Lihat ke Halaman Asli

Akhlis Purnomo

TERVERIFIKASI

Copywriter, editor, guru yoga

'Pemberontakan' yang Gagal (Sebuah Kisah Berbagi)

Diperbarui: 8 September 2016   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan pengetahuan Anda. Itulah cara untuk mencapai keabadian.” - Dalai Lama XIV

Ada dua pilihan saat seorang anak tumbuh di sebuah lingkungan tertentu. Pertama, ia bisa meniru kemudian jatuh hati dengan suasana dalam lingkungan itu seterusnya hingga dewasa. Kedua, sejak kecil ia tahu begitu baik sisi luar dan dalam lingkungan tersebut lalu urung masuk lebih dalam dan memutuskan mencari dunia baru yang lebih menarik baginya.

Dibesarkan di lingkungan keluarga guru, saya sejak kecil selalu dibawa ke suasana kantor guru, ruang kelas, dan perpustakaan. Tapi anehnya tidak ada keinginan atau hasrat dari dalam diri saya untuk meneruskan jejak orang tua saya yang kebetulan dua-duanya mengabdi ke negara sebagai pengajar. Sebab saya pemalu, saya tidak pernah menginginkan tampil di depan, tidak peduli itu mereka yang saya ajar anak-anak, sebaya atau orang tua. Tetap saja berdiri dan berbicara di depan kelas itu sesuatu yang amat menakutkan. 

Menjelang akhir masa SMA, saya tetap tidak menghendaki menempuh jalur karier yang sama dengan orang tua saya dan memilih untuk memfokuskan diri belajar bahasa. Dalam benak saya, yang terpikir di masa depan ialah ingin bekerja sebagai pegawai kantor atau penulis. Mengajar tidak pernah terlintas sekalipun dalam impian.

Sepanjang 4 tahun menuntut ilmu di bangku kuliah, saya dengan antusias belajar sastra Inggris, sebuah subjek yang saya sedari dulu minati, tanpa paksaan dari siapapun. Maka saya tidak merasa terpaksa dalam belajar, kuliah, mengerjakan tugas. Semuanya terasa begitu mudah. Tidak ada yang membuat saya putus asa karena bara semangat belajar dan menjadi yang terbaik di antara yang lain itu terus terpelihara dalam dada.

Begitu saya lulus jenjang sarjana, ambisi saya pun menuju tingkat magister. Lagi-lagi saya menuju ke konsentrasi sastra Inggris. Tak ada salahnya, toh jika saya melintas ke disiplin ilmu lain, proses penyesuaian akan lebih lama. Saya lebih suka memperdalam apa yang sudah saya tekuni. Menjadi spesialis lebih seksi bagi saya daripada sekadar menjadi generalis yang bisa dan tahu apa saja tapi hanya di permukaan saja.

Di sini saya pun mulai menghadapi persimpangan, saya mulai harus mencari pekerjaan untuk turut membiayai pendidikan tinggi saya. Satu-satunya peluang kerja yang ada dan terbuka lebar ialah mengajar.

"Ah, kenapa harus mengajar?" saya memprotes dalam hati. Gundah karena merasa tidak mendapatkan pekerjaan yang saya idamkan, saya pun pasrah menerima posisi mengajar itu di sebuah kampus swasta di kota kelahiran. Saya membutuhkan uang dan peluang ini bisa memenuhi kebutuhan keuangan ini. 

Singkat cerita, saya mulai mengajar dan berhasil bertahan selama tujuh semester (3,5 tahun) di kampus tersebut. Studi S2 saya rampung dan tidak ada alasan lagi bagi saya untuk tetap bertahan. Saya tak sabar lagi menghirup udara kebebasan di luar dinding ruang perkuliahan yang terasa menghimpit. Dengan bekal gelar magister itu saya yakin saya bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih sesuai dengan minat saya. Saya sering berdoa agar pekerjaan idaman itu segera datang menghampiri.

Doa saya terkabul. Sebuah perusahaan memanggil saya ke kantornya. Saya pun sejak itu resmi menjadi bagian dari kerumunan bernama corporate slaves di ibukota. Akhirnya saya bebas dari pekerjaan mengajar!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline