifah setelahnya. Inilah yang disebut sebagai Masa Kejayaan Islam. Masa ini berakhir setelah kalifah Abbasid ditaklukkan Mongol dan direbutnya Baghdad pada tahun 1258 M. Menurut Wikipedia, sejumlah cendekiawan sepakat bahwa akhir masa ini ialah akhir abad ke-15 sampai abad ke-16 M.
Apa yang terjadi kemudian ialah keruntuhan dari dalam diri umat Muslim itu. Faktor-faktor pendorong kemunduran itu misalnya ialah tingkat korupsi yang merajalela dalam pemerintahan negara-negara mayoritas Muslim. Para politisi dan pemerintah negara-negara mayoritas Muslim bukan penggemar sains. Mereka – meskipun tidak semua - berpolitik hanya demi kekuasaan dan kekayaan. Perkembangan negara apalagi umat bukan prioritas utama. Kita semua tidak usah mencari contoh jauh-jauh ke negara lain. Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia sudah menjadi contoh yang memalukan soal korupsi.
Faktor lain yang menjadi penyumbang kemunduran sains umat Muslim ialah karakteristik-karakteristik pendidikan masyarakat Muslim yang kurang tanggap terhadap perkembangan zaman. Konservatisme dalam segala lini pendidikan mereka yang sudah mengakar membuat umat Muslim sangat sukar mengembangkan sains. Akibat dari pendidikan yang terbelakang ini ialah kualitas pendidikannya yang juga lebih rendah, yang pada gilirannya menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu menyedihkan. Ditambah dengan ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat Muslim pada perkembangan pendidikan, peningkatan sains di negara-negara Muslim sudah bukan prioritas utama.
Indonesia sudah menjadi bukti nyata dengan menjadi raksasa paling pandir di kawasan Asia Tenggara (baca: Kualitas Pendidikan Indonesia Terendah di ASEAN). Rendahnya mutu pendidikan dalam negara-negara Muslim membuat manusia-manusia cerdas di dalamnya harus belajar ke Barat demi melanjutkan proses studi mereka. Karena itulah, mayoritas kampus Inggris dan AS mampu menghasilkan kontribusi sains yang besar. Itu karena mereka juga diperkuat oleh sumber daya manusia unggul dari berbagai negara termasuk negara-negara Muslim. Masalah kualitas pendidikan yang memprihatinkan ini menjadi pekerjaan rumah yang maha besar bagi umat Muslim saat ini dan sampai saat ini rasanya belum ada upaya berkesinambungan dan masif untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal lain yang juga ikut menghambat perkembangan sains dalam peradaban Muslim ialah fakta bahwa produksi sains di tengah umat Muslim cuma diperuntukkan dalam lingkaran elit saja. Dan orang-orang di dalam kelompok eksklusif ini cuma segelintir saja dibandingkan umat yang begitu melimpah ruah. Padahal jika ingin lebih cepat maju dan perkembangan tercapai lebih mantap, seharusnya semua elemen Muslim kompak dan bersatu dan memajukan sains bersama-sama tanpa mempedulikan sekat elitisme.
Faktor lainnya ialah penindasan kaum perempuan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Barat sebetulnya. Tetapi dengan adanya sejumlah faktor lain, pengekangan kaum Hawa dalam menuntut ilmu yang setara dengan laki-laki ikut membuat perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim mandek. Mereka lupa bahwa wanita-wanita juga tiang umat. Kaum Hawa ialah pemberi pendidikan anak-anak mereka yang pertama dan utama. Di sinilah letak celah kelemahan penyebab kemunduran itu ada.
Faktor selanjutnya yakni dampak negatif dari penjajahan Barat di Asia. Sebagaimana kita ketahui, bangsa-bangsa mayoritas Muslim berada di Asia. Dalam masa penindasan Barat, bangsa-bangsa Timur yang didominasi Muslim seperti Indonesia juga mengalami kemandekan dalam perkembangan sainsnya. Sensor dan pelarangan karya-karya ilmiah dilakukan. Penerbitan dikekang. Penghancuran sejumlah tempat pendidikan yang didirikan Muslim juga bukan hal yang aneh semasa pendudukan kaum Kolonial Barat.
Faktor berikutnya yang tidak kalah siginifikan dalam menghambat perkembangan sains dalam umat Muslim ialah merajalelanya kemiskinan di negara-negara mayoritas Muslim. Kita ambil contoh Indonesia. Baru-baru ini Biro Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan Indonesia tahun ini mencapai 28,01 juta jiwa atau sebanyak 10,86 persen dari rakyat kita. Angka kemiskinan naik. Demikian juga tingkat kesenjangan ekonomi kita, yang sebelumnya 0,71 menjadi 0,79.